Program KKN Sarah tidak berakhir dengan laporan tebal, melainkan dengan ijab kabul kilat bersama Andi Kerrang, juragan muda desa yang sigap menolongnya dari insiden nyaris nyungsep ke sawah. Setelah badai fitnah dari saingan desa terlewati, sang mahasiswi resmi menyandang status Istri Juragan.
Tetapi, di balik selimut kamar sederhana, Juragan Andi yang berwibawa dibuat kewalahan oleh kenakalan ranjang istrinya!
Sarah, si mahasiswi kota yang frontal dan seksi, tidak hanya doyan tapi juga sangat inisiatif.
"Alis kamu tebel banget sayang. Sama kayak yang di bawah, kamu ga pernah cukur? mau bantu cukurin ga? nusuk-nusukan banget enak tapi ya sakit."
"Jangan ditahan, cepetin keluarnya," bisiknya manja sambil bergerak kuat dan dalam.
Saksikan bagaimana Andi menahan desah dan suara derit kasur, sementara Sarah—si malaikat kecil paling liar—terus menggodanya dengan obrolan nakal dan aksi ngebor yang menghangatkan suasana.
Ini bukan sekadar cerita KKN, tapi yuk ikuti kisah mereka !!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Azzahra rahman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perhatian yang Mulai Terlihat
Matahari pagi menembus jendela kayu posko KKN, meninggalkan garis-garis cahaya yang jatuh ke lantai. Sarah bangun lebih lambat dari biasanya. Kepalanya berat, tubuhnya lelah. Semalam ia sibuk menyiapkan bahan untuk mengajar anak-anak di surau desa, ditambah kegiatan diskusi kelompok hingga larut malam.
“Sarah, kamu kenapa?” suara Rani terdengar panik saat melihat sahabatnya masih berbaring.
“Cuma agak pusing, Ran. Mungkin kecapekan aja,” jawab Sarah lirih.
Namun wajah pucat Sarah membuat teman-temannya khawatir. Beberapa menyarankan ia beristirahat saja, tak perlu ikut kegiatan pagi itu. Sarah mengangguk pelan, meski hatinya sedikit kecewa tak bisa bersama anak-anak.
Di luar, suasana desa sudah ramai. Ibu-ibu sibuk di sawah, bapak-bapak bersiap berangkat ke ladang, dan anak-anak berlarian menuju surau. Kabar tentang Sarah yang sakit rupanya cepat menyebar.
Tanpa diduga, Andi Kerrang muncul di halaman posko. Ia membawa sebuah rantang berisi bubur ayam kampung yang baru dimasak ibunya. Dengan langkah hati-hati, ia mendekat, wajahnya sedikit tegang.
“Assalamu’alaikum… Sarah ada?” tanyanya ke Rani yang keluar menyambut.
“Wa’alaikumussalam. Ada, Mas. Tapi lagi istirahat, kurang enak badan,” jawab Rani.
Andi mengangguk, matanya menyiratkan kekhawatiran. “Kalau boleh, ini titipan dari orang rumah. Bubur hangat, mungkin bisa bantu biar agak pulih.”
Rani tersenyum samar. “Wah, perhatian banget, Mas Andi. Nanti aku kasih ke Sarah.”
Namun Andi masih berdiri di situ, seolah ingin memastikan dengan matanya sendiri. Rani yang paham akhirnya membuka pintu kamar posko. “Sarah, ada tamu nih.”
Sarah terkejut melihat Andi muncul dengan rantang di tangan. Wajahnya memerah, antara malu dan tak enak hati. “Mas… ngapain repot-repot?”
Andi menggaruk tengkuknya, salah tingkah. “Enggak repot, kok. Saya kebetulan lewat, ya sekalian bawa bubur. Katanya kamu kurang sehat.”
Sarah tersenyum lemah. “Terima kasih, Mas. Saya jadi merepotkan.”
“Bukan merepotkan. Yang penting kamu cepat sembuh. Anak-anak di surau pasti nungguin kamu,” ucap Andi, kali ini dengan nada tulus yang membuat Sarah terdiam.
Siang harinya, saat teman-teman KKN berangkat mengajar, Sarah tetap tinggal di posko. Namun ia tak sendirian. Andi kembali datang, kali ini membawa air kelapa muda. Ia duduk agak jauh, pura-pura sibuk dengan ponselnya, padahal matanya beberapa kali melirik ke arah Sarah.
“Mas nggak kerja di sawah?” tanya Sarah membuka percakapan.
“Kerja, sih. Cuma ya sebentar bisa ditinggal. Orang tua juga nyuruh lihat-lihat kamu. Takutnya enggak ada yang ngawasi,” jawab Andi pelan.
Sarah tersenyum tipis. “Saya baik-baik aja, Mas. Enggak usah khawatir.”
Namun justru kalimat itu membuat Andi makin gelisah. Ada dorongan kuat dalam hatinya untuk terus berada di dekat Sarah.
Sore menjelang, anak-anak yang pulang dari surau bercerita pada orang tua mereka. “Tadi Bu Guru Sarah sakit, dijagain sama Mas Andi.” Dalam sekejap, kabar itu menyebar ke warung kopi, ke ladang, bahkan sampai ke rumah-rumah.
“Eh, denger-denger Mas Andi sekarang sering nengokin anak KKN itu ya?” celetuk seorang bapak di sawah.
“Iya, Sarah namanya. Cantik, sopan juga. Cocok kalau sama Mas Andi.”
Gosip mulai beredar, sebagian bernada menggoda, sebagian lagi serius. Ibu-ibu bahkan sudah berbisik-bisik soal jodoh.
Malam itu, Sarah duduk di teras posko, menikmati udara segar. Ia tak tahu gosip apa saja yang sudah beredar. Yang ia tahu, hatinya berdebar aneh setiap kali Andi muncul.
Tak lama, Andi datang lagi, membawa termos berisi teh hangat. “Buat kamu. Biar tidurnya enak.”
Sarah menunduk, suaranya nyaris berbisik. “Mas, jangan terlalu perhatian begini. Nanti orang salah paham.”
Andi terdiam. Dalam hatinya, ia sadar apa yang dikatakan Sarah benar. Tapi bibirnya malah berkata sebaliknya. “Kalau peduli aja bikin salah paham… ya biarlah.”
Kalimat itu membuat Sarah tertegun. Ada sesuatu yang dalam pada nada suara Andi, seolah menyiratkan perasaan yang selama ini ia sembunyikan.
Keesokan harinya, meski belum pulih sepenuhnya, Sarah bersikeras ikut kegiatan. Anak-anak di surau langsung menyambut riang. Rani dan teman-teman lega melihat Sarah kembali aktif. Namun mereka juga tak lepas dari godaan kecil.
“Eh, Sarah… gimana rasanya punya bodyguard desa?” bisik salah satu teman sambil tertawa.
Sarah pura-pura tak dengar, meski pipinya merona.
Andi sendiri memilih menjaga jarak hari itu. Ia kembali bekerja di sawah, tapi pikirannya melayang ke posko. Bayangan wajah pucat Sarah semalam terus muncul di benaknya. Setiap kali ia mencoba fokus ke padi, hatinya malah bertanya: “Kenapa aku segini khawatirnya?”
Gosip semakin kencang. Anak-anak desa usil menggoda Sarah, ibu-ibu menanyakan kabar ke posko, bahkan bapak-bapak yang lewat di jalan tak jarang melempar senyum penuh arti. Sarah mulai merasa kikuk.
“Ran, gimana kalau orang-orang beneran salah paham? Aku takut bikin masalah,” ungkap Sarah dengan wajah cemas.
Rani menepuk bahunya. “Justru itu, Sar. Kalau Mas Andi memang serius, bukannya bagus? Lagian gosip di desa itu wajar. Tinggal kita yang jaga sikap.”
Sarah terdiam, hatinya bergejolak. Ia tak berani memikirkan terlalu jauh, tapi perasaan hangat yang tumbuh setiap kali melihat Andi tak bisa ia tolak.
Malam kembali datang. Di rumahnya, Andi duduk bersama kedua orang tuanya. Suasana makan malam terasa biasa, sampai ibunya tiba-tiba berkomentar.
“Di desa sekarang rame gosip. Katanya kamu dekat sama anak KKN itu… Sarah, ya namanya?”
Andi tercekat, sendok di tangannya berhenti di udara. “Ah… cuma bantu-bantu aja, Bu. Nggak ada apa-apa.”
Namun ayahnya tersenyum tipis. “Kalau memang baik, kenapa tidak diteruskan? Kamu kan sudah waktunya.”
Andi tak menjawab. Ia menunduk, pura-pura fokus ke piring, tapi di hatinya, nama Sarah menggema.
Di posko, Sarah berbaring sambil menatap langit-langit. Pesan keluarga masuk ke grup WhatsApp.
Ayah: Jaga kesehatan, Nak. Jangan terlalu capek.
Ibu: Kalau sakit bilang, jangan dipendam.
Adik: Kak Sarah jangan lupa bawa pulang cerita-cerita seru!
Sarah tersenyum, matanya berkaca-kaca. Ia membalas singkat: “Iya, semuanya sehat. Doain Sarah kuat ya.”
Namun sebelum tidur, bayangan wajah Andi muncul lagi di benaknya. Senyum kikuknya, perhatiannya, bahkan kalimat sederhana: “Kalau peduli aja bikin salah paham… ya biarlah.”
Dan untuk pertama kalinya, Sarah tak bisa membohongi dirinya sendiri. Ia mulai takut—bukan karena gosip, melainkan karena hatinya perlahan-lahan goyah.