Sinopsis
Arta, Dewa Kekayaan semesta, muak hanya dipuja karena harta dan kekuasaannya. Merasa dirinya hanya 'pelayan pembawa nampan emas', ia memutuskan menanggalkan keilahiannya dan menjatuhkan diri ke dunia fana.
Ia terperangkap dalam tubuh Bima, seorang pemuda miskin yang dibebani utang dan rasa lapar. Di tengah gubuk reot itu, Arta menemukan satu-satunya harta sejati yang tak terhitung: kasih sayang tulus adiknya, Dinda.
Kekuatan dewa Arta telah sirna. Bima kini hanya mengandalkan pikiran jeniusnya yang tajam dalam menganalisis nilai. Misinya adalah melindungi Dinda, melunasi utang, dan membuktikan bahwa kecerdasan adalah mata uang yang paling abadi.
Sanggupkah Dewa Kekayaan yang jatuh ini membangun kerajaan dari debu hanya dengan otaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 22
///JANGAN LUPA FOLLOW. LIKE KOMEN. BIAR SEMANGAT UPLOAD BANYAKNYA
AWAS KAGAK LIKE YA!!!! ///
Roni Sanjaya berdiri membeku di tengah karpet merah, jas desainer yang ia kenakan kini terasa seperti seragam kebodohan. Keheningan yang tiba-tiba menyelimuti interaksi mereka, hanya terpecah oleh desis musik latar dan tawa jauh dari kerumunan, merupakan pernyataan kemenangan Bima yang paling tajam. Tuan Satya, sang investor berpengaruh, telah pergi, membawa serta Kredibilitas Yura dan meninggalkan Roni dengan kehinaan strategis.
Risa merasakan aliran energi murni mengalir ke dalam dirinya, tetapi saat ia hendak merayakan, Bima meremas lengannya dengan sentuhan ringan. Sentuhan itu adalah komando: pertempuran nilai belum berakhir hingga musuh mengakui kekalahan.
"Kau beruntung, Bima," bisik Roni, suaranya dipenuhi racun amarah yang tertahan. Ia berusaha keras mempertahankan citra Kekayaan Terlihat-nya. "Tuan Satya hanya melihat potensi dongeng yang kau jual. Jangan lupakan, kau masih butuh izin dari Dewan Keluarga. Dan kau akan pulang dengan tangan kosong dari Pertemuan Kredibilitas itu. Kau tidak punya modal likuid sebesar itu."
Bima menoleh sepenuhnya ke arah sepupunya. Mata Bima memancarkan ketenangan yang dingin, seolah ia sedang mengamati data yang tidak relevan.
{Roni masih mencoba memainkan narasi Kekayaan Terlihat dan Aset Stagnan. Ia tidak mengerti. Setelah malam ini, narasi kita bukan lagi soal Rp250.000.000. Ini soal Akses. Akses jauh lebih likuid dan bernilai jangka panjang daripada uang tunai. Pertarungan di Dewan sudah kita menangkan setengahnya.}
"Roni," balas Bima, suaranya pelan dan berwibawa, hanya didengar oleh Roni dan Risa. "Sejak awal, aku tidak pernah meminta uang kepada Keluarga Pengambil Aset. Aku hanya meminta keadilan untuk Dinda. Modal Rp250.000.000 itu bukan harga kembalinya martabat, itu adalah biaya untuk membuat kalian semua menyaksikan kehancuran narasi kalian sendiri. Dan malam ini, Tuan Satya memberiku Jaminan Pasokan Primer untuk mempercepat proses itu. Tidurlah dengan nyenyak, sepupu. Besok, Yura akan memainkan permainan skala korporat yang tidak akan pernah bisa kau pahami."
Wajah Roni menegang, rahangnya mengatup. Ia tidak mampu membalas argumen yang didukung oleh Kredibilitas Eksternal dari Tuan Satya. Dengan raut wajah yang hancur karena kekalahan mental, ia berbalik dan menghilang ke keramaian.
Risa menoleh ke Bima, tatapannya dipenuhi rasa hormat yang mendalam. "Kau mengubah Roni menjadi sebuah batu loncatan. Itu adalah manuver strategis yang sempurna, Bima."
"Tidak," Bima memotong, membenarkan perannya. "Kau yang mengubah Roni menjadi batu loncatan. Aku hanya memberikan narasi. Kau yang memberikan Validasi Kepercayaan yang membuat Tuan Satya berhenti. Ingat, Risa. Keremehan Roni adalah serangan terhadap citra rongsokan. Keberadaanmu di sini adalah Jaring Pengaman Sosial yang membungkus Margin Keuntungan 400% itu dengan Kredibilitas Fungsional. Tanpamu, ia mungkin hanya tertawa dan berjalan pergi."
Risa mengangguk, menyadari beban dan nilai dari Aset Non-Moneter yang ia bawa. Mereka berjalan keluar dari pusaran gala, Konsolidasi Modal telah terukir dalam aliansi mereka.
Keesokan paginya, jas yang disewa telah dikembalikan. Bima sudah kembali mengenakan pakaian kerjanya, berdiri di tengah markas Yura yang kini terasa seperti pusat saraf sebuah imperium yang sedang tumbuh. Meja restorasi di gudang adalah bukti fisik dari Sistem Teruji Yura.
Rio dan Tuan Banu sudah berada di sana, menunggu laporan akhir dari malam gala.
"Bos, kampanye Akuisisi Mikro di media sosial sukses total," lapor Rio, menunjukkan layar ponselnya. "Kami berhasil mempertahankan Likuiditas Operasional. Total kas masuk dari penjualan aset A-Grade semalam Rp12.000.000. Setelah dikurangi biaya operasional Rio, kita sekarang punya total Aset Bersih Likuid Rp80.000.000."
Tuan Banu, dengan wajah yang kini lebih cerah, melaporkan temuan Due Diligence di jalur korporat.
"Saya sudah memverifikasi broker lelang korporat yang lama, Bos. Dia memang meminta Rp20.000.000 untuk 'uang masuk' saja. Tapi setelah saya telusuri rekam jejaknya, Kredibilitas Broker itu sangat rendah. Jika kita mengeluarkan modal di sana, itu adalah Risiko Modal yang tidak perlu. Pilihan terbaik kita adalah Jalur Pasokan Primer yang ditawarkan Tuan Satya."
Tepat pada saat itu, Risa tiba. Meskipun baru tidur beberapa jam, ia tampak segar dan profesional, membawa sebuah tablet dengan konfirmasi janji temu.
"Tuan Satya menepati janji. Direktur Akuisisi di salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia bersedia bertemu dalam satu jam ke depan," ujar Risa, menempatkan tablet di atas meja kerja. "Aku akan menemanimu, Bima."
Bima mengangguk perlahan, menyerap semua data.
{Rp80.000.000 aset bersih. Ini adalah Modal Agresif yang likuid, tetapi belum cukup untuk membayar Barrier Deposit Korporat Rp100.000.000 per lot untuk volume pasokan yang kita butuhkan. Namun, Jalur Pasokan Primer yang ditawarkan Tuan Satya jauh lebih berharga daripada tunai. Akses ke Direktur Akuisisi ini adalah Validasi Kepercayaan yang akan menghilangkan kebutuhan kita membayar broker perantara yang tidak kredibel.}
"Baik," Bima memutuskan, menatap tim intinya. "Tuan Banu, Rio, kinerja kalian luar biasa. Rio, hentikan semua akuisisi mikro selama 24 jam ke depan. Fokuskan semua sumber daya untuk restorasi aset A-Grade yang ada. Kita butuh aset yang sudah direstorasi penuh sebagai Aset Promosi. Tuan Banu, lupakan broker lama. Fokuskan Due Diligence pada perusahaan telekomunikasi itu. Cari tahu apa yang mereka buang, apa yang mereka butuhkan. Kita harus berbicara dengan bahasa data yang mereka mengerti."
Bima beralih ke Risa, tatapannya tegas. "Risa, Pertemuan Kredibilitas ini adalah ujian terakhir bagi Citra Diri Yura. Kamu akan menemaniku. Kali ini, kita tidak menjual Margin Keuntungan. Kita menjual Skalabilitas Sistem. Kita akan membuat Direktur Akuisisi itu menyadari bahwa membuang aset kepada kita berarti mereka membuang potensi kolaborasi growth jangka panjang."
Satu jam kemudian, Bima dan Risa duduk di sebuah kantor menara kaca milik raksasa telekomunikasi. Bima, mengenakan pakaian kerjanya yang bersih, duduk berhadapan dengan Pak Jaka, Direktur Akuisisi perusahaan tersebut. Risa duduk di sebelahnya, memancarkan Kredibilitas Fungsional seorang eksekutif muda.
Pak Jaka adalah seorang pria paruh baya yang menghargai efisiensi. Ia menatap Bima, mengabaikan basa-basi. "Tuan Satya menjamin sistem Anda. Dia bilang Anda mengubah sampah menjadi emas. Tapi, Tuan Bima, kami membuang aset kami karena kami tidak melihat Nilai Tersembunyi di sana. Mengapa kami harus memberikan Jalur Pasokan Primer kepada startup Anda, daripada kepada perusahaan lelang besar?"
Bima tidak menjawab dengan kata-kata. Ia mengeluarkan dua benda dari tasnya: kartu nama Yura, dan sebuah hard drive server yang sudah direstorasi penuh dan berkilauan, sebuah Aset Promosi nyata.
"Pak Jaka, Anda membuang aset karena model bisnis Anda adalah percepatan. Anda tidak punya waktu untuk restorasi," Bima memulai, menempatkan hard drive itu di atas meja. "Perusahaan lelang besar memberi Anda uang tunai yang cepat, tetapi mereka tidak peduli dengan jejak aset Anda."
{Ini bukan tentang barang bekas. Ini tentang data dan risiko. Kita harus menunjukkan bahwa Sistem Yura adalah mesin analisis risiko yang memahami Nilai Sisa aset lebih baik dari mereka, sekaligus menawarkan Mitigasi Risiko Reputasi.}
"Yura menawarkan lebih dari uang. Kami menawarkan Mitigasi Risiko Reputasi. Setiap aset yang kami restorasikan menjadi produk premium bermerek Yura, kami menghilangkan stigma 'limbah' yang terasosiasi dengan perusahaan Anda. Kami mengubah aset yang Anda buang menjadi nilai merek Yura," Bima menjelaskan dengan lancar. "Kami tidak meminta diskon. Kami meminta kontrak pembelian aset yang sudah dinilai, sebelum lelang. Harga kami kompetitif, tetapi imbalan kami adalah kolaborasi growth."
Risa menyela dengan mulus, menindaklanjuti proposisi nilai Bima. "Saat ini, Yura memiliki Margin Keuntungan Bruto 400%. Jika Anda memberi kami Pasokan Primer, kami bisa memotong rantai broker yang lambat dan tidak efisien. Kami akan menjadi laboratorium restorasi Anda, Pak Jaka. Kami akan membeli tiga lot aset Anda, setara Rp300.000.000. Deposit Rp100.000.000 akan kami bayarkan hari ini, sebagai demonstrasi Validasi Kepercayaan dan keseriusan kami untuk Skalabilitas."
Pak Jaka menatap hard drive di depannya, lalu menatap Bima dan Risa. Ia melihat bukan hanya seorang pedagang rongsokan yang beruntung, tetapi sepasang pengusaha yang memahami bahasa modal dan mitigasi risiko reputasi perusahaan.
"Tiga lot, Anda bilang?" Pak Jaka tersenyum tipis. "Sistem Yura terdengar seperti jawaban atas masalah logistik kami. Saya akan siapkan kontrak Pasokan Primer itu untuk Anda. Selamat datang di permainan skala korporat, Bima."
Bima menghela napas lega yang nyaris tidak terdengar. Tangan Risa menyentuh lututnya di bawah meja, sebuah konfirmasi tak terucapkan dari kemenangan strategis mereka.
{Target modal Rp250.000.000 telah terlewati secara strategis dan fungsional. Jalur Pasokan Primer telah diamankan. Ini adalah Jaminan Kredibilitas yang akan membuat Keluarga Pengambil Aset tidak bisa berkata-kata lagi di hadapan Dewan.}
Di luar kantor megah raksasa telekomunikasi, Bima membiarkan Risa memimpin jalan. Beban strategi yang selama ini ia pikul terasa sedikit terangkat, digantikan oleh kepuasan yang dingin. Mereka tidak hanya memenangkan kontrak, tetapi juga memenangkan pengakuan dari sebuah entitas korporat besar.
Saat mereka tiba kembali di kontrakan sederhana yang menjadi markas Yura, suara tawa Dinda menyambut mereka dari dalam. Dinda sedang duduk di meja kecilnya, dikelilingi oleh buku mewarnai dan beberapa robot mainan yang tampaknya telah direstorasi oleh Rio.
"Kak Bima! Kak Risa!" seru Dinda, melompat dari kursinya, berlari menghampiri mereka. Ekspresi wajah Dinda menunjukkan Aset Non-Likuid paling berharga Bima: kebahagiaan murni.
Bima segera berlutut dan memeluk adiknya erat-erat. "Hei, jagoan. Sudah mewarnai lagi?"
"Sudah! Dan Kak Rio memberiku robot yang baru," jawab Dinda dengan bangga, menarik tangan Risa. "Kak Risa, lihat! Robot ini bergerak cepat sekarang!"
Risa tersenyum lembut. Senyum itu tidak ditujukan untuk kamera investor atau direktur akuisisi; itu adalah senyum Kredibilitas Fungsional yang tulus. "Wah, Rio hebat sekali ya, Dinda. Kamu juga harus hebat mewarnainya, biar Kakak Bima senang."
{Inilah margin keuntungan yang sesungguhnya. Bukan 400% dari aset rongsokan, tapi senyuman Dinda. Kehadiran Risa di sini, tertawa dengannya, melengkapi Jaring Pengaman Sosial yang Dinda butuhkan.}
Bima berdiri dan menatap Risa, pandangannya menyampaikan rasa terima kasih yang tak terukur.
"Setelah ini kita ke mana, Bima?" tanya Risa, suaranya kembali menjadi nada kooperatif, bukan lagi nada eksekutif yang tegas.
"Dewan Keluarga," jawab Bima singkat, menyeka sisa debu gudang dari tangannya. "Kita sudah punya semuanya. Modal Agresif Rp80.000.000. Kontrak Pasokan Primer dengan perusahaan telekomunikasi. Validasi Kepercayaan dari Tuan Satya. Dan yang paling penting," ia menoleh ke Dinda yang sedang asyik bermain, "kita punya alasan yang tak terbantahkan. Sekarang waktunya untuk finalisasi Akuisisi Martabat."
"Kita akan membuat mereka melihat data nilai dan data emosi, sekaligus," Risa menyimpulkan, mengangguk setuju.
Bima hanya tersenyum tipis. "Besok. Besok kita pulang, Risa."