Punya tetangga duda mapan itu biasa.
Tapi kalau tetangganya hobi gombal norak ala bapak-bapak, bikin satu kontrakan heboh, dan malah jadi bahan gosip se-RT… itu baru masalah.
Naya cuma ingin hidup tenang, tapi Arga si om genit jelas nggak kasih dia kesempatan.
Pertanyaannya: sampai kapan Naya bisa bertahan menghadapi gangguan tetangga absurd itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora Lune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malu Level Dewa di Depan Ojol!
Jarum jam sudah melewati angka sepuluh malam ketika bel pintu kafe berbunyi pelan tanda pelanggan terakhir baru saja melangkah keluar. Udara malam yang lembap menyelinap masuk sejenak sebelum pintu kembali tertutup.
Nayla berdiri di balik meja, menatap ruangan yang kini mulai sepi. Lampu gantung di atas bar masih menyala redup, memantulkan cahaya kekuningan di permukaan meja kayu. Aroma kopi yang tersisa masih menggantung di udara, bercampur dengan wangi karamel dan sedikit asap dari mesin espresso yang baru saja ia matikan.
“Fiuhh…” Nayla menghela napas panjang, lalu mengikat rambutnya ke atas. Ia meraih kain lap dan mulai membersihkan meja satu per satu. Tangannya bergerak cepat tapi wajahnya tampak lelah. Hari ini ramai luar biasa banyak pelanggan yang datang, dan sebagian besar pesanannya ribet.
Setelah semua selesai, Nayla melepas celemeknya dan menggantungnya di tempat biasa. Ia memastikan lampu kafe sudah dimatikan, lalu menarik napas lega sebelum membuka pintu.
Di depan kafe, udara malam menyapa lembut dengan hembusan angin yang membawa aroma kopi dan aspal basah. Langit gelap dihiasi taburan awan tipis, sementara lampu-lampu jalan mulai menyala satu per satu, menciptakan pendar kekuningan yang memantul di permukaan jalan yang sedikit lembap.
Suasana kota mulai berubah toko-toko menutup rolling door, suara kendaraan berbaur dengan tawa anak-anak muda yang baru keluar dari tempat makan sebelah. Di kejauhan terdengar klakson bersahutan, tapi entah kenapa suasana itu justru terasa menenangkan bagi Nayla.
Ia berdiri di trotoar depan kafe, memeluk tas kecilnya sambil melirik layar ponsel. Di sana tertera tulisan “Driver akan tiba dalam 2 menit.” Senyum lelah namun lega menghiasi wajahnya. Setelah seharian berjibaku dengan pelanggan dan mesin kopi, akhirnya waktu pulang datang juga.
Udara malam mengelus pipinya lembut. Rambutnya yang sedikit berantakan tertiup angin, membuatnya merapikannya dengan satu tangan. Lampu dari papan nama kafe di belakangnya masih menyala samar, seolah mengucapkan selamat malam untuk sang barista yang paling rajin itu.
Nayla menarik napas panjang, membiarkan udara malam masuk ke paru-parunya. “Akhirnya selesai juga…” gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Suara deru motor terdengar mendekat dari arah ujung jalan, membuatnya menatap ke depan. Namun sebelum sempat ia fokus pada plat motor yang datang, langkah kaki seseorang terdengar dari sisi kanan.
Tak lama, sebuah motor berhenti tepat di depannya.
"Nayla?" sapa si driver ojol dengan suara ramah.
"Iya, betul." Nayla mengangguk kecil sambil tersenyum tipis.
Driver itu segera memberikan helm.
"Ini, Mbak. Silakan dipakai dulu."
Nayla menerima helm itu dan buru-buru memakainya. Tangannya sempat bergetar karena terburu-buru, sampai-sampai tali helm nyaris salah kait. Setelah rapi, ia pun naik ke motor.
"Yuk, Bang."
Motor pun melaju menembus jalanan kota yang mulai ramai. Nayla duduk sambil memeluk tasnya erat. Angin malam menyapu wajahnya, membuat rambut halusnya berterbangan. Ia menghela napas lega, berusaha menikmati perjalanan singkat itu.
Namun entah kenapa, di tengah tatapan kosongnya ke jalanan, bayangan wajah seseorang tiba-tiba muncul begitu jelas di kepalanya. Arga. Senyum tipis pria itu, tatapannya yang menusuk, bahkan nada suaranya yang santai namun penuh gengsi, seolah terputar ulang dalam benaknya.
"Ih, apa-apaan sih gue..." gerutunya dalam hati.
Refleks, tangannya bergerak spontan memukul punggung driver ojol di depannya.
"Aduh! Kenapa saya dipukul, Mbak?" tanya si driver kaget, hampir oleng.
Nayla langsung tersadar. Matanya melebar panik.
"Eh! Astaga, maaf, Bang! Sumpah nggak sengaja!" Nayla buru-buru menjelaskan, wajahnya merah padam karena malu.
"Tadi ada... uhh... nyamuk gede banget lewat."
Si driver menoleh sekilas dengan alis terangkat.
"Nyamuk? Di jalan raya segede gini?"
"Eh, iya... pokoknya ada deh, Bang." Nayla ngakak sendiri, mencoba menutupi rasa kikuknya. Rambutnya makin berantakan karena angin, tapi ia cuek saja.
Dalam hati, ia malah makin kesal.
"Gila, Nayla... baru juga beberapa jam tadi ketemu, kok bisa-bisanya muka orang itu nongol lagi di kepala lo. Ck! Dasar makhluk ngeselin!"
Sementara itu, driver ojol hanya menggeleng sambil nyengir kecil.
"Hadeuh, penumpang zaman sekarang, ada-ada aja."
Motor terus melaju, meninggalkan kafe yang perlahan menjauh di belakang mereka. Namun, satu hal yang nggak bisa Nayla jauhi... bayangan wajah Arga yang tetap nempel erat di pikirannya.
Sesampainya di depan kontrakannya, motor ojol itu pun berhenti dengan lembut. Nayla buru-buru turun sambil merapikan tasnya.
"Ini, Bang, ongkosnya." Nayla menyodorkan uang sambil menunduk, wajahnya masih panas karena teringat insiden pukul-pukulan tadi di jalan.
"Iya, makasih, Mbak." driver itu menerima uangnya, tapi sebelum Nayla sempat kabur, tiba-tiba ia memanggil.
"Mbak! Mbak!"
Nayla yang sudah setengah berlari ke arah pintu kontrakan langsung berhenti. Matanya melotot, jantungnya berdetak kencang.
"Astaga... dia masih inget! Jangan-jangan si abang ojol ini sakit hati gara-gara gue pukul tadi? Waduh, mati gue!" batin Nayla panik.
Ia berbalik dengan wajah kikuk, senyum dipaksakan.
"Eh, ada apa, Bang? Tadi kan saya udah minta maaf ya... serius deh, bukan salah saya. Lagian tadi tuh beneran ada nyamuk gede banget! Kayak... kayak... capung kawin sama komodo, gitu. Jadi refleks deh tangan gue." Nayla mengoceh panjang lebar, sambil menepuk-nepuk udara seolah masih ada nyamuk lewat.
Si driver menatap Nayla dengan ekspresi nggak ngerti lagi.
"Bukan itu, Mbak..."
"Loh? Terus kenapa?" Nayla makin bingung.
Driver itu menunjuk ke arah kepala Nayla.
"Itu, helmnya belum dilepas. Saya kan mau ambil lagi..."
Nayla sontak membeku, tangannya langsung meraba kepalanya. Benar saja helm ojol masih nempel manis di atas kepalanya.
"Ya ampuuun! Malu banget sumpah! Dari tadi gue sotoy sendiri!" batin Nayla.
Ia langsung melepas helm itu dengan gerakan cepat, nyaris menjambak rambutnya sendiri.
"Eh... hehe... iya maaf, Bang. Buru-buru tadi, jadi lupa..." Nayla menyodorkan helm itu sambil nyengir kuda, wajahnya udah merah kayak kepiting rebus.
Si driver menerima helmnya sambil geleng-geleng kepala.
"Hadeuh, Mbak ini kayaknya bukan cuma ada nyamuk gede, tapi juga pikiran yang kegedean, ya."
"Heh, jangan ngejek dong, Bang! Gue beneran lagi banyak pikiran tau!" Nayla cemberut, lalu buru-buru lari masuk ke kontrakan sebelum makin malu.
Begitu pintu kontrakan tertutup, Nayla langsung menjatuhkan diri ke kasur tipisnya.
"Ya Allah... sumpah ya, ini hari paling memalukan sepanjang hidup gue. Dibilang ada nyamuk gede lah, lupa helm lah... ckckck. Dasar Nayla, Nayla!"
Ia menutup wajahnya dengan bantal sambil merengek kecil, tapi di sela-sela itu malah ketawa sendiri mengingat wajah bingung si driver tadi.
Di tempat lain, tepat di balkon rumah mewahnya, Arga berdiri dengan santai. Di tangannya ada segelas whiskey coke dingin, uap air membasahi dinding gelas kristal itu. Dari atas, matanya menatap lurus ke arah jalan kecil yang menghadap kontrakan Nayla.
Tanpa sengaja, ia menyaksikan seluruh adegan Nayla lupa melepas helm. Mata tajam Arga yang biasanya dingin dan tak tersentuh siapa pun, kini justru melembut.
Sudut bibirnya terangkat tipis, membentuk senyum samar yang jarang sekali muncul di wajahnya.
"Dasar bocil aneh... tapi lucu." gumamnya pelan.
Ia mengangkat gelas ke bibirnya, meneguk sedikit minuman itu. Udara malam yang dingin bercampur dengan rasa manis-pahit minuman, membuat pikirannya melayang. Di luar sana, gadis yang beberapa jam lalu berani menantangnya di kafe, kini malah bikin dia senyum-senyum sendiri.
Arga menggeleng pelan. Ia sadar betul dirinya bukan tipe laki-laki yang mudah menunjukkan ekspresi, apalagi pada wanita. Di mata banyak orang, Arga adalah pria dingin, misterius, dan selalu menjaga jarak. Tapi entah kenapa... setiap kali menyaksikan tingkah Nayla, sisi genitnya seakan muncul begitu saja.
"Kalau sama orang lain gue bisa cuek mati... tapi kalau sama lo.. kenapa gue malah pengen ngeledekin terus, hah?" Arga berbisik, setengah heran pada dirinya sendiri.
Ia lalu menyandarkan tubuhnya ke pagar balkon, satu tangan dimasukkan ke saku celana, sementara tangan lain masih memegang gelas. Pandangannya tetap tak lepas dari arah kontrakan kecil itu.
"Lucu banget ekspresi lo tadi... bikin gemes. Hati-hati, kalo lo terus kayak gitu, gue bisa makin tertarik." bisik Arga dengan senyum nakal yang jarang sekali orang lain lihat.
Setelah puas mengamati dari balkon, Arga akhirnya melangkah masuk ke dalam kamarnya. Pintu kaca geser ditutup pelan, meninggalkan suara klik halus. Ruangan itu luas, rapi, dengan dominasi warna hitam dan abu-abu sama dinginnya seperti karakter pemiliknya.
Arga meletakkan gelas minumannya di meja kerja, lalu membuka kancing kemeja bagian atas. Ia menjatuhkan tubuhnya ke ranjang king size yang tertata sempurna. Satu tangan diletakkan di belakang kepala, menatap langit-langit kamar yang dihiasi lampu gantung modern.
Tapi alih-alih memikirkan pekerjaan atau jadwal rapat besok, otaknya justru menayangkan ulang tingkah laku Nayla tadi. Mulai dari wajahnya yang panik karena lupa melepas helm, sampai cara dia mengomel pada dirinya di kafe.
Senyum tipis kembali terukir di bibir Arga.
"Sial... harusnya gue nggak kepikiran sampe segininya." ucapnya pelan.
Ia memejamkan mata sebentar, mencoba menenangkan pikirannya. Tapi semakin ia mencoba melupakan, semakin jelas bayangan wajah Nayla muncul di benaknya dengan pipi merona dan mata besar yang selalu berkilat saat bicara.
Arga mengusap wajahnya kasar. "Apa gue beneran... mulai kelewat tertarik sama bocil itu?"
Ia lalu bangkit setengah duduk, meraih ponselnya yang tergeletak di nakas. Jemarinya sempat berhenti di layar, seolah ingin mencari sesuatu—atau seseorang. Tapi kemudian ia menghela napas panjang, meletakkannya kembali.
"Udahlah, jangan konyol, Arga." gumamnya, mencoba menepis rasa yang nggak biasa itu.
Namun tetap saja, sebelum matanya benar-benar terpejam, senyum kecil muncul lagi di wajahnya. Senyum genit yang hanya akan muncul... kalau urusannya menyangkut Nayla.