NovelToon NovelToon
Kumpulan Cerita HOROR

Kumpulan Cerita HOROR

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Dunia Lain / Kutukan / Kumpulan Cerita Horror / Tumbal
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Ayam Kampoeng

Sebuah novel dengan beragam jenis kisah horor, baik pengalaman pribadi maupun hasil imajinasi. Novel ini terdiri dari beberapa cerita bergenre horor yang akan menemani malam-malam mencekam pembaca

•HOROR MISTIS/GAIB
•HOROR THRILLER
•HOROR ROMANSA
•HOROR KOMEDI

Horor Komedi
Horor Psikopat
Horor Mencekam
Horor Tragis

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayam Kampoeng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 11 TEROR LEAK Part 11

Kemenangan kecil di Pura Dalem ternyata hanya awal dari musibah yang lebih besar. Hanya sebentar euforia kemenangan itu terasa. Balian Rawa, yang rencananya digagalkan, tidak menunjukkan amarah. Dia tidak mengaum, tidak mengancam. Dia hanya diam. Tapi dari diam itulah lahir serangan yang lebih ganas, lebih keji, lebih licik.

Balian Rawa tidak lagi menargetkan individu, melainkan menyerang desa Banjaran di titik paling lemahnya. Yaitu, keseharian warganya. Rutinitas yang dulu tenang kini menjadi ladang pembantaian spiritual.

Serangan dimulai di pagi hari, setelah ritual membawa Marni pulang kembali. Seorang petani, namanya Pak Gede, ditemukan mengigau di tengah sawah. Tubuhnya gemetar, matanya membelalak ketakutan, dan mulutnya terus menerus meneriakkan kalimat, “gagak hitam bermata api”. Ia menggigit dan mengoyak kulit lengannya sendiri hingga berdarah-darah, mencabik dagingnya seperti ingin mengeluarkan sesuatu dari dalam tubuhnya.

Ketika warga desa mencoba menenangkannya, ia menjerit dan menyebut nama-nama yang tidak dikenali, seolah-olah ada roh lain yang bicara melalui dirinya.

Keluarganya Pak Gede, dengan susah payah merawatnya, tetapi penyakit kegilaan itu seakan menular. Istrinya mulai ngomong sendiri di malam hari, anaknya mulai menggambar simbol-simbol aneh di dinding rumah.

Keesokan harinya, tiga balita kecil demam tinggi. Tubuh mereka panas membara saat dicek dengan termometer. Tapi anehnya, ketika disentuh, kulit mereka terasa dingin seperti es batu yang baru dikeluarkan dari freezer. Mereka meracau dengan bahasa yang tidak dikenali, suara mereka berganti-ganti seperti banyak orang yang ngoceh melalui satu mulut. Kadang suara itu terdengar seperti wanita tua, kadang seperti anak kecil yang menangis, kadang seperti pria dewasa yang tertawa tanpa alasan.

Ni Luh Pertiwi, sang nenek bijak, hanya bisa menggeleng pilu. “Roh jahat sedang mencoba masuk melalui manusia yang emosinya paling lemah,” bisiknya pada Mang Dirga, matanya berkaca-kaca. “Dan mereka bukan datang untuk bermain. Mereka datang untuk tinggal di dalam raga. Merasuki tanpa mau keluar lagi,” ucapnya sedih.

Desa yang dulu damai kini berubah menjadi tempat yang dipenuhi teriakan histeris dan bisikan ketakutan. Warga yang tidak terinfeksi mengurung diri di rumah, memasang sesajen dan jimat di setiap pintu dan jendela. Pura desa sepi, karena takut roh jahat sekarang bersemayam di sana.

Bahkan suara gamelan dan kidung pemujaan tidak lagi terdengar, digantikan oleh tangis dan jeritan. Bau dupa bercampur dengan bau darah dan keringat.

Di malam hari, suara langkah kaki kadang terdengar di atas atap rumah warga desa. Anehnya ketika dicek, tidak ada siapa-siapa.

Bagus menyaksikan semua ini dengan perasaan tidak berdaya. Buku-buku antropologinya tidak ada yang membahas bagaimana menangani epidemi gaib. Dia merasa seperti orang yang sedang tenggelam, berusaha membantu dengan menenangkan warga desa yang panik atau membantu Mang Dirga membawakan ramuan, tetapi semua terasa tidak cukup. Ramuan tidak menyembuhkan, mantra tidak menenangkan. Semuanya seperti, PERCUMA...

Suatu siang, saat Bagus membantu membersihkan rumah seorang warga desa yang sakit, Kepala Desa Made Tulus mendatanginya. Wajah Tulus yang biasanya tenang sekarang penuh dengan ketakutan dan kemarahan yang tertahan. Matanya merah, tangannya gemetar, dan suaranya seperti menahan ledakan.

“Ini semua salahmu,” desis Tulus, menuding Bagus di depan beberapa warga lain yang ketakutan. “Sejak kau datang, segalanya menjadi buruk. Kau membangkitkan sesuatu yang seharusnya dibiarkan tidur!”

“Saya hanya meneliti, Pak...” Bagus mencoba menjelaskan, tetapi suaranya tenggelam dalam gemuruh emosi.

“Meneliti?” hardik Tulus, suaranya meninggi. “Kau membawa buku-buku dan ilmu sihirmu dari kota! Kau yang memprovokasi Leak dengan ritual-ritualmu bersama Marni! Aku telah mendengar laporan! Kau telah melanggar setiap peringatanku!”

Tuduhan itu menyebar seperti api yang menyambar jerami kering. Warga desa yang ketakutan butuh kambing hitam, dan Bagus si pendatang, adalah target yang pas jadi kambing hitam. Tatapan yang dulu penuh curiga kini berubah menjadi tatapan benci.

“Kita harus mengusirnya!” teriak seorang warga desa.

“Bakar bukunya! Itu sumber ilmunya!” teriak yang lain, sambil mengacungkan parang.

Bagus dikepung warga desa yang marah. Dia melihat ke arah Marni, yang berdiri di depan pintu rumahnya, dengan wajah pucat. Komang berada di sampingnya, memandang Bagus dengan senyum penuh kepuasan.

Marni mencoba melangkah maju untuk membela Bagus, tetapi Mang Dirga menahan lengannya. “Bukan saatnya,” bisik dukun tua itu. “Amarah mereka seperti api. Biarkan saja mereda dulu. Jika kau melawan sekarang, kau akan terbakar bersama Bagus.”

Merasa dikhianati dan terpojok, Bagus mundur. Dia tidak kembali ke rumah Marni, tetapi menyusuri jalan setapak menuju gubuk Mang Dirga di tepi hutan. Dia perlu tempat untuk berpikir, untuk menemukan jawaban, untuk menyelamatkan desa Banjaran yang mulai berubah menjadi neraka.

Di dalam gubuk yang sederhana itu, di balik sebuah anyaman bambu, dia menemukan sesuatu. Sebuah naskah lontar yang jauh lebih tua dan lebih tebal dari yang pernah dia pegang. Lontar ini tersembunyi dengan baik, seolah-olah Mang Dirga tidak ingin siapa pun mengetahuinya.

Dengan hati berdebar, Bagus membukanya. Tulisan di dalamnya sangat kuno, tetapi gambarnya jelas. Sebuah diagram tentang hierarki Leak, simbol-simbol kekuatan mereka, dan yang paling penting, sebuah catatan tentang “Leak Warisan” dan bagaimana mereka bisa dikendalikan atau dimurnikan. Gambar-gambar itu bergerak pelan, seolah-olah hidup. Simbol-simbolnya berdenyut, dan udara di sekeliling Bagus pun menjadi lebih dingin.

Bagus juga menemukan sebuah paragraf yang membuat darahnya membeku. Paragraf itu menceritakan tentang seorang dukun kuat di masa lalu yang berhasil mengunci Balian Rawa dengan menggunakan pusaka yang ditetesi darah “Leak Warisan” yang memilih jalan terang. Persis seperti yang ingin dilakukan Marni.

Tapi di lontar itu juga diperingatkan bahwa prosesnya membutuhkan pengorbanan besar. Yaitu nyawa dari orang yang sangat dicintai oleh “Leak Warisan” tersebut, untuk menebus kutukan darahnya. Tanpa pengorbanan itu, pusaka hanya akan menjadi alat pemanggil, bukan penghancur kutukan.

Bagus terduduk. Ini adalah teka-teki yang mengerikan. Apakah Mang Dirga menyembunyikan ini karena dia tahu pengorbanan seperti itu harus dilakukan? Apakah nyawanya, atau nyawa Mang Dirga sendiri, yang menjadi harga untuk menyelamatkan Marni dan desa? Ataukah... nyawa Bagus?

Saat Bagus sedang terpaku pada naskah itu, teriakan dari luar membuyarkan konsentrasinya. Ia berlari keluar dan melihat pemandangan yang tidak masuk akal.

Di tengah terik matahari di siang bolong, di atas pohon beringin tertinggi di desa, seekor burung gagak besar sedang bertengger. Tapi burung itu bukan burung biasa. Matanya memancarkan cahaya merah, dan dari paruhnya meneteskan sesuatu yang hitam dan berminyak, seperti darah yang telah membusuk. Bulu-bulunya bergerak seperti asap, dan setiap kali burung gagak itu mengepakkan sayapnya, atmosfer menjadi lebih berat.

Dan di bawah bayangan pohon beringin, wujud seperti bayangan hitam manusia, dengan jejak tangan terbalik, kepala yang terlalu besar, dan tubuh yang bergerak dengan gerakan patah-patah, melintasi lapangan kosong. Suara tulang retak terdengar setiap kali sosok itu melangkah. Leak muncul di siang hari. Batas antara dunia nyata dan dunia gaib telah runtuh. Teror tidak lagi hanya menghantui di malam hari. Sekarang, Leak bisa berjalan di bawah sinar matahari, menantang cahaya, menertawakan mereka semua.

Dan yang paling mengerikan adalah, bayangan hitam itu berhenti, dan menunjuk langsung ke arah Bagus. Tidak dengan tangan, tapi dengan seluruh tubuhnya. Seolah-olah dunia gaib telah memilihnya. Seolah-olah Bagus bukan lagi pengamat, tapi... TUMBAL!

*

1
Mini_jelly
Rasain lu ndra!!!
Ayam Kampoeng: Ndra...
ato Ndro? 🤣🤣
total 1 replies
Mini_jelly
seruuu, 🥰🤗
Mini_jelly: sama2 kak 🥰
total 2 replies
Mini_jelly
Bully itu emg bukan cuma fisik. Ejekan kecil yang diulang-ulang, pandangan sinis, atau diasingkan perlahan-lahan juga membunuh rasa percaya diri. Sadar, yuk."
Sebelum ikut-ikutan nge-bully, coba deh tanya ke diri sendiri. Apa yang akan aku rasakan jika ini terjadi padaku atau adik/keluargaku?
☺️🥰
Ayam Kampoeng: 😊😊😊........
total 3 replies
Mini_jelly
😥😭😭
Ayam Kampoeng: nangis .. 🥲
total 1 replies
Mini_jelly
🤣🤣🤣
Ayam Kampoeng: hadeh ..
total 1 replies
Mini_jelly
me too 🥰❤️
Ayam Kampoeng: ekhem 🙄🤭
total 1 replies
Mini_jelly
udh lama gk mampir, ngopi dlu 🥰
Ayam Kampoeng: kopi isi vanila. kesukaan kamu 🤤🤸🤸
total 1 replies
Mini_jelly
🤣🤣🤣🤣
Ayam Kampoeng: malah ketawa... 😚😚😚💋
total 1 replies
Mini_jelly
semangat nulisnya pasti seru nih 🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!