NovelToon NovelToon
Bukan Kamu Boss...Tapi Barista Berotot Itu

Bukan Kamu Boss...Tapi Barista Berotot Itu

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Persahabatan / Romansa / Satu wanita banyak pria
Popularitas:656
Nilai: 5
Nama Author: whatdhupbaby

Vivian Shining seorang gadis dengan aura female lead yang sangat kuat: cantik, baik, pintar dan super positif. Dia tipe sunny girl yang mudah menyentuh hati semua orang yang melihatnya khusunya pria. Bahkan senyuman dan vibe positif nya mampu menyentuh hati sang bos, Nathanael Adrian CEO muda yang dingin dengan penampilan serta wajah yang melampaui aktor drama korea plus kaya raya. Tapi sayangnya Vivian gak sadar dengan perasaan Nathaniel karena Vivi lebih tertarik dengan Zeke Lewis seorang barista dan pemilik coffee shop yang tak jauh dari apartemen Vivi, mantan atlet rugbi dengan postur badan bak gladiator dan wajah yang menyamai dewa dewa yunani, juga suara dalam menggoda yang bisa bikin kaki Vivi lemas sekita saat memanggil namanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon whatdhupbaby, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 22 Deklarasi Perasaan, Haruskah Di Tolak.

Vivian berdiri di depan meja Nathanael dengan kotak gaun di tangannya. Gaun yang dipakainya semalam.

Jantungnya berdebar kencang, napasnya tertahan dalam-dalam.

"Ini gaunnya, Pak," ujarnya, suara hampir bergetar. "Terima kasih sudah meminjamkannya, tapi saya tidak pantas menyimpannya."

Nathanael mengangkat pandangan dari dokumennya, matanya yang tajam langsung menancap pada kotak itu. Dia tidak menyentuhnya.

"Itu bukan pinjaman, Vivian," katanya dengan suara datar namun punya berat. "Aku memesannya khusus untukmu. Itu milikmu."

Vivian menunduk, jari-jarinya memeluk erat kotak itu seperti tameng. "Saya... tidak bisa menerimanya."

Suasana menjadi hening sejenak, hanya terdengar detak jam dinding yang terasa seperti detak jantung mereka berdua.

"Aku hanya punya satu pertanyaan," Nathanael akhirnya berbicara, suaranya rendah namun menusuk. "Apa kamu dan Zeke sudah resmi?"

Vivian menggigit bibirnya, kepalanya semakin menunduk. "Belum," jawabnya nyaris berbisik.

"Kalau begitu," Nathanael berdiri, langkahnya mendekati Vivian dengan perlahan. "Apa aku masih punya kesempatan?"

Vivian tidak bisa mengangkat wajahnya, merasa rasa bersalah yang amat sangat menyelimutinya. "Saya... tidak ingin mengecewakan Anda, Pak."

Nathanael sekarang sudah berada tepat di depannya. Jari-jarinya yang ramping menyentuh bawah dagu Vivian, dengan lembut memaksanya untuk menatapnya.

"Apa benar tidak ada perasaan sama sekali?" tanyanya, matanya yang biasanya dingin sekarang memancarkan kelembutan yang dalam dan juga... kerapuhan. "Sedikit saja? Bahkan hanya secuil?"

Vivian terdiam, matanya berkaca-kaca. Dia tidak bisa berbohong, tapi juga tidak bisa mengatakannya.

Nathanael menarik napas, tangan nya jatuh. "Kalau begitu, aku akan berjuang," ujarnya dengan suara yang penuh keyakinan. "Aku akan membuatmu menyukaiku, lebih dari kau menyukai barista itu."

"Tapi, Pak—"

"Ini bukan perintah sebagai bos," potongnya, senyum kecil muncul di bibirnya. "Ini permintaan dari Nathanael, lelaki yang menyukaimu."

Dia mengambil kotak gaun dari tangan Vivian yang lunglai dan meletakkannya kembali di tangannya.

"Simpanlah. Aku tidak mau melihatnya dipakai oleh siapa pun kecuali kamu."

___________

Setelah percakapan intens dengan Nathanael, Vivian terhuyung kembali ke mejanya dengan wajah pucat dan langkah goyah. Dia menjatuhkan diri di kursinya, kepala langsung tertelungkup di atas meja seperti orang yang kehabisan tenaga.

Mia yang duduk di seberang awalnya hanya tersenyum prihatin. Dia membiarkan Vivian beristirahat, mengira sahabatnya hanya butuh waktu untuk menenangkan diri.

Tapi satu jam berlalu, dan Vivian masih dalam posisi yang sama. Tidak bergerak sama sekali.

"Vi?" Mia menyentuh bahunya. "Vivi, bangun. Jangan sampai ketahuan Pak Nathanael tidur di jam kerja."

Tubuh Vivian terasa panas membakar melalui blus yang dikenakannya.

"VIVI!" Mia berteriak sekarang, wajahnya langsung panik. Dia menggoyang-goyang tubuh Vivian, tapi tidak ada respons.

Mini-Vivi muncul dengan seragam perawat kecil: "KODE MERAH! KODE MERAH! SUHU 39 DERAJAT! SISTEM SHUTDOWN!"

Mia berlari ke ruangan Nathanael, hampir menabrak pintu kaca.

"Pak! Vivian pingsan! Dia demam tinggi!"

Nathanael langsung berdiri dari kursinya, wajahnya yang biasanya tenang sekarang pecah oleh kepanikan. Dia berlari ke meja Vivian, tanpa pikir panjang langsung mengangkat tubuhnya yang lemas ke dalam pelukannya.

"Vivian? Vivian, dengarkan aku!" bisiknya, tangan merasakan panas tubuhnya yang mengerikan.

Tapi Vivian hanya terkulai lemah, nafasnya tersengal-sengal.

"Siapkan mobil! Sekarang!" Nathanael berteriak pada Mia, sambil terus membopong Vivian dengan erat.

Di dalam mobil, kepala Vivian bersandar di bahu Nathanael. Meski dalam keadaan setengah sadar, tangannya masih menggenggam erat jas Nathanael seolah takut kehilangan pegangan.

" Sebentar lagi, Vivian," Nathanael membisikkan, tangan menepuk-nepuk pipinya yang panas. "Kita hampir sampai."

Mata Vivian berlinang air mata, bahkan dalam ketidaksadarannya. "Maaf... Pak..." ucapnya lemah.

"Diam," potong Nathanael, suaranya parau. "Jangan minta maaf. Ini salahku."

Setelah sampai ke rumah sakit Nathanael, tidak menunggu bantuan datang, langsung membopong Vivian masuk kedalam rumah sakit dan langsung diterima oleh perawat disana.

Vivian berbaring lemah diatas kasur dengan seorang dokter tua memeriksanya.

Diagnosis Dokter,

"Kelelahan akut dan stres berat," kata dokter dengan wajah serius. "Dia butuh istirahat total. Bukan cuma fisik, tapi juga mental."

Nathanael mengangguk, wajahnya dipenuhi rasa bersalah. Dari balik jendela ruang UGD, dia melihat Vivian terbaring lemah dengan infus di tangannya.

Mia memegang bahunya. "Ini bukan salah siapa-siapa, Pak. Vivian memang workaholic. Ditambah tekanan..."

"Tekanan dari ku," Nathanael menyelesaikan kalimatnya. "Aku yang memaksanya masuk dalam pertarungan yang tidak siap dia hadapi."

Dia menatap Vivian yang sedang tertidur, tangan nya mengepal.

"Tapi tidak lagi."

________

Nathanael duduk di samping tempat tidur Vivian, tubuhnya yang biasanya tegak sekarang membungkuk lelah. Tangannya yang besar menggenggam erat tangan Vivian yang dingin, jari-jarinya dengan lembut mengusap punggung tangan Vivian.

Vivian mengerang pelan, matanya setengah terbuka tapi berkaca-kaca, belum sepenuhnya sadar.

"Suster...?" gumamnya, suara parau dan lemah. "Kepalaku... sakit sekali..."

Nathanael terdiam sejenak, terkejut oleh panggilan itu. Tapi kemudian, sebuah kekeh kecil keluar dari bibirnya.

"Iya," jawabnya lembut, memainkan peran. "Tenang, saya di sini."

Tangannya yang mahir mulai memijit pelan pelipis Vivian, tekanan yang tepat dan menenangkan.

"Terima kasih, Sus..." Vivian berbisik, matanya kembali terpejam, tubuhnya mulai rileks di bawah sentuhan Nathanael. "Pijatannya... enak..."

Nathanael tersenyum, sesuatu yang hangat mengalir di dadanya. "Sama-sama," balasnya, suaranya rendah dan tidak seperti biasanya.

Dia terus memijat, menyaksikan Vivian perlahan-lahan terlelap kembali. Napasnya menjadi tenang, wajah yang tegang mulai melunak.

Bahkan dalam ketidaksadarannya, Vivian mencari tangan Nathanael, memegangnya erat seperti anak yang takut kehilangan.

"Jangan pergi..." Gumamnya dalam tidur.

"Tidak," Nathanael berbisik, jari-jarinya tidak berhenti membelai rambut Vivian. "Aku tidak ke mana-mana."

________

Vivian terbangun dalam kegelapan, kepalanya masih pening tapi sudah bisa ditahan. Kamarnya sunyi, hanya diterangi lampu temaram dari lorong. Rasa sepi dan takut menyergapnya.

Dia meraba-raba meja samping tempat tidur, tangannya gemetar menemukan tasnya. Dengan susah payah, dia mengambil ponsel. Layarnya menyala, menerangi wajahnya yang pucat.

Tanpa pikir panjang, jemarinya mengetik pesan pada Zeke:

"Aku di RS. Sendirian."

Dia tidak menunggu balasan. Melemparkan ponselnya dan menutup mata, berusaha menahan sakit kepala yang kembali menyerang hebat.

Zeke yang sedang menutup kafenya langsung membaca pesan itu. Tanpa pikir panjang, dia mengambil helm dan kunci motornya.

"Tunggu, Vi. Aku segera ke sana," balasnya singkat sebelum memacu motornya ngebut di jalanan sepi.

Angin malam menerpa tubuhnya yang tanpa perlindungan jaket, namun dia tidak peduli memutar gas lebih dalam. Dia terlalu takut sesuatu yang buruk terjadi pada Vivian sampai gadis itu ada di rumah sakit selarut ini.

Setelah sampai di depan rumah sakit, Zeke langsung memarkirkan motornya dan langsung lari masuk kedalam rumah sakit dan bertanya pada suster jaga dimana kamar Vivian Sunny, setelah mengetahui dimana letak kamar Vivi Zeke kembali berlari sampai dia berhenti didepan kamar tempat Vivi dirawat.

Pintu kamar Vivian terbuka perlahan.

Zeke berdiri di sana, napasnya masih terengah-engah, rambutnya berantakan diterpa angin. Matanya langsung menemukan Vivian yang terbaring lemah di tempat tidur.

"Vi," Panggilnya lembut, suara serak.

Vivian membuka mata, air matanya tanpa sadar menetes karena rasa sakit dikepala dan kelegaan akhirnya Zeke datang. "Kamu datang."

Zeke mendekat, berlutut di lantai di samping tempat tidur. Tangannya yang besar mengusap lembut pipi Vivian yang masih panas.

"Siapa yang bikin kamu seperti ini?" tanyanya, suara rendah penuh amarah yang tertahan.

Vivian hanya menggeleng, tangan kecilnya memegang erat tangan Zeke. "Aku gak mau sakit, Zek." Rengeknya. " Aku gak suka sakit."

"Aku tahu," bisik Zeke, menunduk hingga dahinya menempel pada dahi Vivian. "Aku di sini sekarang. Aku akan menemanimu."

Mendengar itu Vivian menghela nafas penuh kelegaan dengan tangan menggenggam erat tangan Zeke yang diletakan diatas kasur disampingnya.

1
Naurila Putri
kereenn lanjutt terussssss kakkk
ethereal: terimakasih kak🙇🙇
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!