Ketika perjodohan menjadi jalan menuju impian masing-masing, mungkinkah hati dipaksa untuk menerima?
Faradanila, mahasiswa S2 Arsitektur yang mendambakan kebebasan dan kesempatan merancang masa depan sesuai mimpinya.
Muhammad Al Azzam, seorang CEO muda yang terbiasa mengendalikan hidupnya sendiri—termasuk menolak takdir.
“Kalau Allah yang menuliskan cinta ini di akhir, apakah kamu masih akan menyerah di awal?”-Muhammad Al Azzam.
Di antara keindahan Venezia, rasa-rasa asing mulai tumbuh.
Apakah itu cinta… atau justru badai yang akan menggulung mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azzurry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hijrah Rasa -22
Farah menahan napas.
“Apa… Mbak Sienna sebegitu pentingnya buat kamu Mas?”
Azzam tidak menjawab, namun sorot matanya mampu menjawab pertanyaan Farah. Semuanya sudah jelas suaminya itu tidak akan melepaskan Sienna begitu saja hanya untuk bersamanya.
Farah tersenyum masam. “ Sepertinya aku nggak akan pernah bisa gantiin posisi Mbak Sienna Mas,”
Dengan gerakan pelan Pria itu menarik tubuh Farah dan memeluknya erat, lebih erat dari pelukan mereka tadi.
“Maafkan saya Farah, tidak semudah itu untuk saya meninggalkan Sienna,” ucap Azzam.
“Apa kamu mencintainya Mas?” tanya Farah lagi.
Farah mendongak, menatap suaminya itu menunggu jawaban pria itu.
Entah ia merasa pernikahan ini sudah terlalu jauh melewati batasnya. Bukankah ini hanya batu loncatan untuk mimpinya.Kenapa sekarang harus saling melibatkan perasaan?
“Mas, bisa jawab sekarang?” Ulang Farah.
Ditatapnya Pria yang sedang memeluknya itu.Sorot mata itu masih sama tanpa jawaban itu sudah menjadi jawaban atas pertanyaan.
Pria itu menarik napas dalam lalu menjawab. “ Untuk saat ini perasaan itu masih ada Fa,” jedah Azzam pada kalimatnya. ”Dan saat ini pun saya sedang berusaha memperjuangkan pernikahan kita.”
Farah terdiam. Senyum samar terlukis di wajah cantik itu.
Kecupan singkat Azzam berikan di kening Farah. “Tolong bantu saya melakukannya. Tetap disini bersama saya.”
Farah mengulas senyum anggukan samar ia berikan sebagai tanda setuju. Ia kembali menenggelamkan wajahnya di dada milik pria itu mencari kenyaman disana.
Azzam mengecup ujung kepala Gadis itu hingga beberapa kali.
“Maaf saya harus egois jika itu menyangkut kamu Fa,” monolognya dalam hati.
***
Langit Jakarta membara di kejauhan. Asap samar dari lalu lintas kota besar naik perlahan, menyelimuti gedung-gedung tinggi seperti kabut. Di puncaknya, berdiri megah Adhyaksa Corporation—raksasa industri perusahaan properti terbesar di indonesia yang dikendalikan oleh Danial Adhyaksa.
Di dalam gedung kaca itu, lorong eksekutif sunyi. Hanya suara langkah seorang wanita yang terdengar—hak tinggi menghantam marmer putih dengan ritme tegas.
Rina, wanita paruh baya dengan gaya anggun dan elegan, umurnya sudah banyak namun tak mampu menutupi kecantikannya.
Rambut blonde keemasannya sudah terselip uban tipis di pelipis, tetapi itu tak mengurangi keanggunannya.
Ia melangkah melewati ruang rapat para petinggi, menuju jantung kekuasaan perusahaan yang dulu pernah ia kenal, sebelum semuanya berubah.
Namun, dua pria berpakaian hitam menghentikannya di depan pintu kaca.
“Saya ingin bertemu Danial,” suaranya tenang tapi tegas. Tak ada keraguan. Sorotnya tajam bak predator yang sedang mencari mangsa.
“Maaf, Nyonya. Tuan Danial sedang memimpin rapat penting. Kami bisa mengantar Anda ke ruang tunggu,” kata salah satu pengawal dengan suara netral.
Rina menatap tajam. Tapi ia tidak melawan. Ia tahu, ada waktu dan tempat untuk setiap pertempuran. Ia mengangguk pelan, lalu mengikuti mereka.
Di balik dinding kaca yang dilapisi sunyi, Danial menyibak salah satu eksekutif sedang bicara di depan layar proyektor. Angka-angka dan grafik berloncatan, membahas proyek baru yang akan menggandakan pengaruh Adhyaksa Corp dalam satu tahun ke depan.
Tapi pikirannya terganggu. Seseorang berbisik di telinganya: "Nyonya Rina sedang menunggu di luar."
Ia hanya mengangguk. Wajahnya tetap datar, tapi mata itu—sedikit gelap.
Setelah satu jam, rapat selesai. Para eksekutif keluar dengan catatan di tangan, meninggalkan ruangan yang kembali sunyi.
Danial melangkah menuju ruang kerjanya.
Saat pintu terbuka, ia sudah tahu siapa yang menunggunya.
Rina.
Wanita yang dulu pernah ia cintai. Kini berdiri seperti bayangan dari masa lalu, tapi dengan mata yang sudah berubah: Netra kebencian itu melekat disana.
“Mana anakku, Nial!” sentak Rina memotong udara, nyaring tapi goyah.
Danial tidak langsung menjawab. Ia hanya meliriknya sebentar, lalu berjalan pelan ke arah sofa dan duduk.
“Untuk apa kamu mencarinya?” tanyanya datar.
Rina mendesis. “Kamu pikir saya tidak tahu apa yang sedang kamu lakukan? Kamu menyembunyikan dia. Bahkan kalian menikahkannya diam-diam dengan anak Arman, dan tanpa memberitahu saya. Di mana Farah sekarang?!”
Danial tertawa kecil, getir. “Farah baik-baik saja.”
“Lalu kenapa saya tidak bisa menemuinya? Tidak bisa menghubunginya? Bahkan keluargamu diam seribu bahasa!”
Danial menatap langit-langit ruangan. Lalu kembali menatap Rina, tenang tapi menyimpan bara. “Dia tidak ingin bertemu denganmu.”
“Omong kosong!” bentak Rina. “Farah bukan anak yang seperti itu!”
Danial bangkit berdiri. “Kadang, seseorang butuh menjauh dari masa lalu untuk bisa melangkah.”
“Jangan kamu jadikan saya masa lalu yang harus dihindari, Danial!” suara Rina melengking tajam. “Aku ibunya! Aku yang mengandung dan melahirkannya! Aku juga punya hak atas dirinya!”
Danial mendekat. “Aku hanya menyelamatkannya dari sesuatu yang bahkan kamu sendiri tak mau akui.”
Rina terdiam. Napasnya memburu. Sorotnya tajam.
Danial menyunggingkan senyum sinis.
“Kamu tidak tahu apa-apa tentang anakmu, Rina,” lanjut Danial, lebih pelan. “Kamu sibuk dengan luka-lukamu sendiri. Setelah itu kamu sibuk mencari kebahagianmu sendiri. Dan melupakan kebahagian anakmu.”
Rina mengepal tangannya, rahangnya mengeras. “Kau tidak lebih baik dariku, Danial. Kau hanya lebih pandai menyembunyikan busukmu.”
Danial terbahak, lalu menatap mantan istrinya itu.
“Pergilah Rina, berhenti merusak kebahagian anakmu.” Danial menarik napas dalam, lalu kembali berucap. “ Kali ini biarkan dia bahagia.”
“Farah sudah bahagia bersamaku,”sahut Rina.
Danial berdehem pelan, kali sorot matanya melembut. “Kali ini biarkan dia menemukan kebahagiannya sendiri.”
Hening.
Keduanya saling menatap, seperti dua musuh lama yang saling tahu kelemahan masing-masing, tapi tetap memilih berdiri tegak.
Rina menghela napas berat. akhirnya melangkah mundur. “Jika suatu saat dia kembali menangis lagi tolong berhenti mengusiknya Nial.”
Danial hanya tersenyum tipis. Tak ada janji atau kesepakatan untuk hal baru kedepan.Rina pergi dengan langkah cepat. Pintu tertutup di belakangnya, menyisakan kesunyian yang lebih berat.
Danial berdiri mematung. Lalu perlahan, ia duduk kembali, memejamkan mata sejenak.
Farah tidak hilang. Tapi ada di tempat yang bahkan ibunya sendiri tidak bisa tembus. Dan apa mungkin putrinya itu sudah menemukan bahagia sendiri.
***
Langit Cannareigo sore itu terasa sejuk. Para pekerja berlalu-lalang, dan kedai-kedai di tepi kanal mulai kembali ramai. Lorong-lorong yang sebelumnya lengang kini dipenuhi pekerja yang pulang serta pejalan kaki yang mungkin baru menikmati senja setelah rutinitas panjang mereka seharian.
Begitu pula Farah, yang tengah menyusuri lorong-lorong kota kanal itu menuju pusat Cannareigo. Sebuah lunch tote berayun pelan di tangannya. Tujuannya saat ini adalah kantor Azzam.
Azzam sempat mengabari bahwa ia akan pulang larut malam. Mendengar itu, Farah pun tergerak untuk menyusulnya ke kantor. Setelah meminta izin, ia kini datang sambil membawa makanan untuk suaminya.
Tak sampai sepuluh menit, Farah sudah berdiri di depan gedung kantor Azzam. Perlahan ia melangkah masuk ke lobi gedung megah yang menjulang di pusat kota Cannaregio.
Farah mengulas senyum saat mendapati Azzam pria itu sedang menunggunya di samping meja resepsionis
“Mas?” panggil Farah, lalu mendapat balasan senyum dari Pria itu.
Azzam melebarkan senyumnya. Sembari menyambut tangan Farah yang hendak menyalaminya.
“Maaf ya, tidak bisa jemput kamu.”
Farah mengulas senyum. “Nggak apa-apa Mas, sekalian bawain makan malam buat kamu.” Sembari Farah menunjukan lunch tote
berwarna hitam di tangannya.
Azzam mengulas senyum seraya mengusap pelan rambut Farah yang sengaja gadis itu urai begitu saja. “Kita lanjut ngobrol di ruangan saya saja.” sembari mengambil lunch tote di tangan Farah dan membawahnya.
Farah pun mengangguk Azzam pun menarik tangannya dan mengandengn nya. Farah mengikuti Azzam menuju ruangannya yang kini berada di lantai tiga.
Saat sampai di ruangan kerja pria itu suatu pemandangan yang kurang mengenakan menyambut Farah. Sienna wanita itu sedang berada disana menatap nyalang pada Farah yang baru saja masuk kedalam ruangan
Farah mengulas senyum pada Haris yang juga ada disana lalu beralih menatap Sienna.
“Lo, ngapain sih, Zam bawah pelakor ini kesini?” ujar Sienna, matanya tajam kearah Farah.
Azzam membawa Farah untuk duduk di sofa yang memang tersedia di ruangan itu. Ia pun ikut duduk di sana.
“Si, tolonglah. Farah itu istri gue,” ucap Azzam, berusaha tetap tenang.
Seketika, Farah tersenyum miring ke arah Sienna, seakan menegaskan bahwa kini dirinya lah pemenangnya.
Sienna mendecit pelan. Tanpa menjawab ia langsung meninggalkan ruangan itu. Azzam hanya menggeleng pelan melihat tingkah wanita itu.
“Nggak dikejar Mas,” tanya Farah saat mendapati suami nya terlihat resah.
Azzam menggeleng.”Nggak perlu Fa.”
Farah mengulas senyum, kemudian meraih lunch tote yang sedari tadi ia bawa. Ia membukanya dan mengeluarkan dua kotak makan dari dalam tas itu.
“Makan dulu, Mas,” ucapnya sambil menyodorkan satu kotak bekal yang sudah ia buka.
Azzam mengulas senyum, lalu menerimanya. “Enak banget kayaknya.Beli dimana?”
Farah terkekeh pelan. “Aku masak sendiri Mas,”
Azzam mengerutkan keningnya. “Kamu… bisa masak?”
Farah mengangguk samar. “Bisalah Mas, kamu aja yang nggak kasih aku kesempatan buat masak .Cobain deh.”
Azzam tampak ragu. Sejak mereka menikah dan tinggal bersama, ia memang belum pernah melihat gadis itu memasak. Selama ini, mereka selalu membeli makanan, atau Azzam yang akhirnya turun tangan menyiapkan hidangan.
“Makan dong Pak, kelihatanya enak itu,” timpal Haris tiba-tiba. “Kalau nggak mau buat saya saja.” Haris nyengir kuda.
Azzam menatap sinis pada Haris.”Urusin tuh kerjaan.”
Farah terkekeh. “ Mas..” tegurnya. “Oh iya ini buat Mas Haris kebetulan tadi aku juga buatin untuk Mas Haris.”Farah meraih lunch box satunya lagi dan memberikannya pada Haris.
Wajah Haris seketika sumringah. “Wah makasih Bu. Maaf merepotkan.” Dengan langkah cepat Pria itu menghampiri Farah.
Tapi belum sempat Haris meraih
lunch box itu, Azzam lebih dulu merebutnya.
Farah dan Haris seketika saling pandang lalu beralih menatap Azzam yang kini dengan santainya menyantap makanannya dan salah satu tangannya memegang lunch box itu.
Haris mendengus kesal. “Pak punya saya itu.”
Azzam tidak menggubris kini pria itu sibuk dengan makanannya.
Farah menghela napas pelan. “Mas, itu punya Mas Haris. Nggak kebanyakan kalau kamu makan dua-duanya?”
Azzam menggeleng.Tanpa mengalihkan pandangan dari makananya.
Farah tergelak, lalu menatap Haris. “Sabar ya Mas,”
Haris menghembus napas kasar, “Serakah banget sih pak.”
“Ngomong apa kamu?” Azzam mendongkak dengan ekspresi datar.
Farah tergelak. Haris memutar bola matanya malas. “Lapar saya pak.”
“Sana beli sendiri,” sahut Azzam.
“Bapak yang traktir?” ujar Haris cepat.
“Enak aja, bayar sendiri.”
“Pelit banget sih pak,” gerutu Haris.
“Coba ulang sekali lagi?” sahut Azzam kesal.
Haris mendengus pelan. “ Saya izin keluar sebentar pak, beli makan.”
Azzam menatap datar asistenya itu. “Yauda sana, jangan lama-lama.”
“Belum juga pergi pak. Takut kangen ya?” ujar Haris sembari meraih coatnya pada gantungan.
“Sana..” usir Azzam.
Tanpa menyahut, Haris pun bergegas keluar dari ruangan itu.
“Mas, kasihan loh Mas Harisnya udah capek banget itu,” ucap Farah.
“Nggak pa-pa Fa,” ucap pria itu sembari menyelipkan anak rambut Farah yang menjuntai. “ kamu sudah makan?”
Seketika Farah menggeleng lalu tersenyum. “Belum Mas,”
Tanpa aba-abah Azzam membuka kotak bekal yang yang masih utuh dan menyuapi istrinya. “Makan sekarang,” pintah Pria itu.
Farah menghela napas pelan. “Aku makan sendiri aja Mas,”
“Saya suapin.Buka mulutnya,”ujar Azzam datar.
Mau tidak mau Farah pasrah saja dan mengikuti perintah suaminya itu.
Setelah menghabiskan waktu bersama, jam sudah menunjukan pukul tujuh malam waktu Venezia.
Farah pun pamit untuk pulang agar Azzam bisa kembali bekerja.
Setelah berpamitan kepada Haris, Farah pun bergegas pulang. Tak lupa ia mengambil lunch tote yang tadi ia bawa. Awalnya Farah menolak ketika Azzam menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, karena ia tahu pria itu sedang banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Namun, pria itu tak menerima penolakan hal hasil tetap mengantarnya pulang.
“Mas, aku bisa pulang sendiri loh, kamu biasa lanjut kerja,”ucap Farah saat keduanya sudah berada di lobi kantor.
“Tidak apa-apa saya antar kamu pulang setelah itu, saya bisa kembali lagi.” Sahut Azzam.
Farah akhirnya mengalah. Percuma berdebat dengan suaminya—apapun yang ia katakan, hasilnya takkan berubah. Ia memilih pulang bersama Azzam. Keduanya berjalan menuju pintu utama kantor dengan tangan saling bertaut, sisa tawa dan senyum masih menempel di wajah mereka.
Namun, tiba-tiba seseorang menarik rambut Farah keras dari belakang hingga tubuhnya tersentak. Pekikannya pecah, sementara Azzam spontan menoleh dengan wajah terkejut.
“Mbak, apa-apaan sih?! Lepasin!” seru Farah dengan marah.
Azzam baru hendak maju ketika—
PLAK!
Tamparan itu mendarat tepat di pipi Farah. Panasnya langsung menjalar, membuatnya memalingkan wajah dengan tatapan tak percaya.
Farah mengangkat tangan, hampir membalas—
tapi suara tajam itu lebih cepat memotong udara.
“Rovinafamìe…”
(Pelakor)
.
.
.
.
Tbc