Suatu kondisi yang mengharuskan Zidan menikahi Khansa, teman masa kecilnya yang tinggal di desa, atas permintaan terakhir neneknya yang terbaring di ranjang rumah sakit.
Disisi lain, Zidan memiliki kekasih setelah bertahun-tahun tinggal di kota.
Pernikahan itu terjadi karena satu syarat yang diberikan Khansa, mau tidak mau Zidan menerima syaratnya agar pernikahan mereka bisa berlangsung.
Bagaimana kehidupan pernikahan Zidan dan Khansa?
Lalu bagaimana hubungan Zidan dengan kekasihnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lentera Sunyi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lolos
Zidan mematung saat melihat Khansa hanya menggunakan handuk yang baru saja ia berikan. Ia menelan salivanya dengan susah payah karena tubuhnya sedikit bereaksi.
Untuk yang kedua kalinya Zidan melihat Khansa hanya dengan balutan handuk, karena sebelumnya Khansa selalu memakai baju saat keluar dari kamar mandi.
Sepertinya karena terburu-buru Khansa lupa untuk mengambil piyamanya sebelum masuk ke dalam kamar mandi.
Di kamar Zidan dan yang lainnya, memang tidak memiliki ruang khusus untuk menyimpan semua pakaian dan aksesoris lainnya.
Hanya saja disediakan tempat di sisi kanan dan kiri menuju ke kamar mandi. Seperti terdapat lorong untuk sampai ke kamar mandi.
Bisa dikatakan lemari pakaian, tapi tidak terlihat seperti itu. Karena tempatnya seperti tersembunyi. Sama halnya pintu yang menuju ke ruang baca, kurang lebih tempat penyimpanannya seperti itu.
“Zi!!” pekik Khansa yang langsung berbalik membelakangi Zidan. Ia pikir jika Zidan sudah pergi, siapa sangka jika Zidan masih berdiri di posisi yang sama seperti sebelumnya.
“Kenapa masih disini?!!” tanya Khansa dengan gugupnya.
Khansa memegang handuk yang melilit di bagian dadanya. Tangan kanannya berusaha menurunkan handuk untuk menutupi pahanya. Karena saat ini, sebagian pahanya terlihat.
Wajah Khansa memerah menahan malu karena situasinya saat ini, dirinya hanya menggunakan handuk, yang hanya menutupi sedikit bagian tubuhnya.
Dengan ragu-ragu Khansa berjalan membelakangi Zidan untuk membuka lemari pakaian yang ada di belakang Zidan.
“Aaa–” Khansa terkejut saat melihat Zidan yang melingkarkan tangan di pinggangnya. Yang membuat Khansa teriak adalah saat Zidan menarik pinggangnya dan memojokkannya dengan menghimpit tubuhnya dengan dinding.
“Zi! Lepasin aku!! Jangan seperti ini, waktunya keburu habis! Itu tidak akan baik!” nasehatnya.
“Aku tau, tidak bisakah kamu memberikanku ciuman?” Zidan menunjukan pipinya pada Khansa.
“A-apa?” gugup Khansa.
“Hanya di pipi, setelah itu tunggu aku mandi. Kita akan melakukannya bersama, bisakah? Apa sangat sulit untuk kamu melakukannya?” tanya Zidan yang melihat Khansa diam menunduk.
Khansa mengepalkan tangannya, matanya yang terpejam berusaha untuk meyakinkan dirinya. Lagipula tidak ada salahnya Khansa menyetujuinya karena mereka juga sudah menjadi suami istri.
Mata Zidan membesar saat Khansa benar-benar mencium pipinya. Seketika tubuhnya menegang seperti patung.
Melihat ada kesempat Khansa mengambil piyamanya dan masuk kembali ke dalam kamar mandi.
Saat keluar, Khansa Zidan agar tidak bersentuhan dengannya, atau ia akan kembali lagi masuk ke dalam kamar mandi untuk mensucikan dirinya lagi.
“Zi! Aku tunggu, jangan terlalu lama!” tegur Khansa yang membuat Zidan kembali sadar.
Ia menyentuh pipinya yang terasa panas. Dengan buru-buru Zidan masuk ke dalam kamar mandi setelah mengambil bajunya.
“Astaga! Jantungku sudah tidak aman!” gumam Zidan yang bersandar pada pintu.
...* * *...
Malam harinya, setelah kejadian tadi. Khansa merasa sedikit canggung. Sedangkan Zidan terlihat seperti biasa. Dan sekarang Zidan justru berbaring di pangkuan Khansa dengan menyembunyikan wajahnya di perut Khansa.
Zidan semakin memperlihatkan sikap manjanya pada Khansa. Kali ini, Khansa justru merasa senang dengan Zidan yang manja pada dirinya.
Tangan Khansa terhenti karena mengingat sesuatu. Matanya melotot saat jam sudah menunjukan pukul delapan malam.
“Zi! Sekarang sudah jam delapan! Itu artinya pengumumannya sudah keluar!” Khansa berusaha meraih ponselnya yang ada di ujung nakas. Ia sedikit kesulitan karena Zidan yang berbaring di pahanya.
“Pakai ini aja,” Zidan memberikan ponselnya yang tergeletak tidak jauh darinya.
Khansa melihat uluran tangan Zidan yang memegang ponselnya. Raut wajahnya terlihat ragu, ia takut mengganggu privasi Zidan.
“Ambillah, aku tidak masalah. Lagipula tidak ada yang kusembunyikan. Kamu bebas membukanya, dan untuk pinnya hari pernikahan kita.”
Zidan meraih tangan Khansa lalu memberikan ponselnya, setelah itu ia kembali melingkarkan tangannya di perut Khansa.
Tidak menunggu lama, Khansa langsung membuka akunnya. Rasa penasarannya begitu besar dan tentunya tidak sabar untuk melihat hasilnya.
Ponsel yang dipegangnya terjatuh mengenai kepala Zidan setelah melihat hasil pengumumannya. Khansa tidak percaya dengan hasil yang diperolehnya.
Bagi Khansa sangat tidak mungkin, saat ini Khansa sangat sulit untuk mempercayainya.
Zidan mengeluh saat benda keras jatuh mengenai kepalanya. Ia mengusap kepalanya lalu mengambil ponsel yang dijatuhkan oleh Khansa.
“Ti-tidak…” lirih Khansa yang tidak percaya dengan hasilnya.
Air matanya sudah mengapung memenuhi kelopak matanya. Tanpa kedipan, air mata itu pasti akan jatuh mengalir membasahi pipinya.
Saat ini Zidan sudah duduk di hadapan Khansa dengan air mata mengalir. Zidan menyeka air mata Khansa yang ada di pipinya dan di pelupuk matanya.
“Kok nangis sih? Sudah kukatakan, jika usaha kami tidak akan sia-sia. Dari kecil kamu sudah sangat pandai, itulah kenapa aku sangat percaya dan yakin dengan kemampuanmu.” Zidan menangkup wajah Khansa, mengarahkannya agar melihat dirinya.
“Aku ucapkan selamat untukmu karena menjadi yang terbaik. Bahkan, semua biaya dan uang sakumu akan ditanggung. Selain itu kamu juga bergabung dalam sebuah tim desain untuk mewakili ajang perlombaan akhir semester nanti.” Zidan memberikan selamat istrinyanya yang luar biasa.
Khansa melepaskan tangan Zidan lalu memeluk Zidan dengan erat. Terima kasih karena sudah mau membantuku, Zi. Aku tidak akan melupakan semua ini, batin Khansa yang sangat berterima kasih karena sudah membantunya untuk mendapatkan beasiswa ini, batin Khansa.
“Thanks, Zi. Jika kamu tidak membantuku, mungkin aku tidak akan lolos. Metode belajarmu memudahkanku memahami semua materinya.” Khansa mempererat pelukannya di leher Zidan.
Dengan senang hati Zidan membalas pelukan Khansa dengan memeluk pinggang ramping milik Khansa.
“Tidak perlu berterima kasih, apa yang aku lakukan memang sudah seharusnya aku lakukan. Sekali lagi selamat, Sa.” Zidan mengusap surai rambut Khansa.
Khansa melepaskan pelukannya tiba-tiba, membuat Zidan merasa kecewa. Ia masih ingin berlama-lama menikmati pelukan hangat ini.
Matanya melebar sempurna saat Khansa menangkup wajahnya, apalagi jarak di antara mereka berdua juga sangat dekat.
Zidan mematung saat Khansa mengecup singkat bibirnya, lalu kembali memeluk lehernya. Hari ini Zidan dibuat kaget dengan perlakuan Khansa padanya.
“Terima kasih, Zi.”
Zidan tidak gerak sama sekali, ia masih terlalu syok karena Khansa yang menciumnya. Tidak pernah terpikirkan jika Khansa akan menciumnya.
Karena ada kesempatan, Zidan akan melakukannya dengan baik. Tidak akan ia sia-siakan kesempatan ini.
Zidan memegangi belakang kepala Khansa, perlahan membaringkan Khansa. Ia memandang Khansa yang terlihat bingung menatapnya.
“Kamu yang memulai, apakah aku boleh melakukannya lagi?” tanya Zidan yang berharap jika Khansa tidak akan menolaknya.
Tenang Sa, lagipula memang benar aku yang memulai. Jadi aku tidak akan mempermasalahkannya. Anggap saja ini bentuk terima kasihmu untuknya, batin Zidan yang meyakinkan dirinya.
Khansa menatap mata Zidan yang sejak tadi tidak sedikitpun teralihkan dari wajahnya. Zidan masih setia menunggu jawaban dan izin darinya.
keburu masalah yg datang makin ruwet malahan apa lagi ada ini itu