Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku sudah selesai
Pertanyaan itu menggantung di udara kamar yang berbau disinfektan, lebih berat dari keheningan malam mana pun yang pernah mereka lalui. Bagimu… ‘kita’ itu apa? Jantung Lila terasa melompat ke kerongkongannya, berdebar begitu kencang hingga ia takut Angkasa bisa mendengarnya. Ini bukan sekadar pertanyaan.
Ini adalah sebuah penyerahan diri, sebuah permintaan konfirmasi atas dunia kecil yang telah mereka bangun bersama di atas puing-puing harapan.
Ia membuka mulutnya untuk menjawab, kata-kata yang telah lama bersarang di hatinya kini siap meluncur, bahwa ‘kita’ adalah jangkar, adalah rumah, adalah satu-satunya alasan mengapa pagi hari masih terasa mungkin. Namun, sebelum satu suku kata pun sempat terucap, derit pelan pintu yang terbuka memecah mantra mereka.
Dokter Adrian masuk, senyumnya tipis dan tampak dipaksakan.
“Maaf mengganggu malam-malam.”
Seketika itu juga, gelembung intim mereka pecah. Lila menarik tangannya dari genggaman Angkasa, kembali mengenakan topeng profesionalismenya, meski jantungnya masih berpacu liar.
“Tidak apa-apa, Dok. Ada apa?”
Dokter Adrian menarik napas panjang, matanya menghindari tatapan Angkasa dan Lila sejenak, beralih pada map yang ia pegang. Firasat buruk merayap di punggung Lila seperti udara dingin.
“Saya baru saja meninjau hasil tes darah terakhirmu, Mas Angkasa,” ujar Dokter Adrian, nadanya hati-hati.
“Dan juga hasil evaluasi respons tubuhmu terhadap terapi persiapan.”
Angkasa hanya diam, wajahnya tenang dengan ketenangan yang menakutkan, seolah ia sudah mempersiapkan diri untuk terjangan badai berikutnya.
“Ada apa, Dok?” desak Lila, tak sanggup lagi menahan ketegangan.
Dokter Adrian akhirnya menatap mereka.
“Respon tubuhmu tidak seideal yang kita harapkan. Jumlah trombosit dan sel darah putihmu kembali turun, bahkan setelah transfusi terakhir. Ini artinya… sumsum tulangmu berada dalam kondisi yang lebih rapuh dari perkiraan awal.”
“Jadi… apa artinya itu untuk transplantasi?” tanya Angkasa, suaranya datar.
“Artinya risikonya meningkat secara signifikan,” jawab dokter itu terus terang.
“Untuk bisa melanjutkan, kita harus menerapkan protokol kemoterapi pra-transplantasi yang jauh lebih agresif. Tujuannya untuk benar-benar ‘membersihkan’ sisa sumsum tulangmu sebelum donor dimasukkan. Tapi…,” ia berhenti, memilih kata-katanya.
“Prosedur itu sendiri sangat berat. Sangat menyakitkan. Dan dengan kondisimu saat ini, kemungkinan tubuhmu untuk menolaknya, atau bahkan tidak bertahan melewati fase kemoterapi itu, cukup besar.”
Dunia Lila seakan miring. Harapan yang baru saja mereka bangun dengan susah payah terasa seperti istana pasir yang kini disapu ombak ganas. Ia menatap Angkasa, mencari secercah perlawanan, secercah amarah, tetapi yang ia temukan hanyalah kelelahan yang begitu dalam di mata pria itu.
Setelah Dokter Adrian pergi, meninggalkan mereka dengan vonis tak terucap yang menggema di dalam ruangan, keheningan yang turun terasa mematikan.
“Jadi begitu,” bisik Angkasa, lebih pada dirinya sendiri. Ia menatap tangannya yang pucat, yang terhubung dengan selang infus.
“Jalan di depan ternyata lebih terjal dari yang kita kira.”
“Kita bisa lewati ini,” sahut Lila cepat, suaranya bergetar.
“Kamu kuat, Mas. Kita akan hadapi kemoterapi itu. Sekuat apa pun itu.”
Angkasa perlahan menggeleng. Ia menoleh pada Lila, dan sorot matanya kini begitu jernih, begitu tenang, seolah ia telah mencapai sebuah kesimpulan di dasar samudra keputusasaannya.
“Aku sudah selesai, La.”
Dua kata itu menghantam Lila seperti tamparan.
“Apa maksudmu?”
“Aku nggak akan melakukan kemoterapi itu,” katanya pelan, tetapi setiap katanya memiliki bobot sebuah keputusan final.
“Aku mau minta dokter menghentikan semua perawatan intensif. Cukup transfusi untuk membuatku nyaman. Sisanya… aku mau dibiarkan.”
Amarah yang panas dan tajam sontak membakar dada Lila, mengusir semua rasa takutnya.
“Apa? Kamu mau menyerah? Begitu saja?” suaranya naik, tak terkendali. “Setelah kamu tanda tangan formulir itu? Setelah kamu bilang kamu mau berjuang?”
“Ini bukan menyerah, La. Ini memilih,” jawab Angkasa, nadanya tetap tenang, yang justru membuat Lila semakin marah.
“Memilih apa? Memilih mati?” bentak Lila, tak peduli lagi jika Gilang mungkin mendengar mereka.
“Kamu bilang kamu melakukan ini ‘untuk kita’! Apa itu bohong? Apa ‘kita’ itu nggak ada artinya sama sekali buatmu?”
“Justru karena ‘kita’!” balas Angkasa, suaranya akhirnya sedikit meninggi, retak oleh emosi yang ia tahan. “Justru karena aku nggak mau sisa waktu ‘kita’ diisi dengan aku yang muntah-muntah kesakitan setiap hari! Aku yang rambutnya rontok, yang tubuhnya hancur karena racun kimia, hanya untuk sebuah kemungkinan yang kata dokter pun ‘cukup besar’ untuk gagal! Aku nggak mau kenangan terakhirmu tentangku adalah pemandangan seperti itu!”
“Aku nggak peduli!” isak Lila, air mata frustrasi kini mengalir di pipinya.
“Aku nggak peduli kamu akan kelihatan seperti apa! Aku cuma peduli kamu ada di sini! Bernapas! Berjuang di sampingku! Kenapa kamu nggak bisa ngerti itu?”
“Karena aku yang merasakannya, La! Bukan kamu!” seru Angkasa, kini duduk tegak, matanya berkilat menantang.
“Aku yang sudah lelah merasakan sakit seumur hidupku. Aku baru saja menemukan kedamaian bersamamu. Aku nggak mau menukarnya dengan penderitaan yang lebih parah lagi. Aku cuma mau… menikmati sisa waktu yang aku punya. Dengan damai. Denganmu.”
“Itu namanya lari, Mas! Itu egois!” tuduh Lila, kata-katanya tajam menusuk.
“Egois?” Angkasa tertawa getir.
“Memintaku terus-terusan disiksa hanya demi harapan tipismu itu tidak egois?”
Pertengkaran itu mencapai puncaknya. Dua orang yang saling mencintai kini berdiri di seberang jurang yang diciptakan oleh ketakutan dan rasa sakit mereka masing-masing, saling melempar belati kata-kata yang melukai lebih dalam dari penyakit mana pun.
“Aku… aku nggak percaya ini,” bisik Lila, mundur selangkah, seolah Angkasa adalah orang asing.
“Orang yang aku kenal tidak akan menyerah semudah ini.”
“Mungkin kamu memang nggak kenal aku,” desis Angkasa dingin.
Tepat saat kalimat itu meluncur, suara seretan tiang infus yang khas terdengar dari seberang ruangan. Tirai pemisah tersibak kasar. Gilang berdiri di sana, wajahnya pucat dan matanya menatap tajam, bergantian antara kakaknya dan Angkasa.
“Bisa nggak, sih, berantemnya jangan kayak di sinetron?” ketus Gilang, meski suaranya sedikit bergetar.
“Berisik.”
Lila dan Angkasa sontak terdiam, napas mereka masih memburu.
Gilang menyeret tiang infusnya mendekat, berhenti di tengah-tengah mereka. Ia menatap Angkasa lekat-lekat.
“Jadi, lo mau berhenti?”
Angkasa memalingkan wajahnya, tak sanggup menatap mata remaja itu.
“Cemen,” cibir Gilang.
“Lang, cukup!” tegur Lila tajam.
“Cukup apa, Kak?” balas Gilang, kini menatap kakaknya.
“Kakak pikir aku tuli? Aku denger semuanya. Dia mau nyerah.” Ia kembali menatap Angkasa.
“Gue kira lo beda. Ternyata sama aja.”
Keheningan yang canggung menyelimuti mereka. Gilang menghela napas panjang, seolah sedang memikirkan sesuatu yang berat.
“Gini aja deh, Kak Angkasa,” katanya tiba-tiba, nadanya berubah serius.
“Kita bikin perjanjian.”
Angkasa akhirnya menoleh, alisnya berkerut bingung.
Gilang menunjuk dadanya sendiri, lalu menunjuk ke arah Angkasa.
“Lo lanjutin pengobatan lo. Lo hadapi kemoterapi sialan itu, sesakit apa pun rasanya. Lo berjuang. Kalau lo janji bakal lakuin itu…”
Ia berhenti sejenak, tatapannya mengunci mata Angkasa dengan intensitas yang mengejutkan.
“Gue juga janji,” lanjutnya.
“Gue janji bakal minum semua obat gue tepat waktu. Gue janji nggak akan ngelawan lagi kalau disuruh terapi. Gue janji bakal makan semua makanan hambar dari rumah sakit ini. Gue janji bakal berjuang sekuat yang gue bisa buat jantung gue ini. Tapi… kalau lo berhenti…”
Gilang menarik napas dalam-dalam, ultimatumnya terdengar begitu dingin dan final di udara kamar yang pengap.
“Gue juga berhenti.”