Di dunia yang dipenuhi oleh para gamer kompetitif, Kenji adalah sebuah anomali. Ia memiliki satu prinsip mutlak: setiap game yang ia mulai, harus ia selesaikan, tidak peduli seberapa "ampas" game tersebut. Prinsip inilah yang membuatnya menjadi satu-satunya pemain aktif di "Realms of Oblivion", sebuah MMORPG yang telah lama ditinggalkan oleh semua orang karena bug, ketidakseimbangan, dan konten yang monoton. Selama lima tahun, ia mendedikasikan dirinya untuk menaklukkan dunia digital yang gagal itu, mempelajari setiap glitch, setiap rahasia tersembunyi, dan setiap kelemahan musuh yang ada.
Pada sebuah malam di tahun 2027, di dalam apartemennya di kota metropolitan Zenith yang gemerlap, Kenji akhirnya berhasil mengalahkan bos terakhir. Namun, alih-alih layar ending credit yang ia harapkan, s
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nocturnalz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Jalan Menuju Benteng
Kembali ke '24/7 Mart' terasa seperti seorang petualang yang kembali ke kota setelah menaklukkan sebuah dungeon legendaris. Kami tidak hanya membawa material, tetapi juga kepercayaan diri yang baru. Tas ransel kami penuh, dan semangat kami membara. Momen istirahat ini singkat, tetapi sangat berarti.
Ryo menyambut kami di pintu, matanya langsung tertuju pada perkakas dan anak panah yang kami bawa. Ia mengambil [Perkakas Presisi Sang Juru Tulis] dari tanganku dengan hormat, jari-jarinya menelusuri ukiran sihir di atasnya.
"Dengan ini..." bisiknya, "...aku bisa melakukan jauh lebih banyak. Presisinya... luar biasa. Aku bisa mulai mengerjakan sirkuit mana yang lebih rumit."
Anya, di sisi lain, dengan hati-hati menyimpan [Anak Panah Pena Bertuah]-nya ke dalam tempat anak panah kulit yang baru. Ia hanya menyisakan satu untuk diuji. Anak panah itu terasa ringan namun kokoh, ujung logamnya bersinar redup. Ia tidak perlu mengujinya untuk tahu bahwa ini adalah amunisi yang akan mengubah permainannya.
Malam itu, kami membuat keputusan bulat. Kami telah menyelesaikan semua misi persiapan kami. Kami memiliki peralatan, kami memiliki sumber daya, dan yang terpenting, kami memiliki momentum.
"Tidak ada lagi alasan untuk menunda," kataku saat kami berkumpul di sekitar [Lentera Mana]. "Besok pagi, kita berangkat ke stasiun pemadam kebakaran. Kita akan mengambil semua yang bisa kita bawa dari sini dan tidak akan kembali."
Ini adalah sebuah proklamasi. Kami akan bertransisi dari sekadar bertahan hidup di sebuah tempat perlindungan sementara, menjadi merebut dan membangun sebuah markas permanen. Ini adalah langkah dari reaktivitas menjadi proaktivitas.
Malam terakhir kami di toko serba ada itu dihabiskan dengan persiapan. Kami mengemas semua makanan kaleng yang awet, air kemasan, baterai, dan material kerajinan yang berguna ke dalam ransel dan [Karung Penimbun Gremlin] milik Anya. Toko yang tadinya terasa seperti surga sumber daya kini tampak kosong dan dijarah—oleh kami sendiri. Kami tidak meninggalkan apa pun yang berharga.
Keesokan paginya, di bawah cahaya fajar dunia baru, kami berdiri di depan barikade untuk terakhir kalinya. Kami bertiga tampak sangat berbeda dari saat kami pertama kali bertemu. Anya, dengan busur di punggung dan belati Rare di pinggangnya, tampak seperti seorang Ranger yang gesit dan mematikan. Ryo, dengan zirah dada Ogre-nya yang kokoh dan perisai di lengannya, tampak seperti seorang insinyur tempur yang siap menghadapi bahaya. Dan aku, dengan gada Ogre raksasa tersampir di bahuku, mungkin tampak seperti seorang barbar. Kami adalah party yang aneh, tapi kami adalah party yang kuat.
"Ayo pergi," kataku. "Jalan menuju rumah baru kita."
Perjalanan menuju distrik industri adalah ujian nyata pertama bagi sinergi kami yang telah ditingkatkan. Jalanan di sini lebih hancur, dan atmosfernya lebih menindas. Pabrik-pabrik yang berkarat menjulang seperti kerangka-kerangka raksasa, dan genangan cairan kimia berwarna aneh menggelegak di selokan.
Tidak lama kemudian, kami bertemu dengan patroli [Gear Scuttler] yang sebelumnya kami hindari. Sekitar enam dari mereka merayap keluar dari sebuah gudang yang runtuh, capit-capit logam mereka bergesekan dengan beton.
Kali ini, kami tidak lari.
"Anya, prioritaskan yang di belakang!" perintahku. "Ryo, lindungi Anya! Aku akan menarik perhatian yang di depan!"
Pertarungan itu adalah sebuah pertunjukan efisiensi. Anya melepaskan salah satu anak panah barunya. [Anak Panah Pena Bertuah] melesat seperti kilatan perak, menembus cangkang logam Scuttler terluar dengan mudah dan menancap dalam. [-75 HP]. Monster itu menjerit kesakitan, terhuyung-huyung. Satu tembakan dari Anya kini setara dengan satu pukulan kapakku sebelumnya.
Sementara itu, aku menerjang ke depan. Aku mengayunkan [Gada Tiang Lampu Ogre]-ku. Dengan STR 50, senjata itu terasa seperti bagian dari diriku. Aku mengaktifkan [Earthshaker], menghantam tanah dengan kekuatan penuh. Gelombang kejut membuat para Scuttler di sekitarku tertegun, gerakan mereka menjadi lambat dan kacau.
Ini memberi Ryo kesempatan. Ia tidak hanya bertahan. Dengan perisainya, ia menabrak salah satu Scuttler yang tertegun, membuatnya terbalik dan memperlihatkan bagian bawahnya yang lebih rentan. "Sekarang, Anya!" teriaknya.
Satu anak panah lagi melesat dan menghabisi monster yang tak berdaya itu.
Kami membersihkan sisa-sisa mereka dalam waktu kurang dari satu menit. Pertarungan yang tadinya akan menjadi perjuangan yang panjang dan berbahaya kini telah menjadi pemanasan singkat. Kami telah naik level, secara harfiah dan kiasan.
Setelah melewati beberapa rintangan lingkungan lagi—termasuk sebuah jembatan yang runtuh yang kami seberangi menggunakan tali yang ditembakkan Anya dengan panahnya—kami akhirnya melihatnya.
Stasiun pemadam kebakaran itu berdiri kokoh seperti sebuah benteng kecil di tengah kehancuran. Bangunan beton berwarna merah pudar itu tampak tidak bisa ditembus. Gerbang garasi bajanya yang besar tertutup rapat, dan jendela-jendela di lantai dasar dipalangi dengan jeruji besi. Itu sempurna.
"Terlalu sempurna," gumamku. "Kita lakukan pengintaian dulu."
Kami menyelinap di sekitar perimeter. Sebagian besar bangunan tampak aman, tetapi seperti yang dikatakan ingatanku, tempat ini tidak kosong.
Anya, dengan kelincahan alaminya, memanjat pipa pembuangan air ke atap. Beberapa menit kemudian, ia kembali turun tanpa suara. "Atap bersih," lapornya. "Tapi ada satu jendela pecah di lantai dua, di bagian belakang. Aku dengar suara dari dalam. Bukan langkah kaki. Lebih seperti... suara seretan. Dan ada bau seperti... daging busuk dan jamur."
Aku pergi ke bagian belakang gedung dan melihat ke atas, ke jendela yang pecah itu. Aku memfokuskan [Mata Sang Penamat]-ku, mencoba menembus kegelapan di dalamnya. Aku bisa melihat beberapa sosok yang bergerak lambat di dalam. Mereka berbentuk humanoid, tetapi tubuh mereka membengkak secara tidak wajar dan ditutupi oleh lapisan jamur yang berdenyut.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Nama: Mayat Kembung
Level: 8
HP: 600/600
Skill: [Ledakan Spora] (AoE)
Tipe Zirah: Daging Bengkak
Kelemahan: Api, Suci.
Resistensi: Sangat Tinggi (Hantaman/Tumpul).
Deskripsi: Mayat yang dihidupkan kembali oleh jamur parasit. Sangat lambat dan tanky. Saat mati, tubuhnya akan meledak, melepaskan awan spora beracun yang menyebabkan status [Lambat] dan kerusakan berkelanjutan.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Sial. Gada Ogre-ku, senjata andalanku, hampir tidak berguna melawan mereka. Resistensi mereka terhadap kerusakan hantaman berarti aku harus memukul mereka berkali-kali untuk menjatuhkan satu. Dan yang lebih buruk, skill [Ledakan Spora] mereka adalah ancaman area yang mematikan di dalam ruangan tertutup.
"Kita punya masalah," kataku, menjelaskan situasinya pada Anya dan Ryo. "Senjata utamaku tidak efektif. Dan setiap kali kita membunuh satu, ia akan meledak."
Ryo menatap zirah dadanya, lalu pada perisainya. "Aku bisa menahan beberapa pukulan," katanya, suaranya lebih mantap dari yang pernah kudengar. "Tapi awan spora itu..."
"Kita butuh rencana," kata Anya, matanya yang tajam memindai bangunan. "Kita tidak bisa melawan mereka di koridor sempit."
Aku berpikir cepat, memproses semua variabel. Kelemahan mereka adalah Api. Aku teringat pada bom molotov darurat yang pernah kubuat.
"Ryo, apakah kau punya sisa antiseptik atau alkohol di tas medis?" tanyaku.
"Ada sebotol kecil," jawabnya.
"Bagus. Basahi beberapa kain dengan itu. Kita akan membungkusnya di beberapa anak panah Anya. Itu akan memberi kita serangan api jarak jauh."
"Dimengerti!" kata Ryo, segera mulai bekerja.
Aku menatap jendela yang pecah di lantai dua. "Itu adalah titik masuk kita. Masuk lewat gerbang depan terlalu berisiko. Kita akan membersihkan tempat ini dari atas ke bawah. Ryo, kau akan memberikan dukungan dari jendela, lemparkan batu atau apa pun untuk memancing mereka menjauh dari kami jika perlu. Anya, kau dan aku akan masuk. Kau akan menjadi DPS utama dengan belatimu. Aku akan menjadi tank, meskipun kerusakanku rendah. Tugas utamaku adalah menjatuhkan mereka dan memberimu ruang untuk bekerja."
"Bagaimana dengan sporanya?" tanya Anya cemas.
"Saat HP mereka hampir habis, aku akan berteriak," jelasku. "Saat itu terjadi, kau harus segera mundur sejauh mungkin. Aku akan mencoba menahan ledakannya. Ini akan berbahaya."
Ryo kembali dengan beberapa anak panah yang ujungnya telah dibungkus kain basah. Panah Api Darurat.
Kami siap. Ini adalah operasi pembersihan dungeon kami yang paling kompleks hingga saat ini.
Aku membantu Anya memanjat ke ambang jendela di lantai dua. Ia melompat masuk dengan gesit, [Moonfang Dagger]-nya sudah di tangan. Aku menyusul tepat di belakangnya, kapak besiku kini terasa lebih berguna daripada gada raksasaku.
Kami berada di sebuah ruang rekreasi atau asrama. Beberapa tempat tidur susun terbalik, dan di lantai, tiga Mayat Kembung berbalik ke arah kami dengan gerakan lambat dan kaku. Suara seretan yang didengar Anya adalah kaki mereka yang membusuk di lantai.
"Mulai," bisikku.
Pertarungan untuk merebut benteng kami telah dimulai.