NovelToon NovelToon
ARLOJI BERDARAH - Detik Waktu Saksi Bisu

ARLOJI BERDARAH - Detik Waktu Saksi Bisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Cinta Terlarang
Popularitas:266
Nilai: 5
Nama Author: Ardin Ardianto

📌 Pembuka (Disclaimer)

Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

misi sebelum rasa sakit hilang

Rom terbangun dari tidurnya yang gelisah, rasa pegal di pundaknya masih menyiksa seperti pengingat pahit dari perkelahian sengit dengan pacarannya, Elesa, kemarin malam. Cahaya pagi yang redup menyusup melalui tirai kamarnya, dan matanya langsung tertarik pada ponsel yang bergetar pelan di meja samping tempat tidur. Layarnya menyala samar, menandakan ada notifikasi baru.

Dengan malas, Rom meraih ponsel itu. Ternyata ada pesan dari Elesa. Jarinya sudah siap mengklik untuk membacanya, tapi tiba-tiba nada dering telepon memecah keheningan. Nama penelepon: Rahman, pilot helikopter dari unit Air-Rium. "Arghh..." gumam Rom kesal, belum sempat membaca pesan itu. "Kenapa pagi-pagi gini?" Ia mengangkat telepon dengan nada kasar.

"Halo!" sapa Rom, suaranya masih serak karena baru bangun.

"Rom, kamu butuh perintah? Helikopter siap bertindak," jawab Rahman di ujung sana, suaranya tegas dan siaga.

"Apa yang terjadi? Jangan bikin aku bingung pagi-pagi," balas Rom sambil menggosok mata.

"Dugaan kita terbukti. Hotel Rembulan Manis adalah bagian dari jaringan musuh. Seluruh cabang hotel, penginapan, tour, travel, dan bahkan Highlight Gelap-an Manis—semuanya terlibat. Ini mafia besar."

Rom langsung bangkit dari kasur, adrenalinnya melonjak. "Kondisi sekarang bagaimana?" tanyanya sambil berlari menuju garasi. Ia bahkan belum sempat ganti baju—masih mengenakan celana pendek lusuh dan kaos oblong bertuliskan "Punk My Life" yang sama sekali tak pantas untuk seorang tentara dari unit Militaryum. Tapi tak ada waktu untuk memikirkan itu.

Rahman melanjutkan, "Satu per satu cabang mulai digrebek oleh polisi dan tentara setempat. Kita harus bersiap menyerang pusatnya. Dugaan kuat, Rembulan Manis punya koneksi mafia dengan persenjataan lengkap."

Rom sudah masuk ke mobilnya, mesin langsung dihidupkan. "Kemungkinan besar mereka punya helikopter sendiri. Kurasa kita harus siapkan rudal," katanya sambil memutar kunci kontak.

"Jangan gitu juga, Rom. Ini di tengah kota Jakarta—rudal bisa bahaya buat warga sipil," protes Rahman.

"Tau, jangan ngajari aku!" bentak Rom sambil menginjak gas, mobilnya melaju kencang meninggalkan garasi. "Apa pusat Rembulan Manis sudah diserang sekarang?"

"Belum. Beberapa polisi dan intel masih memantau dari jarak dekat. Polisi minta bantuan perlindungan dari Militaryum. Kita harus gerak cepat."

"Baiklah, tunggu dulu. Aku akan langsung ke Rembulan Manis untuk memantau situasi. Jangan matikan teleponku—begitu aku minta, langsung bawa helikopter ke sini," perintah Rom, suaranya penuh otoritas meski hatinya masih terganggu oleh pesan Elesa yang belum dibaca.

"Baik, laksanakan, Rom. Eh, soal tim darat—"

Rom langsung menyela, "Jangan nunggu heli! Tim darat maju duluan. Jika polisi sudah minta bantuan, abaikan heli buat sementara."

"Baik, aku akan kabari Marckno. Tim darat maju duluan," jawab Rahman.

"Ya udah, cepat! Jangan kelamaan," desak Rom.

Rahman terdengar bernapas berat, mungkin sedang berlari untuk menemui Marckno. "Santai aja, Rom. Operasi belum dimulai sepenuhnya."

Rom melempar ponselnya ke dashboard mobil dengan kesal, fokusnya kini sepenuhnya pada jalan di depan. Angin pagi Jakarta menerpa wajahnya melalui jendela yang setengah terbuka, tapi pikirannya sudah melayang ke medan pertempuran yang menanti.

Rom melaju kencang menuju markas Militaryum, jantungnya berdegup cepat seiring deru mesin mobil yang memecah hiruk-pikuk lalu lintas pagi Jakarta. Pikirannya masih terbelah antara operasi mendadak ini dan pesan Elesa yang belum dibacanya. Begitu tiba di gerbang markas, ia langsung memarkir mobil secara sembarangan dan berlari masuk, kaos "Punk My Life"-nya basah oleh keringat tipis.

Di halaman depan, tim darat Militaryum masih berkumpul, kendaraan lapis baja mereka diam tak bergerak, seperti prajurit yang menunggu aba-aba. Rom mengerutkan kening. "Kenapa belum bergerak?" tanyanya lantang, suaranya bergema di antara para anggota tim yang sedang memeriksa perlengkapan.

Shadaq, komandan tim darat yang tangguh dengan wajah berparut pengalaman, menoleh dari peta digital yang sedang dipelajarinya. "Belum ada perintah resmi, Rom. Masih berunding strategi dengan atasan. Kita nggak bisa asal gerak, ini operasi di pusat kota."

"Lemot banget!" gerutu Rom sambil meraih rompi anti-peluru dari rak terdekat, memakainya di atas kaosnya yang tak karuan. "Aku ikut ke Rembulan Manis. Oi, Shadaq, ayo berangkat sekarang!"

Shadaq menoleh lagi, mulutnya terbuka hendak menjawab, tapi tiba-tiba Juliar menyela dari belakang, suaranya tajam seperti pisau. Juliar, analis intelijen yang selalu hati-hati, melangkah maju dengan map di tangan. "Jangan sembarangan, Rom! Kau sebaiknya ke ruang komando bareng Elesa dan Marckno. Arahkan helikopter dari sana. Ini bukan tempat untuk aksi heroikmu."

"Brisik!" balas Rom kasar, matanya menyipit. "Ayo antar aku ke arena. Aku akan pantau langsung di lokasi. Kalian terlalu lambat!"

"Hei, aku memperingatkanmu, jangan sembarangan!" Juliar mendekat, wajahnya memerah karena kesal. "Ini bisa berbahaya, dan kau bahkan belum ganti baju!"

Rom tak peduli. Ia mendekat ke Juliar, menundukkan dada rekannya dengan telunjuknya, tatapannya penuh tekad. "Aku tahu yang terbaik. Aku harus pastikan heli-ku datang tepat waktu. Bawa aku ke sana sekarang, aku memantau. Tim lain bisa menyusul nanti."

Juliar menggelengkan kepala, tapi tak ada waktu untuk berdebat lebih lanjut. Shadaq, yang selama ini diam mengamati, akhirnya angkat bicara. "Baiklah, Rom. Kalau kau ngotot, aku antar kau dulu. Tapi kita pakai mobil biasa, nggak kendaraan resmi—biar nggak mencurigakan. Yang lain tunggu perintah dari Marckno."

Rom mengangguk puas, adrenalinnya semakin memuncak. "Ayo, gerak sekarang!"

Shadaq mengambil kunci mobil patroli sederhana dari meja, dan mereka berdua berlari ke garasi. Mesin dihidupkan, ban berdecit saat mobil meluncur keluar markas. Di jalan raya yang mulai ramai, Shadaq mengemudikan dengan cepat tapi hati-hati, sementara Rom memeriksa ponselnya—masih terhubung dengan Rahman. "Rahman, aku dalam perjalanan ke Rembulan Manis bareng Shadaq. Siapkan heli untuk back-up," katanya melalui speaker.

Shadaq melirik sekilas. "Kau yakin ini ide bagus, Rom? Mafia ini nggak main-main."

"Yakin. Kita harus cepat sebelum mereka sadar kita datang," jawab Rom tegas, matanya tertuju ke depan, siap menghadapi apa pun yang menanti di pusat hotel yang kini jadi sarang musuh. Mobil mereka menyatu dengan lalu lintas, mendekati target dengan kecepatan yang tak terbendung.

Waktu berlalu lambat di atas dak beton yang panas terik, matahari pagi Jakarta yang semakin tinggi membuat keringat menetes di dahi Rom. Ia tetap fokus, teleskopnya menempel erat di mata kanan, menyapu cakrawala utara secara metodis. HT di pinggangnya sesekali berdering pelan dengan update dari Shadaq: "Utara masih aman, tapi ada gerakan mencurigakan di atap hotel—beberapa orang kelihatan bawa koper besar." Rom balas singkat via HT: "Pantau terus, jangan gerak dulu. Kabari kalau ada heli mendekat." Ponselnya juga terus bergetar dengan pesan grup dari polisi dan intel: konfirmasi bahwa tim darat sudah mulai mendekati perimeter hotel, tapi masih menunggu sinyal dari Militaryum untuk penyergapan penuh.

Setelah satu jam lebih berlalu, tepat ketika Rom mulai merasa pegal di posisinya yang tak nyaman, ia menangkap sesuatu di lensa teleskop: tiga titik kecil di langit jauh, seperti serangga hitam yang melayang mendekat dari arah utara. Jantungnya berdegup lebih cepat. "Seperti dugaan ku," gumamnya pelan, zoom-in teleskop untuk konfirmasi. Titik-titik itu membesar perlahan, bentuknya jelas sekarang—helikopter sipil yang dimodifikasi, mungkin Black Hawk atau varian murahannya, dengan logo samar yang tak asing: mungkin milik jaringan mafia Rembulan Manis. "Untung aku punya heli sendiri," tambahnya dalam hati, tapi ada nada khawatir—jarak mereka sudah terlalu dekat.

Rom langsung ambil ponsel dari saku—telepon dengan Rahman masih aktif sejak pagi, suara angin dan rotor samar terdengar di latar belakang. "Rahman, ini Rom. Bergerak sekarang! Tiga heli musuh dari utara, estimasi tiba dalam lima menit. Kecepatan penuh ke koordinat hotel—posisi tepat di atas atap utama. Siapkan tim penembak jitu di pintu kabin."

"Laksanakan, Rom," jawab Rahman tegas, suaranya diiringi lonjakan deru mesin. "Estimasi kami tiba dalam tujuh menit. Apa instruksi tambahan?"

"Tujuh menit? Terlalu lambat!" geram Rom pelan, tapi ia tahan emosi. "Baik, prioritaskan: Heli satu ambil posisi defensif di selatan hotel, blokir rute kabur. Heli dua langsung konfrontasi—gunakan spotlight untuk butakan pilot musuh kalau perlu. Jangan tembak dulu kecuali terpaksa. Dan Rahman, pastikan rudal siap kalau mereka angkat senjata."

"Copy that. Tim darat sudah gerak?" tanya Rahman.

"Belum penuh—polisi masih pantau. Aku kabari mereka sekarang," balas Rom. Ia langsung switch ke HT, menekan tombol bicara: "Ini Rom untuk tim polisi dan intel. Heli musuh inbound dari utara, tiga unit. Evakuasi warga radius 500 meter segera. Tim darat blokir jalan masuk—gunakan barikade mobil. Intel, pantau frekuensi radio musuh kalau bisa hack. Shadaq, kau di utara: Konfirmasi visual dan kabari kalau mereka mendarat."

Balasan dari Shadaq datang cepat via HT: "Visual confirmed, Rom. Mereka mendekat cepat—kelihatan bersenjata berat di sisi pintu."

Rom tak yakin heli mereka akan tiba tepat waktu. Ia bergumam lirih pada dirinya sendiri, "Bodohnya... Lain kali harus ada cara yang lebih efisien. Mungkin drone pengintai permanen atau base heli lebih dekat." Pikirannya melayang sebentar ke Elesa—mungkin ini alasan dia sering marah soal impulsivitasnya. Tapi tak ada waktu untuk itu. Melalui teleskop, ia lihat helikopter musuh semakin jelas: yang pertama mendarat di helipad atap hotel dengan mulus, rotornya masih berputar kencang. Dua yang lain melayang di sekitar, seperti elang mengawasi mangsa.

Helikopter musuh pertama membuka pintu samping, dan orang-orang bersenjata keluar—setidaknya enam, dengan senapan otomatis dan rompi anti-peluru. Mereka langsung menembaki ke bawah, ke arah dasar gedung. "Sial, mereka nembak petugas!" gumam Rom, zoom-in lebih dekat. Asap dan percikan api terlihat dari lensa—kemungkinan menarget polisi yang mulai mendekat dari jalan raya. Jeritan samar terdengar dari kejauhan, campur dengan sirene polisi yang meraung. Rom menggeram frustrasi, tangannya mengepal. "Cepat, Rahman!"

Lewat HT, laporan polisi datang panik: "Ini tim darat! Kami diserang dari atas—dua petugas terluka. Butuh back-up udara segera!"

"Tenang, heli kami on the way," balas Rom tegas. "Instruksi: Mundur sementara ke barikade. Gunakan sniper untuk target pilot kalau bisa. Jangan biarkan mereka evakuasi pimpinan mafia."

Akhirnya, dari arah selatan, deru heli Rahman terdengar mendekat. Rom lihat bayangannya muncul di cakrawala—dua unit Militaryum, lebih canggih dengan rudal dipasang. Tapi sudah telat; satu heli musuh sudah angkat lagi, membawa tiga orang dari atap—kemungkinan bos mafia dan data curian mereka. Lewat tengah hari sekarang, matahari menyengat kulit Rom, membuatnya semakin gelisah. Dalam hati, ia gemetar—tau betul keterlambatan ini bisa berakibat fatal, meski heli musuh masih di tempat, sibuk melindungi yang tersisa.

Rom langsung ambil alih komando via telepon: "Rahman, posisi sekarang! Heli satu, arahkan ke atas heli musuh yang paling beringas—itunya yang lagi nembak ke bawah. Pepet dari samping, gunakan angin rotor untuk ganggu keseimbangan mereka. Jangan biarkan lepas!"

"Laksanakan," jawab Rahman. Rom saksikan melalui teleskop: Heli Militaryum mendekat cepat, satu melayang tepat di atas heli musuh utama. Sorot lampu kuat menyinari kokpit musuh, membuat pilotnya silau. Tapi musuh lincah—mereka zig-zag, menghindari pepetan. Dari laporan kepolisian lewat HT: "Heli musuh itu sudah bawa tiga orang lagi dari gedung—mereka evakuasi aset!"

Rom belum mengerti sepenuhnya—padahal instruksi nya sudah cukup jelas, sudah ia pikirkan berulang kali di kepala: Blokir, pepet, tangkap. Tapi nyatanya, heli musuh tak juga berhasil dipepet turun. "Kenapa masih lolos?" gumamnya. Frustrasi Rom pecah pelan; ia paham sekarang mengapa Elesa kemarin sampai tertarik ajak ke kafe bersama hanya untuk beristirahat—mungkin untuk ingatkan bahwa tekanan seperti ini bisa bikin orang gila. "Instruksi ulang!" teriaknya ke HT. "Heli dua, flank dari timur. Gunakan jaring penangkap kalau perlu—jangan biarkan mereka ke utara!"

Kejadian berlanjut tegang: Heli Militaryum berhasil pepet satu musuh, memaksa rotornya bergoyang. Pilot musuh panik, tapi yang lain balas tembak—peluru menyambar udara, untung tak kena. Rom arahkan lagi: "Rahman, rudal siap! Target ekor heli yang kabur—minimal damage, biar jatuh pelan."

Sore berlalu dengan lambat, cahaya matahari mulai meredup ke jingga. Akhirnya, satu helikopter musuh berhasil dipepet dan dipaksa mendarat kasar di atap gedung—tim darat polisi langsung menyergap, menangkap awaknya. Yang lain, yang paling bandel, terpaksa ditembak rudal di bagian ekor—ledakan kecil, asap mengepul, dan ia jatuh perlahan, tersangkut di hutan lereng utara Jakarta, di mana tim rescue sudah siaga. "Konfirmasi jatuh aman," lapor Shadaq via HT. "Tak ada korban sipil."

Malam tiba sepenuhnya, langit gelap ditaburi bintang samar di balik polusi kota. Kepala Rom seperti mau pecah—denyutnya terasa di pelipis, campur antara adrenalin habis dan kelelahan. Wajahnya memerah karena panas seharian, mata lelah dari teleskop. Perutnya keroncongan hebat; dari pagi belum makan atau minum apa pun, bahkan air pun tak sempat—hanya fokus pada operasi. "Selesai sudah," gumamnya pelan, turun dari dak dengan hati-hati, kakinya pegal.

Ia berterima kasih lagi pada bapak pemilik rumah, yang sekarang sudah di dalam tapi melambai dari jendela: "Misi lancar ya, Mas! Hati-hati pulang." Rom tersenyum tipis, meski tatapannya kosong, pikirannya melayang ke Elesa, pesan yang belum dibaca, dan mungkin istirahat yang dibutuhkannya. Ia berjalan pelan ke arah sebuah tikungan jalan raya terdekat, di mana mobil angkutan umum lalu-lalang seperti aliran sungai tak berhenti. Sirene polisi masih terdengar samar dari hotel, tapi bagi Rom, malam ini terasa seperti akhir dari hari yang terlalu panjang. Ia berdiri di pinggir, menunggu angkot lewat, siap pulang ke markas—atau mungkin ke Elesa, kalau sempat.

1
Suzy❤️Koko
Makin penasaran nih!
Ardin Ardianto: "Semoga segera terobati penasaranmu! Bab berikutnya akan segera hadir. Kami akan sangat menghargai bantuan Anda dengan saran dan masukan Anda untuk membuat cerita ini semakin menarik."
total 1 replies
Daisy
Aku jadi nggak sabar pengen baca kelanjutannya! 🤩
Ardin Ardianto: Terima kasih atas kesabaran Anda. Bab berikutnya akan segera tayang dengan konten yang lebih menarik
total 1 replies
foxy_gamer156
Tidak sabar untuk sekuelnya!
Ardin Ardianto: "Terima kasih atas antusiasme dan kesabaran Anda! Kami sangat menghargai dukungan Anda dan senang mendengar pendapat Anda. Kami menerima masukan dan saran Anda untuk membantu kami meningkatkan kualitas konten kami. Silakan berbagi pendapat Anda tentang apa yang ingin Anda lihat di bab berikutnya!"
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!