Ratu Ani Saraswani yang dihidupkan kembali dari kematian telah menjadi "manusia abadi" dan dianugerahi gelar Ratu Sejagad Bintang oleh guru ayahnya.
Aninda Serunai, mantan Ratu Kerajaan Siluman yang dilenyapkan kesaktiannya oleh Prabu Dira yang merupakan kakaknya sendiri, kini menyandang gelar Ratu Abadi setelah Pendekar Tanpa Nyawa mengangkatnya menjadi murid.
Baik Ratu Sejagad Bintang dan Ratu Abadi memendam dendam kesumat terhadap Prabu Dira. Namun, sasaran pertama dari dendam mereka adalah Ratu Yuo Kai yang menguasai tahta Kerajaan Pasir Langit. Ratu Yuo Kai adalah istri pertama Prabu Dira.
Apa yang akan terjadi jika ketiga ratu sakti itu bertemu? Jawabannya hanya ada di novel Sanggana ke-9 ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Hendrik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1. Pendekar dan Lima Abdi
“Hahaha…!” gelak tawa Kentang Kebo yang duduk di kereta kuda terbuka, dengan payung janur menjadi pemberi bayangan peneduh dari panasnya mentari siang.
Kentang Kebo adalah lelaki berusia enam puluh tahun dengan tampilan fisik yang masih perkasa. Perawakannya tidak mewakili dari namanya. Intinya dia tidak seperti kerbau. Dia mengenakan baju bagus lagi mahal berwarna biru terang dengan hiasan sulaman benang emas pada tepian baju yang tidak berkancing itu. Model pakaian itu membuat badan berototnya sesekali tersingkap.
Meski bajunya bagus dan dia berkendara kereta kuda, tetapi tidak ada perhiasan emas atau perak yang melekat di kepala, leher, pinggang atau di kedua tangan dan kakinya.
Dia tertawa menertawakan dua lelaki yang tidak tertawa di depannya. Kedua lelaki duduk di posisi kusir, tepatnya di belakang bokong dua kuda yang menarik kereta tersebut. Kedua lelaki itu memakai pakaian bagus layaknya seorang bangsawan, meski wajah keduanya sangat kontras dengan kemewahan pakaiannya yang berbahan sutera.
Dua lelaki itu seperti saudara kembar karena sama-sama lelaki dan usianya sama-sama kepala tiga, meski wajah mereka jauh dari kata mirip. Bentuk mata, hidung, bibir dan jumlah gigi mereka berbeda. Lelaki yang memegang tali kendali kuda bernama Suoto, statusnya Abdi Nomor Satu. Lelaki rekannya yang masih tetangga dekat satu kampung, bernama Marno. Statusnya Abdi Nomor Tiga, meski otaknya lebih encer dari Suoto.
Selama perjalanan, keduanya sering berdebat tidak pintar meski keduanya bukan ahli pikir. Dua orang abdi itulah yang membuat Kentang Kebo selaku majikan sering tertawa tanpa terpancing untuk mengomentari. Kentang Kebo memang tidak suka menjadi ikan, dia lebih mensyukuri wujudnya saat ini, meski ketampanan sudah tidak ia miliki.
Ternyata kereta kuda itu tidak sendirian, ada pedati kuda yang mengikuti di belakang karena memang satu rombongan. Pedati yang ditarik oleh seekor kuda itu dikusiri oleh seorang lelaki yang berpenampilan mahal karena pakaian dan asesoris yang dikenakannya memang mahal. Tidak jauh berbeda dengan penampilan Suoto dan Marno yang juga seumuran, tetapi beda hari dan tanggal lahir. Kusir pedati kuda itu bernama Puyul. Dia memiliki status Abdi Nomor Empat.
Di belakang, di bak pedati duduk manis dua orang wanita, tetapi sangat jelas bahwa mereka sudah bukan gadis. Kedua wanita berusia kepala tiga itu berpakaian mewah pula dengan warna yang cerah, merah dan kuning, secerah riasan wajah mereka yang tebal dan menor. Bibir keduanya pun sudah lebih merah dari warna merah. Kedua wanita itu bernama Indah dan Ampila.
Indah adalah istri Puyul yang memiliki status Abdi Nomor Dua. Sedangkan Ampila adalah Abdi Nomor Lima selain berstatus sebagai istri sah Suoto.
Jadi, selain Kentang Kebo dan para kuda, kelima manusia lain itu adalah abdi dari sang pendekar sakti. Mereka jadi abdi karena mereka bukan orang sakti, tetapi ingin jadi orang kaya mendadak. Sebagai orang yang sudah menaklukkan beberapa kademangan dan telah membunuh para demangnya, Kentang Kebo butuh sejumlah abdi yang mau patuh disuruh-suruh.
“Marno, sepertinya kaki-kaki kuda itu gatal. Lihat, jika dia berjalan selalu mengangkat kakinya,” kata Suoto dengan kening berkerut memandang kaki-kaki kuda yang sedang berlari.
“Tuan Abdi Nomor Satu, kau pikir jika kuda berjalan kakinya diseret?” tanya Marno menahan kesal.
“Hahaha!” Itulah yang membuat Kentang Kebo, sang majikan, tertawa pendek.
“Seperti kau,” kata Suoto.
“Seperti aku? Aku seperti kuda atau kuda yang seperti aku?” tanya Marno lagi dengan ekspresi serius menengok kepada Suoto yang ketika berkata wajahnya fokus ke depan, dia tidak mau hanya karena menengok, kedua kuda penarik itu ikut menengok.
“Jelas kau sepeti kuda. Hahaha! Kau punya mata seperti kuda, kau punya hidung seperti kuda, kau punya telinga seperti kuda, kau punya kepala seperti kuda, kau punya perut seperti kuda. Tapi, kuda tidak seperti kau. Kuda kakinya empat tidak sepeti kau, kuda punya ekor tidak seperti kau, kuda makan rumput tidak seperti kau…”
“Kenapa kau tidak balik?” hardik Marno sewot. Ingin rasanya dia menepak kepala Suoto, tetapi tidak mungkin itu dia lakukan di depan majikan mereka yang tertawa panjang di belakang, lebih-lebih Suoto yang otaknya ada di bokong itu berstatus Abdi Nomor Satu.
“Otakmu kau taruh di mana, Marnooo … Marno. Jika kudanya aku balik, dia pasti jatuh dan gayanya pasti seperti kecoa terbalik,” jawab Suoto dengan nada seolah-olah Marnolah orang tololnya.
“Hahaha…!” Kian panjang tawa Kentang Kebo mendengar perdebatan yang tidak bermutu dan berkutu itu.
Puyul yang mengendalikan pedati kuda di belakang, sangat ingin ikut tertawa agar sang majikan tahu dan senang atas dukungannya, tetapi dia tidak tahu tema yang ditertawakan karena audio perdebatan Marno dan Suoto tidak terdengar secara seksama olehnya.
Sementara Indah dan Ampila bergeming. Mereka menikmati kenyamanan dalam perjalanan sebagai seorang abdi rasa nyai demang.
Hingga akhirnya mereka memasuki Karang Lindur, ibu kota Kadipaten Ombak Lelap.
Namun, ketika rombongan itu baru masuk sejauh lima lemparan sepatu, ada empat orang prajurit kadipaten yang menghadang dengan tujuan menghentikan laju kereta dan pedati kuda. Keempat prajurit berseragam biru-biru itu menunggang kuda, sehingga mudah bagi mereka dalam menghadang.
Satu orang prajurit mendekatkan kudanya ke sisi kereta kuda, lebih dekat kepada Kentang Kebo yang tersenyum tipis melihat tindakan prajurit yang satu itu.
Sementara kelima Abdi tidak memiliki rasa khawatir atau ketar-ketir sedikit pun karena dihadang oleh aparat keamanan. Itu karena pengalaman situasi yang lebih buruk pada hari-hari sebelumnya telah mendidik mental mereka. Bukan karena mereka sakti, tetapi karena mereka bersama orang sakti, yaitu majikan mereka.
“Siapa kau, Kisanak? Dari mana asal kalian?” tanya si prajurit tanpa intro mukadimah lebih dulu. Bahkan tanpa senyum.
“Kami dari Kademangan Pantekubi,” jawab Kentang Kebo datar.
Deg!
Bukan satu prajurit yang bertanya itu saja yang tersentak jantungnya karena terkejut mendengar jawaban itu, tetapi ketiga rekannya yang lain juga terkejut dalam tempo yang bersamaan. Ternyata jawaban Kentang Kebo itu membuat keempat prajurit menjadi tegang, terlihat sekali dari ekspresi wajah mereka.
Seketika itu juga, tanpa disepakati sebelumnya, mereka kompak menduga bahwa orang yang mereka hadapi saat ini adalah Kentang Kebo, pendekar sakti yang telah membunuh para demang dan menguasai beberapa kademangan di kadipaten tersebut.
Prajurit yang bertanya tadi lalu menengok kepada satu dari ketiga rekannya yang menghadang di depan kuda kereta. Dia memberi kode satu gerakan alis kepada rekannya tersebut. Prajurit yang mendapat kode alis membalas dengan anggukan pelan.
Kentang Kebo membiarkan permainan kode isyarat itu. Dia pun membiarkan ketika prajurit yang mendapat kode segera memutar balik arah kepala kudanya dan segera menggebah.
“Heah heah!” gebah si prajurit yang langsung melarikan kudanya dengan kencang pergi ke arah pusat Ibu Kota Karang Lindur.
“Hahaha! Dia kebelet kencang!” tawa Suoto sambil menunjuk prajurit yang pergi, membuat ketiga prajurit lainnya melotot memandangnya.
“Bukan kebelet kencang, tapi kebelet kencing, Suoto,” ralat Marno dengan nada mode berbisik tapi tetap kencang terdengar.
“Hahaha!” tawa pendek Kentang Kebo mendengar dua abdinya.
“Kisanak, kau belum menyebutkan namamu!” Prajurit yang di samping kereta setengah membentak Kentang Kebo.
Sebelum menjawab, Kentang Kebo lebih dulu tersenyum lebar pamer gigi.
“Sepertinya kalian sudah mengenali aku. Aku memang….”
“Heah heah!” Tindakan menggebah yang dilakukan oleh si prajurit membuat Kentang Kebo memangkas kata-katanya.
Prajurit itu dengan gestur terburu-buru yang terkesan panik, memutar arah kepala kuda yang kemudian menggebahnya. Langsung kencang.
“Mundur!” peritahnya kepada kedua rekannya, sambil berlalu lewat lebih dulu.
“Heah heah!” Kedua prajurit lainnya cepat bertindak sama. Mereka putar arah lalu kabur sebelum ada kondisi yang mengancam.
“Hahaha…!” tawa Suoto lebih kencang dari sebelumnya. “Yah, semuanya kabur. Larinya kencing sekali!”
“Hahaha…!” tawa Marno juga yang menyertai tawa Kentang Kebo.
“Hahaha…!” tawa Puyul pula di belakang. Kali ini dia tahu jelas alasannya untuk tertawa.
Namun, Marno tetap merasa punya kewajiban untuk meluruskan ketersesatan otak dan lidah sahabat dan tetangganya.
“Yang kencing itu yang kebelet. Kalau lari, pakai yang kencang. Jangan ditukar guling,” jelas Marno dengan ekspresi wajah yang sabar dan tulus.
“Hahaha! Mukamu yang kencing!” Suoto justru melunjak kepada Marno yang dua bulan lebih tua darinya itu.
“Hahaha…!” Kian meledak tawa Kentang Kebo mendengar makian Suoto.
Marno hanya melirik sebentar kepada majikannya dengan wajah mengiba menerima nasib. Sejak merasa kedudukannya paling tinggi dari keempat abdi lainnya, Suoto kini berani memaki Marno. Padahal dulu….
“Lanjutkan perjalanan!” perintah Kentak Kebo.
“Suap, Pendekar!” pekik Suoto patuh. (RH)