Arga adalah remaja SMA yang selalu terlihat ramah dan polos, bahkan dikenal sebagai kuli pikul yang tekun di pasar tiap harinya. Namun di balik senyumnya yang tulus, Arga menyimpan rahasia kelam yang hanya diketahui sedikit orang. Ia diam-diam menyelidiki siapa dalang pembantaian keluarganya yang tragis, terbakar oleh tekad balas dendam yang membara. Perjalanan mencari kebenaran itu membawanya bertemu dua gadis tangguh bernama Kinan dan Keysha, yang ternyata juga anak-anak mafia dari keluarga besar yang menyamar sebagai murid SMA biasa namun tetap memiliki jiwa petarung yang kuat di sekolah. Bersama ketiganya, kisah penuh intrik, persahabatan, dan konflik berseteru di dunia gelap mafia pun dimulai, menyingkap tabir rahasia yang tersembunyi jauh di balik wajah polos mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komang basir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
harapan
Kinan membuka matanya perlahan. Sorot matanya yang sebelumnya panik kini bercampur antara bingung dan terpesona. Ia menatap Arga, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi, tubuhnya masih gemetar, tangan masih sedikit gemetar, tapi hatinya tak bisa menyangkal sensasi hangat yang menyebar dari bibir hingga ke seluruh tubuhnya.
Arga menatapnya diam, matanya tetap serius, tapi ada sedikit kehangatan yang menyelinap di dalam tatapannya—seolah mengatakan bahwa meski malam ini penuh bahaya, ada satu hal yang pasti: ia tidak akan membiarkan Kinan terluka.
“Apa yang sudah kamu lakukan?” tanya Kinan, matanya masih berbinar bingung, campuran antara takut, heran, dan… sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.
Arga tersenyum tipis, mengangkat tubuhnya kembali, berdiri tegak sambil menatap ke bawah. Cahaya bulan menyorot punggungnya, membuat sosoknya tampak lebih dominan, namun tetap tenang dan percaya diri.
“Anggap saja… itu semua hadiah yang kamu inginkan,” jawabnya sambil melangkah perlahan mendekati Keysha. Suaranya rendah, menenangkan, tapi ada aura kekuatan yang tak bisa diabaikan.
Keysha menoleh, mata mereka bertemu. Arga kini jongkok di sampingnya, napasnya masih ngos-ngosan dari pertarungan tadi. Dadanya naik-turun cepat, dada Keysha juga masih berdebar kencang.
“Kamu… cantik,” ucap Arga, suaranya lembut, tapi tatapannya tajam menembus Keysha. “Tapi sayang… darah ini menghalangi.” Ia menunduk, dengan gerakan hati-hati, jari-jarinya menyapu lembut darah di bibir Keysha.
Keysha cepat menggeleng, menahan diri agar tangannya tak tersentuh. Bibirnya mengeras, tapi matanya tetap menatap Arga dengan ketegangan dan sedikit kebingungan.
“Jangan melawan… aku hanya ingin berbuat baik,” bisik Arga, suaranya tegas tapi lembut, matanya tak lepas dari Keysha. Perlahan, Keysha berhenti menolak. Tubuhnya masih tegang, tapi ia membiarkan Arga menyapu darah itu hingga bibirnya bersih dari noda merah, terasa hangat dari sentuhan tangan Arga.
Dalam hening yang sesaat itu, hanya terdengar napas mereka berdua—campuran antara sisa adrenalin pertarungan dan ketegangan yang mendadak berubah menjadi kehangatan samar yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Meski Keysha merasa malu dengan sikap Arga yang seakan meremehkannya, jauh di dalam hatinya ia tak bisa menepis bahwa ada sesuatu yang meneguhkan langkah Arga—kebaikan yang samar namun nyata. Ia tertegun sejenak, menatapnya tanpa sadar.
“Kenapa kamu tidak membunuh aku?” tanya Keysha, suaranya tegas meski dadanya masih bergetar oleh sisa pertarungan.
Arga hanya tersenyum kecil. Ia masih jongkok, kedua sikunya bertumpu di lutut, menatap lurus ke arah Keysha. Tatapannya penuh keyakinan, seperti seseorang yang tahu betul apa yang ia lakukan.
“Bukannya kalian berdua hanya ingin mengujiku? Bukan untuk saling membunuh,” jawab Arga, lalu perlahan bangkit berdiri, gerakannya tenang, seolah tidak lagi menganggap mereka ancaman.
Keysha mengangkat pandangannya, menatap Arga dari bawah—mulai dari kakinya yang kokoh, tubuhnya yang tegap, hingga wajahnya yang menunduk menatap balik dengan aura misterius.
“Kau memang orang yang begitu kuat, Ar,” ucap wanita bertopeng itu sambil berdiri tegak setelah melompat turun dari genteng.
Suaranya terdengar mantap, namun samar menyimpan rasa kagum sekaligus tantangan.
Arga, yang sejak tadi sudah menyadari keberadaan sosok itu, hanya melirik sekilas. Senyum tipis muncul di wajahnya, senyum yang menandakan ia sudah menunggu momen ini.
“Kalau kalian mau pulang, silakan. Maaf, aku harus pergi karena ada urusan sebentar,” ucap Arga ringan, tapi tegas. Tanpa menoleh lagi pada Keysha dan Kinan, ia langsung melesat, berlari secepat mungkin ke arah wanita bertopeng.
Debu beterbangan akibat hentakan kakinya, dan dalam sekejap jarak antara mereka terpangkas.
Keysha dan Kinan hanya bisa menatap kepergiannya. Kinan yang sejak tadi masih duduk bersimpuh akhirnya jatuh rebah ke tanah, tubuhnya tak lagi kuat menahan rasa sakit. Sementara itu, Keysha berusaha mengatur napas, dadanya naik-turun berat, mencoba mengembalikan sedikit tenaga yang tersisa.
Kaki wanita bertopeng baru saja melangkah beberapa tapak ketika telinganya menangkap suara langkah cepat—halus, nyaris tak terdengar oleh orang biasa. Refleks, ia meraih pisau lipat dari pinggang, lalu menyabetkan ke arah belakang tanpa ragu.
Namun sebelum ujung pisau sempat menyentuh daging, pergelangan tangannya terkunci oleh genggaman kokoh.
“Apakah kamu ingin mengajakku bermain?” suara Arga terdengar tenang dari belakang, begitu dekat hingga napasnya terasa di sisi telinga.
Wanita bertopeng menoleh sedikit, senyum kecil muncul di balik topengnya. Ia menarik tangannya perlahan, melepaskan diri dari genggaman Arga.
“Maaf… hanya refleks,” jawabnya ringan, seolah penusukan barusan tak lebih dari sapaan ramah.
Tatapan Arga meruncing, dingin sekaligus curiga. “Apa yang sebenarnya kau cari? Kenapa kau ada di sini?”
Wanita itu tak langsung menjawab. Ia menyarungkan kembali pisaunya, lalu melangkah setengah lingkaran mengitari Arga, gerakannya luwes dan nyaris tak bersuara. “Aku di sini bukan kebetulan. Aku hanya ingin melihat sesuatu.”
Arga menggeser kakinya, menjaga jarak. “Melihat apa?”
Wanita bertopeng berhenti tepat di sampingnya, kepala sedikit miring, suaranya terdengar samar—antara menggoda dan menguji.
“Melihat apakah kau benar-benar bertarung seperti melawan aku atau enggak.”
Arga tersenyum kecil, langkahnya mantap mendekat sampai wajah mereka hanya terpaut beberapa inci. Napas hangatnya menyapu permukaan topeng yang dingin.
“Kalau bertarung,” ucapnya rendah, “aku tidak pernah membedakan orang.”
Wanita bertopeng mengangkat kedua tangannya perlahan, lalu menaruhnya di bahu Arga. Sentuhan itu ringan, tapi sarat kendali.
“Ya, aku tahu itu,” jawabnya sambil tersenyum samar di balik topeng. “Tapi kedatanganku ke sini hanya untuk memastikan.”
Arga menahan napas sejenak. Apa yang dilakukannya bukan sekadar ucapan—gerak, tatapan, bahkan cara wanita itu menempuh jarak begitu dekat membuat sesuatu dalam dirinya terasa terusik.
Tangan kanannya terangkat, menekan tembok di sisi kepala wanita itu, membatasi ruang gerak. Sementara tangan kirinya perlahan melingkar ke pinggangnya. Hangat kulit berlapis kain tipis itu terasa di telapak tangannya.
Alis wanita bertopeng sedikit terangkat. Ia menunduk menatap ke arah tangan Arga di pinggangnya.
“Apa yang mau kamu lakukan?” tanyanya, suaranya terdengar rendah, hampir berbisik.
Tatapan Arga meruncing, serius, tajam, tanpa jeda.
"Apakah kamu merasa terganggu dengan apa yang hendak aku lakukan. " Tanya Arga balik.
Wanita bertopeng tersenyum tipis, matanya mengintip dari balik topeng seperti menakar kemungkinan.
“Mungkin iya, bisa juga tidak,” jawabnya santai, nada suaranya masih menyisakan misteri.
Arga mengendurkan pegangannya. Tangan yang tadi menempel di pinggang itu perlahan turun, dan jemarinya yang sempat menekan tembok kini meluncur mundur. Ia membuka kedua tangannya seperti memberi jalan.
“Silakan,” ucapnya singkat—kode yang dingin namun sopan.
Wanita itu melangkah maju beberapa langkah, lalu menoleh lagi sekali ke arah Arga. Di bawah sinar bulan, garis wajahnya samar namun penuh tekad.
“Suatu saat nanti, kamu harus menjadi partner-ku, Ar,” katanya, nada penuh harap tapi juga perintah terselubung.
Arga menoleh setengah badan, menarik bahu sedikit, lalu mulai melangkah menjauh, jejak kakinya menimbulkan butiran debu halus.
“Aku orang baik. Jadi untuk menjadi maling, aku rasa diriku sama sekali tidak pantas,” jawabnya sambil berjalan, suaranya dingin namun ada nada sinis yang tak bisa disembunyikan.
Wanita bertopeng sekilas mengangguk, lalu menelan senyum itu—seolah menyimpan rencana. Dia kemudian menghilang dalam bayang-bayang genteng, meninggalkan malam yang kembali sunyi.
Arga menunduk sejenak, menatap ke arah Keysha dan Kinan yang kini mulai bangkit—napas mereka berat, tubuh rapuh namun jiwa masih menyala. Ia menarik napas panjang, lalu melangkah kembali ke arah dua gadis itu. Suaranya langkah kakinya pelan namun bisa di dengar oleh mereka berdua.
“Gimana, mau aku bantu?” suara Arga terdengar dekat, tenang tapi mengandung sesuatu yang bikin bulu kuduk berdiri. Ternyata ia sudah berdiri tepat di samping mereka.
Refleks, Keysha dan Kinan menoleh bersamaan. Keysha masih limbung, tubuhnya gemetar dan nyaris roboh. Kinan buru-buru meraih pinggang temannya, memapah sekuat tenaga agar tetap tegak.
“Kami bisa bangun sendiri,” jawab Kinan cepat, nadanya sengaja diturunkan, seolah tak ingin memberi celah pada Arga. Ia menunduk, fokus menjaga tubuh Keysha yang separuhnya sudah menggantung di bahunya.
“Uhuk—” suara serak Keysha pecah, bercampur darah yang merembes dari sudut bibirnya. Tangannya refleks menekan perut, wajahnya meringis menahan sakit yang masih berdenyut akibat hantaman keras tadi.
Arga hanya berdiri, menatap keduanya tanpa ekspresi jelas. Pandangannya tajam, tapi ada sedikit kerutan samar di sudut alis—antara iba atau sekadar menilai kekuatan mereka.
“Jangan paksakan dirimu, Key,” gumam Kinan lirih sambil merapatkan pegangan. Ia menoleh cepat ke arah Arga dengan tatapan waspada, lalu kembali fokus ke temannya.
Arga akhirnya menghela napas, suaranya rendah tapi terdengar jelas.
“Kalian memang keras kepala, tapi itu yang membuat aku jadi suka.”
Meski Kinan berusaha menopang tubuh Keysha, langkah mereka tampak terseret-seret. Nafas Kinan berat, sedangkan Keysha hampir tak sanggup membuka mata. Setiap dua tiga langkah, tubuh mereka oleng, nyaris ambruk ke tanah yang dingin.
“Sudah ku bilang… jangan keras kepala.” Suara Arga terdengar tajam, namun ada nada menahan kesal sekaligus prihatin.
Dalam sekejap, ia melangkah cepat, lalu menangkap mereka berdua tepat ketika tubuh Keysha hampir menghantam tanah.
Kinan sempat terperangah, matanya melebar karena Arga kini berada begitu dekat.
Punggung lebar Arga menjulang di hadapan mereka, dingin tapi juga menjadi penopang yang kokoh. Kedua tangan Arga meraih mereka sekaligus, menarik hingga bahu Kinan dan tubuh lemas Keysha bersandar penuh di pundaknya.
Keysha terisak kecil, darah masih berbekas di bibirnya. “K… kenapa kamu… mau bantu kami?” bisiknya lemah, hampir tak terdengar.
Arga menunduk sedikit, suaranya rendah, berat, namun tegas.
“Kalau kalian mati di sini, siapa lagi yang akan menjaga rahasiaku?”
Kinan menatapnya dari samping, keringat dingin bercampur darah di pelipisnya. Ia bisa merasakan panas tubuh Arga yang kini menyangga mereka, kontras dengan tatapan dingin lelaki itu.
Di dalam hati Kinan bergumam: "Arga… sebenarnya kamu itu musuh, atau teman?"
“Lebih baik kalian istirahat dulu di sini. Kondisi kalian sangat tidak memungkinkan untuk pulang,” ucap Arga, nada suaranya terdengar tegas namun ada sedikit ketulusan yang terselip. Ia mengeratkan genggaman tangannya, membantu menahan tubuh Kinan dan Keysha agar tidak jatuh lagi.
nunggu banget nih lanjutannya