NovelToon NovelToon
Reinkarnasi Jadi Bebek

Reinkarnasi Jadi Bebek

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Reinkarnasi / Sistem / Perperangan / Fantasi Wanita / Fantasi Isekai
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: yuyuka manawari

Siapa sangka, kematian konyol karena mesin penjual minuman bisa menjadi awal petualangan terbesar dalam hidup… atau tepatnya, setelah hidup.

Ketika bangun, ia bukan lagi manusia, melainkan seekor bebek rawa level 1 yang lemah, basah, dan jadi incaran santapan semua makhluk di sekitarnya.

Namun, dunia ini bukan dunia biasa. Ada sistem, evolusi, guild, perang antarspesies, bahkan campur tangan Dewa RNG yang senang mengacak nasib semua makhluk.

Dengan kecerdikan, sedikit keberuntungan, dan banyak teriakan kwek yang tidak selalu berguna, ia membentuk Guild Featherstorm dan mulai menantang hukum alam, serta hukum para dewa.

Dari seekor bebek yang hanya ingin bertahan hidup, ia perlahan menjadi penguasa rawa, memimpin pasukan unggas, dan… mungkin saja, ancaman terbesar bagi seluruh dunia.

Karena kadang, yang paling berbahaya bukan naga, bukan iblis… tapi bebek yang punya dendam..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yuyuka manawari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 21: Balairung Musang

Pagi ini langit terlihat lebih cerah dibanding kemarin. Awan tipis bergeser perlahan di angkasa, membiarkan cahaya matahari masuk lebih banyak ke permukaan. Udara masih terasa lembap, tapi hembusan angin yang tenang membuat suasana tidak terlalu menekan.

Sejak sebelum berangkat, aku sudah memberi perintah pada Vlad untuk tetap berada di posisi pengawasan dari jauh. Ia tidak boleh menampakkan diri kecuali keadaan benar-benar darurat. Dengan begitu, aku bisa lebih fokus menghadapi undangan ini.

Aku, Poci, Titi, dan Zaza berkumpul di atas karpet merah di depan kediamanku. Karpet itu sudah dibersihkan sejak pagi, seratnya masih agak kusut karena lembap. Kami berdiri mengelilinginya, memeriksa satu sama lain. Hari ini kami semua harus siap, baik dari sisi fisik maupun mental.

Poci menghela napas, lalu menatapku. Paruhnya sedikit bergetar ketika berbicara.

“Aku… sedikit gugup,” katanya pelan.

Aku tidak menertawakannya, hanya tersenyum tipis. Senyum itu untuk menegaskan bahwa rasa gugupnya wajar. Aku sendiri merasakannya, tapi tidak perlu diumbar.

Tak lama kemudian, pintu besar yang menjadi akses utama kerajaanku dengan wilayah luar terbuka perlahan. Suara yang berat bergesekan dengan batu terdengar jelas.

Dari balik pintu itu, dua musang muncul. Keduanya berjalan tegap, berdiri di depan dengan sikap serius.

Refleks, ketiga bebek yang bersamaku mengangkat sayap, mengatur posisi bertahan. Mata mereka menajam, tubuh agak condong ke depan. Aku langsung memberi isyarat dengan mengangkat sayapku sedikit.

“Tidak perlu,” kataku singkat.

Ketiga bebek menahan diri. Sayap perlahan diturunkan, meski sorot mata mereka tetap waspada.

Salah satu musang itu membuka mulut. Suaranya tegas dan datar.

“Kami akan mengantarkan Anda menuju balairung.”

Aku mengangguk tanpa ragu. “Terima kasih.”

Mereka berbalik, berjalan di depan dengan langkah teratur. Aku dan ketiga bebek mengikutinya dari belakang.

Sebenarnya aku sempat berniat meminta sistem untuk menunjukkan lokasi balairung. Tapi mereka memang sudah menyiapkan pengantar, jadi aku tidak perlu menambah resiko.

Kami melewati jalan panjang yang sebagian besar berupa batu-batu besar tersusun rapi. Sesekali tanah di sekitarnya masih becek, bekas hujan semalam. Pepohonan tinggi menjulang di kiri dan kanan jalan, suara serangga dari balik semak terdengar jelas.

Di tengah perjalanan, Zaza melirik ke arahku. Ia mempercepat langkah, lalu berbisik di dekat telingaku.

“Rajaku… ada yang mengamati kita.”

Aku tidak langsung merespons dengan ekspresi. Tatapanku tetap lurus ke depan. Aku hanya mengangguk sedikit.

“Aku tahu. Pertahankan posisimu, Zaza. Jangan panik.”

Ia menarik napas pendek, mencoba menahan kegelisahannya. Bulu di lehernya sedikit berdiri sebelum akhirnya ia menunduk.

Perjalanan terasa panjang. Mungkin sekitar empat puluh menit dari batas kerajaan. Tapi selama itu, ada sesuatu yang terasa aneh. Biasanya jalan seperti ini penuh ancaman.

Dulu sebelum aku bertemu dengan kapten kokok. Dalam catatan sistem, daftar musuh dan binatang buas cukup banyak berkeliaran. Anehnya, hari ini semuanya kosong. Tidak ada seekor pun yang terlihat.

Aku menduga musang sudah menyingkirkan semua ancaman sebelumnya. Pembersihan itu membuat jalan terasa sepi.

Setelah cukup lama berjalan, akhirnya kami melihat bangunan yang dituju.

Balairung musang menjulang di depan mata. Sebelum masuk ke areanya, berdiri sebuah gerbang berbentuk tori besar. Warnanya merah tua, namun bagian tengah balok atasnya dipahat dengan wajah musang. Ukirannya detail: mata menyipit, gigi kecil ditonjolkan, dan kumis panjang ditarik ke samping.

Kedua musang pengantar itu berhenti di depan gerbang. Mereka menunduk dengan sikap hormat.

“Silakan masuk. Ratu Musang telah menunggu Anda,” ucap salah satu dari mereka tanpa mengangkat kepala.

Aku memberi tanda pada ketiga bebek, lalu melangkah maju melewati gerbang. Begitu masuk, beberapa pengawal musang langsung mendekat. Mereka bergerak cepat, posisi tubuh tegap, tatapan tajam.

Salah seorang pengawal berbadan lebih besar membuka suara. Ia melirikku sebentar, lalu menatap ketiga bebek di belakangku. Raut wajahnya memperlihatkan sikap meremehkan.

“Kami akan mengantarkan Anda. Silakan ikuti agar tidak tertinggal,” katanya dengan nada tenang, meski ada penekanan kuat di akhir kalimat.

Semakin dekat ke bangunan utama, semakin jelas kemegahannya. Dinding balairung terbuat dari batu abu-abu yang dipoles rapi. Atapnya melengkung tinggi, dihiasi ukiran menyerupai ekor musang yang menyebar ke dua sisi. Di sepanjang jalan masuk, bunga berwarna ungu dan merah ditanam berjejer, memberi kontras pada dominasi batu yang dingin.

Kami melewati halaman luas, lalu masuk ke dalam bangunan. Bau kayu tua bercampur dengan dupa tipis memenuhi udara. Suasananya tenang, tapi terasa menekan.

Pengawal yang memimpin kami berhenti di depan sebuah pintu besar, lalu mendorongnya terbuka.

Ruangan di dalamnya luas, langit-langitnya tinggi, pilar-pilar batu kokoh berdiri di sisi kiri dan kanan. Cahaya masuk dari jendela tinggi, membuat lantai mengilap.

Di tengah ruangan, sudah disiapkan meja dan kursi untuk negosiasi. Ada tiga meja dengan tiga kursi, disusun menghadap ke satu arah. Jelas sekali ruangan ini bukan untuk makan, tapi untuk perundingan resmi.

Begitu aku melangkah masuk, terdengar suara keras bergema. Seseorang dari dalam mengumumkan kedatanganku dengan nada berat.

“Raja Bebek dari Kerajaan Rawa telah tiba.”

Beberapa musang yang berdiri di sisi ruangan segera menundukkan kepala ketika aku masuk. Gerakan mereka teratur, seakan sudah dilatih untuk menyambut tamu penting. Titi, Poci, dan Zaza terlihat kagum. Mereka berdiri sedikit tegak, matanya mengikuti setiap gerakan penghormatan yang diberikan kepadaku.

Pengawal yang sebelumnya menuntunku kini berhenti di dekat pintu masuk. Sementara satu musang lain maju, mengarahkan tangannya ke kursi yang sudah disiapkan. Suaranya terdengar jelas, dengan intonasi penuh rasa hormat.

“Silakan duduk, Yang Mulia.”

Aku mengangguk kecil. Gerakanku kutahan agar tetap tenang, meskipun suasana ini sedikit menegangkan. Kursi kayu yang dipoles halus itu ku duduki perlahan.

Titi, Poci, dan Zaza berdiri setengah langkah di belakangku, posisi mereka jelas menunjukkan bahwa mereka pengawal pribadiku.

Suasana ruangan berubah hening beberapa detik sebelum suara berat kembali bergema dari sudut ruangan. Seorang musang lain bersuara lantang, seakan ingin memastikan setiap orang di balairung mendengarnya.

“Ratu Lira dari Kerajaan Musang telah tiba.”

Semua kepala musang yang ada di dalam ruangan segera menunduk lebih rendah. Dari pintu besar, langkah-langkah ringan terdengar mendekat. Ratu Lira memasuki ruangan dengan sikap anggun. Ia berdiri tegap, bulu halusnya terawat rapi. Mata Ratu Lira terlihat tajam, tapi tidak menusuk. Ada kesan wibawa sekaligus tenang darinya. Beberapa musang pengawal segera bergerak, menyiapkan kursi untuknya di sisi meja.

Titi dan Zaza yang berdiri di belakangku jelas tidak bisa menyembunyikan reaksi mereka. Wajah mereka tampak terpana, mata membesar, bahkan sesekali saling melirik dengan wajah yang sedikit merah. Aku bisa menebak apa yang mereka pikirkan, meskipun mereka tidak berani mengatakannya.

“Maaf, saya sedikit terlambat.” Suara Ratu Lira terdengar lembut namun tegas. Ia mengucapkannya sambil tersenyum kecil.

Aku segera menanggapinya dengan sopan. “Tidak masalah, Ratu Lira. Saya juga baru saja duduk.”

Ratu Lira mengangguk, lalu duduk dengan gerakan tenang. “Syukurlah,” katanya pelan. “Sebenarnya, saya agak gugup. Sudah lama saya tidak memimpin negosiasi ini.”

Mendengarnya, aku tersenyum kecil, paruhku terbuka sedikit sementara mataku menutup sebentar. “Saya juga merasakan hal yang sama.”

Ratu Lira kemudian menoleh ke arah meja lain yang masih kosong. “Sepertinya ada satu pihak lagi yang belum datang,” ujarnya sambil menunjuk kursi yang belum terisi.

Meja berbentuk segitiga sudah disusun sejak awal. Aku tahu betul siapa yang dimaksud. Dan tak lama kemudian, suara berat kembali bergema di seluruh ruangan.

“Raja Pekokok dari Kerajaan Ayam Jantan telah tiba.”

Pintu besar berderit terbuka. Suara langkah keras terdengar jelas. Tubuh Raja Pekokok lebih besar dibandingkan kapten Kokok yang pernah kuhadapi sebelumnya. Bulunya kusam dengan beberapa luka lama yang masih terlihat jelas di wajah dan lehernya. Tatapannya tajam, membuat beberapa pengawal musang refleks menegang.

Ratu Lira mendecak kecil sambil tersenyum tipis. “Seperti biasa… selalu datang dengan cara yang berisik,” ucapnya dengan nada menggoda namun penuh sindiran.

Raja Pekokok tidak menanggapi ucapannya. Ia berjalan terus menuju kursi yang telah disiapkan, langkahnya mantap dan penuh tekanan. Musang yang bertugas sebagai pengarah tamu tidak berani banyak bicara, hanya memberi isyarat tangan agar Raja Pekokok duduk di kursinya.

Begitu duduk, Raja Pekokok menoleh padaku. Tatapan matanya keras, seolah ingin mengukur kekuatanku hanya dengan pandangan. Aku tidak bergerak, hanya menatap balik dengan tenang.

Suasana sempat hening sebelum Ratu Lira membuka suara dengan nada lebih resmi. “Terima kasih kepada kedua raja yang sudah datang. Kehadiran kalian di sini sangat penting. Sebagai tuan rumah, saya akan menjadi penengah dalam perundingan ini. Harapannya, kita bisa menyelesaikan masalah tanpa ada darah yang tumpah.”

Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan. “Baiklah, kita langsung saja. Saya ingin mendengar penjelasan dari kalian berdua. Raja Pekokok, silakan mulai.”

Raja Pekokok tidak menunggu lama. Kursinya berderit keras saat ia berdiri. Dengan gerakan kasar, ia membanting sayapnya ke meja.

Bugh! Suara kayu bergetar keras, membuat beberapa musang di sisi ruangan tersentak kaget.

“Tidak perlu banyak bicara!” teriaknya lantang. Suaranya memenuhi ruangan, tajam, dan penuh emosi.

Titi dan Zaza langsung bergerak refleks. Mereka merentangkan sayapnya sedikit, tubuh condong ke depan, siap melindungiku bila terjadi sesuatu. Ekspresi mereka berubah serius, berbeda dari wajah terpana mereka beberapa menit lalu.

Aku sendiri masih duduk diam. Namun, dalam hati, aku sadar ada sesuatu yang janggal. Dari tadi, sistemku tidak menampilkan label apapun pada hewan-hewan di ruangan ini, termasuk Raja Pekokok. Biasanya, setiap individu punya tanda identifikasi jelas. Tapi kali ini… kosong.

Ada sesuatu yang tidak beres.

“Aku menuntut duel kehormatan. Aku ingin kepalamu ditancapkan di alun-alun kerajaanku sebagai bukti harga diri!” teriak Raja Pekokok lantang, dadanya membusung, matanya merah penuh amarah.

Ketiga Bebek yang berdiri di belakangku langsung siaga. Zaza mendesis pelan, tubuhnya condong ke depan seakan siap menyerang, sementara Titi melirik ke arahku menunggu perintah. Poci menggenggam kedua sayapnya dengan erat, matanya penuh waspada. Aku memberi kode singkat dengan satu gerakan tangan agar mereka tetap tenang. Aku tidak boleh membiarkan suasana langsung pecah jadi pertumpahan darah.

Aku menegakkan tubuh, mencoba menahan tekanan yang menyesakkan. “Kenapa tiba-tiba marah begini? Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku dengan suara yang kutahan agar tetap tenang.

Raja Pekokok membanting sayap ke meja lagi hingga bunyi kayu bergetar. “Jangan berbicara seolah-olah kau tidak tahu apa yang sudah kau lakukan!” suaranya menggema, menggetarkan dinding balairung yang luas.

Aku menarik napas dalam-dalam. “Saya hanya seekor Bebek yang lemah. Tubuhku rapuh, dan aku tidak memiliki kekuatan apa-apa. Tidak mungkin aku melakukan hal yang kau tuduhkan.” Aku mencoba berbicara selembut mungkin, meski dadaku terasa berdebar.

Raja Pekokok menatap tajam ke arahku. Paruhnya terbuka lebar, suara geraman rendah keluar di sela-sela kata. “Ya, benar. Kau adalah seekor Bebek yang lemah. Itu sebabnya aku tidak percaya... Bagaimana mungkin makhluk sepertimu bisa membunuh Kapten Kokok, kakakku sendiri?!” Suaranya sempat terhenti, namun sorot matanya tidak kehilangan ketegasan.

Aku mengangkat sedikit kepalaku, menatap lurus ke arahnya. “Saya tahu kau memiliki bulu saya sebagai bukti. Tetapi pikirkan baik-baik. Ini adalah wilayah Ratu Lira. Apa kau tidak berpikir mungkin saja ada pihak lain yang mengatur semuanya agar kita bertengkar? Bisa jadi Ratu Lira-lah yang merencanakan semua ini.” Aku menoleh sekilas ke arah Lira dengan nada bicara sengaja dibuat seperti sindiran.

“Sialan! Tarik ucapanmu!” teriak salah satu musang dari belakang Ratu Lira. Nada suaranya penuh amarah, seperti tidak terima rajanya dituduh. Dari posisinya, aku menduga ia adalah tangan kanan atau penasihat Ratu.

Dalam hati aku berkomentar singkat, mungkin dia perdana menterinya.

Ratu Lira langsung angkat bicara, wajahnya tampak menegang walau senyumnya masih terjaga. “Kami tidak pernah melakukan hal licik seperti itu. Aku dan Raja Pekokok sudah lama berteman. Dia lebih percaya padaku dibanding percaya pada kata-katamu, Raja Bebek.” Ia terkekeh pelan setelah mengucapkan kalimat itu, seakan ingin meremehkanku di depan semua orang.

Dari belakang, Poci mendekat sedikit ke arahku, lalu berbisik dengan suara rendah penuh amarah, “Lonte musang sialan…” Ucapnya. Titi dan Zaza terkejut mendengarnya, mereka saling pandang dengan ekspresi cemas, takut Poci terbawa emosi di tempat yang genting ini.

Raja Pekokok kemudian mengangkat satu sayap besar. Dari genggamannya, sehelai bulu berwarna putih kusam jatuh ke meja. “Ini bulumu!” katanya tegas. Matanya menyipit, suaranya bergetar menahan amarah. “Aku tahu bulu bebek tidak mungkin terlepas begitu saja kecuali karena pertempuran. Dan bulu ini… hanya milikmu. Tidak ada bebek lain di kerajaan ini yang memilikinya. Kau sudah membuatku murka. Kau tidak akan bisa lari kemana pun.”

Aku menundukkan kepala perlahan. Dalam benak, aku memutar rencana yang sudah kusiapkan.

Dengan suara gemetar yang sengaja kubuat lemah, aku berkata, “Ampunilah saya. Saya tidak ingin bertarung dengan siapa pun. Saya hanya seekor bebek kecil. Yang pernah membantu saya hanyalah angsa-angsa luar, dan saya membayar mereka dengan singkong. Saya tidak punya kekuatan apa pun… saya mohon ampun.” Suaraku sengaja kuatur terdengar hampir seperti tangisan, paruhku sedikit bergetar, mataku menatap ke bawah penuh ketidakberdayaan.

Ketiga Bebek di belakangku mulai tampak panik. Zaza menatapku dengan sorot cemas, Titi menggertakkan paruh seakan menahan diri, sementara Poci tampak hendak maju sebelum kuangkat tanganku untuk menahannya.

Raja Pekokok menunjukku dengan sayapnya. “Lihat! Kau sendiri sudah mengaku. Kau adalah pembunuh kakakku. Nyawa harus dibayar nyawa! Aku menuntut duel resmi hari ini juga. Aku tidak akan membiarkanmu kabur. Ratu Lira! Persiapkan arena duel sekarang juga, aku minta kau menjadi penengahnya.”

Ratu Lira mengangguk pelan tanpa banyak bicara. “Baik, duel akan dipersiapkan,” jawabnya singkat, wajahnya datar namun matanya berbinar seakan menunggu tontonan ini.

Aku berpura-pura goyah. Dengan sengaja aku menjatuhkan tubuhku dari kursi, membuat suara berdebam kecil saat tubuhku menghantam lantai. Aku bangkit terburu-buru, gerakanku kacau, lalu berlari kecil menuju pintu dengan ekspresi panik. “Aku tidak ingin duel! Aku takut! Ampuni aku!” suaraku terputus-putus seperti tangisan.

Ketiga Bebek langsung ingin mengejarku, namun mereka menahan diri karena situasi penuh pengawal.

“Tangkap dia! Jangan biarkan keluar!” teriak Ratu Lira dengan suara lantang. Tangan kirinya menunjuk ke arah pintu keluar, sementara beberapa pengawal musang di sisi kanan dan kiri langsung bergerak cepat, tubuh mereka melompat ringan dengan langkah kaki keras menghantam lantai batu.

Aku membiarkan tubuhku digiring oleh para penjaga musang. Tangan dan sayapku diikat dengan tali kasar yang menekan bulu, tapi aku tidak melawan. Dari luar mungkin aku terlihat sebagai tawanan yang lemah, padahal semua ini memang rencanaku sejak awal.

Rantai besi berderak setiap kali aku dipaksa melangkah melewati lorong batu yang sempit. Udara di dalam terasa lembap, bercampur bau besi dan keringat. Setiap detik mendekatkan aku pada panggung yang mereka sebut sebagai balairung duel.

Ketika pintu gerbang kayu besar terbuka, cahaya terang menyilaukan mataku. Sorak-sorai langsung menyambar, suara ribuan penonton mengguncang telinga. Aku kini berdiri di tengah lapang luas berbentuk lingkaran, dindingnya tinggi dan tersusun dari batu hitam. Bentuknya mengingatkan pada arena colosseum, hanya saja lebih kasar, seolah dibangun hanya untuk pertempuran dan darah.

Sorakan bercampur teriakan ejekan mengisi udara. “Bebek! Bebek! Bebek!” sebagian menertawakan, sebagian lagi hanya menunggu kapan aku akan jatuh. Debu kering beterbangan setiap kali penonton menghentakkan kaki di bangku batu.

Mataku menyapu ke arah tribun penonton. Di sana, tiga sosok yang kukenal berdiri. Titi dan Zaza melambai, paruh mereka terbuka, berteriak memberi semangat. Sementara Poci… dia menunduk dengan mata berair, sayapnya menutupi wajah. Dia tidak sanggup melihatku berdiri sendirian di arena.

Aku menahan diri agar tidak menoleh terlalu lama. Cukup tahu bahwa mereka ada di sana, menyaksikan.

Suara terompet logam melengking, tanda duel resmi dimulai. Pintu besi di seberang arena bergeser, suara gesekannya berat dan panjang. Dari balik kegelapan, muncul sosok tinggi besar dengan langkah penuh percaya diri.

Itu dia. Raja Pekokok.

Bulu-bulunya merah menyala, kontras dengan zirah baja tipis yang menempel di tubuhnya. Zirah itu tidak terlihat berat, malah seperti dibuat khusus agar sesuai dengan bentuk tubuh seekor ayam jago. Di tangannya tergenggam sebuah tombak panjang, ujungnya berkilau terkena cahaya matahari yang menembus celah atap arena.

Matanya menatap lurus padaku, tajam, penuh kebencian yang nyaris bisa kurasakan sampai ke tulang.

“Aku akan menghabisimu,” suaranya bergema lantang, cukup keras untuk membuat penonton terdiam beberapa detik. “Bersiaplah, bebek. Hari ini kau akan membayar darah kakakku dengan nyawamu sendiri.”

1
Anyelir
kasihan bebek
Anyelir
wow, itu nanti sebelum di up kakak cek lagi nggak?
yuyuka: sampai 150 Chap masih outline kasar kak, jadi penulisannya belum🤗
total 1 replies
Anyelir
ini terhitung curang kan?
yuyuka: eh makasi udah mampir hehe

aku jawab ya: bukan curang lagi itu mah hahaha
total 1 replies
POELA
🥶🥶
yuyuka
keluarkan emot dingin kalian🥶🥶
FANTASY IS MY LIFE: 🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶
total 1 replies
yuyuka
🥶🥶🥶🥶
Mencoba bertanya tdk
lagu dark aria langsung berkumandang🥶🥶
yuyuka: jadi solo leveling dong wkwkwkw
total 1 replies
Mencoba bertanya tdk
🥶🥶
FANTASY IS MY LIFE
bro...
Mencoba bertanya tdk
dingin banget atmin🥶
FANTASY IS MY LIFE: sigma bgt🥶
total 1 replies
FANTASY IS MY LIFE
ini kapan upnya dah?
yuyuka: ga crazy up jg gw mah ttp sigma🥶🥶
total 1 replies
Leo
Aku mampir, semangat Thor🔥
yuyuka: makasi uda mampir
total 1 replies
Demon king Hizuzu
mampir lagi/Slight/
yuyuka: arigatou udah mampir
total 1 replies
Demon king Hizuzu
mampir
yuyuka: /Tongue/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!