NovelToon NovelToon
Gadis Kecil Milik Sang Juragan

Gadis Kecil Milik Sang Juragan

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Selingkuh / Obsesi / Beda Usia / Romansa
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: PenulisGaje

Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.

Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.

Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

21. Gila Karena Cinta, atau...

"Cie... cie, yang bentar lagi mau nikah."

"Ada yang hatinya sedang berbunga-bunga tuh."

Nissa tertunduk malu.

Kalimat menggoda yang beberapa hari terakhir seringkali didengarnya itu membuatnya selalu sulit mengangkat kepala guna mendelik ataupun membalas perkataan gadis usil yang hanya terpaut usia tiga tahun saja darinya itu.

Si gadis yang selalu berpenampilan tomboy itu tak berhenti menggodanya. Bahkan ketika kedua tangannya sedang memegang baki yang terdapat beberapa gelas kopi di atasnya, gadis itu masih saja sempat untuk melempar godaan. Sejak keluar melalui pintu samping sampai kembali lagi setelah menyajikan kopi untuk beberapa orang yang bekerja membangun tenda dan pelaminan, Nissa tak berani mengangkat kepala. Godaan yang pada akhirnya menghadirkan rasa hangat di kedua pipi Nissa, hingga ia hanya bisa menunduk dan tak berani menatap pria yang duduk di sampingnya.

Suara langkah kaki gadis usil itu sudah tidak lagi terdengar seiring langkahnya menuju dapur melalui pintu samping rumah.

"Udah, Nis, abaikan saja si tukang usil itu." ucap Armand lembut. Senyum yang terus melekat di bibirnya sejak Nissa setuju menjadi istrinya itu kembali terpatri saat bisa melihat rona kemerahan yang menjalar dari pipi hingga ke leher gadis mungil yang duduk di sebelahnya itu. Rona kemerahan yang tampak cantik itu kini juga merambat ke telinga calon istrinya, sampai membuat Armand harus mengepalkan tangan demi menahan diri agar tak menyentuh telinga Nissa yang memerah.

Pendekatan mereka yang semakin mengikis jarak membuat Armand tak ingin Nissa kembali menciptakan dinding pembatas hanya karena dirinya tak bisa menahan.

Jika ada yang mengatakan bahwa Armand terlalu tua dan pantas menaruh rasa kepada gadis yang dari segi usia lebih pantas menjadi anaknya, Armand tak peduli.

Orang-orang itu boleh mengatakan apa saja tentangnya. Dan, Armand juga bukannya tak menyandari adanya omongan-omongan tak mengenakan yang membicarakan mengenai dirinya yang ingin menikahi gadis yang masih sangat belia.

Armand tak peduli. Biar lah mereka semua mengatakan apa. Asal mereka tak melibatkan Nissa di dalamnya, Armand akan bersikap masa bodoh.

"Juragan benar-benar sudah yakin mau menikah dengan saya?"

Satu pertanyaan yang diucapkan dengan suara lirih itu kembali membawa pandangan Armand ke wajah Nissa yang ditutupi oleh sedikit helaian rambutnya yang panjang.

Kepala Nissa yang masih menunduk, tangan gadis mungil itu juga tampak saling menggenggam erat di atas pangkuan, serta helaan napasnya yang terdengar berat, bisa membuat Armand dengan mudah menebak jika calon istrinya itu kembali diliputi rasa ragu.

Meski begitu, Armand tidak merasa sedih ataupun kecewa. Karena ia mengetahui alasan keraguan Nissa untuk menikah dengannya bukan karena gadis itu tidak mau menikah dengan pria setua dirinya, melainkan ada alasan lainnya.

"Saya sangat yakin, Nis." jawab Armand tanpa keraguan. Memberanikan diri meski banyak pasang mata sedang memandang serta banyak telinga yang mendengar, Armand menarik lembut tangan Nissa, membawa tangan mungil itu ke atas sebelah pahanya dan kemudian melingkupinya dalam genggaman kedua tangannya yang besar. "Kenapa suara kamu kedengaran ragu begitu? Boleh saya tau alasan di balik keraguanmu itu?"

Nissa mendadak gugup. Sejak merasakan tangannya diambil dengan lembut dan akhirnya dilingkupi dalam genggaman yang terasa hangat, tiba-tiba saja Nissa merasa jantungnya berdebar kencang.

Akibat debaran jantung yang tak biasa itu, Nissa sedikit kesulitan menelan ludah dan membutuhkan waktu sejenak untuk menenangkan diri.

Baru lah setelah merasa sedikit tenang, Nissa memberanikan diri mendongak, menoleh ke arah pria yang duduk di sampingnya itu, lalu mengatakan apa yang sedang mengganggu pikirannya. "Saya ini anak yang nggak jelas siapa bapaknya, Juragan. Bisa dibilang saya ini anak hara* karena saya nggak tau apakah ibu saya benar-benar sudah menikah secara siri dengan lelaki itu ataukah belum saat melahirkan saya. Nggak ada bukti maupun saksi yang bisa mendukung kata-kata dari mendiang ibu saya. Saya nggak mau asal usul saya nggak jelas itu malah akan membuat Juragan terus menerus jadi bahan omongan.

Nah kan...

Armand sudah menebak bahwa pikiran Nissa masih belum bisa terlepas dari asal usul kelahirannya.

Senyum tipis penuh pengertian kembali menghias bibir pria yang kembali merasakan jatuh cinta di usianya yang sudah berkepala empat itu.

Tangan yang terasa mungil dalam genggaman Armand usap perlahan, sedangkan tatapannya yang dipenuhi dengan kelembutan membalas tatapan dari sepasang mata bening yang masih diliputi oleh keraguan itu.

Perasaan Nissa yang bisa Armand lihat dengan jelas tercermin melalui kedua bola mata yang selalu berhasil membuat tatapannya tak bisa berpaling itu, membuat Armand merasa bersyukur karena Nissa bukan tipe orang yang bisa dengan rapat menyembunyikan apapun yang ada di pikirannya.

Tak ingin keraguan calon istrinya itu semakin membesar hanya karena Armand terus menatap namun tak jua memberikan jawaban, tanpa ragu Armand mengucapkan tiap kata melalui bibirnya. "Kamu tau, Nis, bagi saya asal usul seseorang nggak terlalu penting. Bahkan asal usul yang jelas dan memiliki derajat yang tinggi di masyarakat sekali pun nggak menjamin orang itu berperilaku baik. Bisa aja karena asal usul serta derajat yang tinggi malah membuat orang itu merasa lupa diri dan melakukan apa saja hingga melewati batas. Jadi, keinginan saya untuk pernikahan kedua saya ini hanyalah ingin bisa memiliki pasangan yang bisa menemani saya dalam setiap langkah. Dan mengenai masalah cinta, saya bisa bersabar sampai hatimu bisa sepenuhnya mencintai saya."

Deg...

Nissa merasa terharu. Kedua bola matanya yang jernih tampak berkaca-kaca setelah mendengar apa yang dikatakan oleh pria yang masih menggenggam tangannya itu.

"Justru sekarang saya yang merasa takut, Nis. Saya takut kamu merasa rugi atau bahkan jijik menikah dengan lelaki tua yang statusnya pernah menikah seperti saya."

Cepat Nissa menggeleng. Meski Nissa masih belum sepenuhnya mengerti mengenai apa yang dirasakannya terhadap calon suaminya, Nissa tak sedikitpun merasa rugi ataupun jijik dalam hatinya.

Yang ada justru Nissa merasa minder karena asal usulnya yang tidak jelas. Pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu bukanlah orang sembarangan. Dari pembicaraan yang tak sengaja Nissa dengar saat sang juragan berbicara dengan pengacaranya tempo hari, Nissa bisa menyadari bahwa koneksi yang dimiliki oleh calon suaminya itu pastinya sangat luas. Sampai membuat Nissa terbengong cukup lama di dapur setelah tanpa sengaja mendengar percakapan tersebut.

"Sedikit pun saya nggak pernah mikir begitu, Juragan." tutur Nissa menjelaskan apa yang ia rasakan sambil masih terus menatap sepasang mata yang tampak tajam namun selalu dipenuhi kelembutan saat berbicara dengannya itu. "Bagi saya, umur maupun status Juragan yang pernah menikah nggak pernah mengganggu saya. Malahan saya merasa senang. Karena dengan begitu, Juragan bisa membimbing saya agar bisa menjadi istri yang baik nanti."

"Saya senang kamu berpikiran begitu, Nis. Saya akan berusaha membuat hatimu cinta untuk saya sampai kamu bisa sepenuhnya 'menyerahkan' diri kepada saya." ucap Armand dengan menyimpan makna tersirat dalam perkataannya. Saat melihat calon istrinya mengangguk polos, Armand terkekeh seraya mengangkat tangan mungil itu ke depan bibirnya dan kemudian mengecup telapak tangannya yang terasa lembut saat bersentuhan dengan bibirnya yang 'mendamba'.

Nissa sendiri terpaku. Kedua matanya terus mengerjap saat merasakan telapak tangannya dikecup.

Rasa malu dengan cepat memenuhi dirinya. Hingga Nissa merasakan kedua pipinya menghangat. Namun, entah mengapa dari kecupan yang hanya terjadi selama beberapa detik itu, Nissa merasakan adanya rasa hangat yang menjalar melalui telapak tangan kanannya yang dikecup. Rasa hangat yang menjalar tersebut bahkan menimbulkan gelenyar yang tak bisa ia artikan.

****

Sementara itu, pada waktu yang bersamaan namun di tempat yang berbeda, lebih tepatnya di rumah Ika, wanita yang masih mengenakan daster itu membeliakkan mata saat membuka pintu belakang rumahnya yang diketuk, ia mendapati tamu yang tak diduga akan menemuinya.

Kedatangan sang tamu yang tak terduga dan bahkan melalui pintu belakang membuat Ika langsung bertanya-tanya mengenai alasan dibalik kedatangan tamunya itu ke rumahnya di waktu seperti ini.

Untung saja suaminya baru saja berangkat untuk mengantar kedua anak mereka sekolah. Kalau sampai suaminya itu melihat siapa yang baru saja bertandang ke rumah mereka, bisa dipastikan bahwa Ika akan kembali mendengar omelan panjang lebar yang akan membuat telinganya panas.

"Boleh aku masuk, Mbak?"

Tentu saja Ika langsung mengangguk. Dibukanya lebar pintu belakang rumahnya itu, membiarkan sang tamu masuk dan tanpa sungkan langsung duduk di kursi meja makannya yang sangat sederhana.

"Untuk apa kamu ke sini, Lis?" Ika akhirnya bersuara setelah cukup lama dilanda rasa bingung. "Bukannya kamu katanya masih 'sakit', sampai kamu jadi buah bibir di warungnya mak Ipah." ujar Ika seraya duduk di hadapan tamunya itu.

Lilis, yang menjadi tamu tak terduga itu mengangguk. Setelah mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru dapur yang juga menjadi ruang makan yang tampak sangat sederhana itu, Lilis mengarahkan pandangan kepada tuan rumah. "Aku emang masih 'sakit', mbak. Banyak suara-suara di kepalaku ini." balasnya sambil menunjuk kepalanya.

"Kalau gitu, kenapa nggak istirahat dulu di rumah sampai kamu sembuh?"

"Justru aku akan semakin gila kalau terus mendekam di rumah, Mbak. Orang tuaku itu, katanya aja mereka sayang sama aku, tapi nggak mau bertindak demi mewujudkan keinginanku."

"Maksudmu apa?" tanya Ika tak mengerti.

"Mereka tau aku pengen banget jadi istrinya mas Armand. Tapi sampai sekarang, saat pernikahan mas Armand dengan anak lont* itu udah di depan mata, mereka cuma bisa diam sambil terus menangisi anak mereka yang mengamuk sambil berurai air mata."

"Tapi, Lis, kenapa kamu nggak coba rela'in aja juragan Armand. Dari tindakkan yang nggak pernah menggubrismu, itu semua udah nunjukkin kalau dia nggak mencintai kam... "

"MAS ARMAND CINTA SAMA AKU, MBAK." suara Lilis terdengar menggelegar. Pancaran matanya menyorot tajam, seakan siap mencekik wanita yang tubuhnya sempat terlonjak itu. "Kalau bukan karena anak pelac*r itu tiba-tiba muncul, udah pasti mas Armand akan menikahiku. Dari semenjak kami dikenalkan dulu, aku tau kalau dia itu sebenarnya ada hati buatku, cuma malu aja buat ngakuinnya." tambahnya lagi dengan nada suaranya yang mulai bisa sedikit tenang.

"Lis... " nada suara Ika terdengar bergetar. Ketakutan jika Lilis mengamuk membuatnya menyesali kenapa suaminya tidak berada di rumah. "Lal... lalu, apa yang mau kamu lakukan sekarang?" Ika memberanikan diri bertanya.

"Aku mau anaknya pelac*r itu hancur. Aku mau mas Armand natap dia jijik dan bahkan ngusir dia dari rumah ibunya.

"Maksudmu?"

"Ini... " Lilis meletakkan sebuah kantong klip plastik berukuran kecil, yang didalamnya terdapat dua butir obat. "Mbak Ika harus bantuin aku untuk menghancurkan perempuan pembawa sial itu."

"In... ini, mak... maksudnya gimana?" Ika merasa jantungnya berdebar tak karuan. Rasa takut semakin kuat ia rasakan saat melihat sorot mata Lilis yang tampak menakutkan.

"Ini obat perangs*ng." Lilis mulai menjelaskan rencananya. "Aku mau mbak Ika nemuin para pemabuk yang biasanya nongkrong di ujung desa. Bilang mbak akan membayar mereka mahal jika mereka mau melaksanakan 1 pekerjaan dari mbak. Kasih tau sama mereka buat nunggu di ujung desa dan pastikan kalau mereka udah benar-benar mabuk. Begitu mereka ngeliat ada perempuan lewat di sana, langsung libas aja. Cekokin dulu obat ini ke dalam mulut perempuan itu sebelum mulut perempuan itu disumpal supaya nggak bisa teriak. Aku mau para pemabuk itu menggilir perempuan itu tanpa ampun. Setelahnya, itu terserah mereka. Mau mereka buang atau masih mau dipakai, aku udah nggak peduli."

"Tapi, Lis... " napas Ika tersendat-sendat. Rencana Lilis untuk menghancurkan saingan cintanya membuat Ika merinding saat mendengarnya.

"Mbak Ika tenang aja." Lilis terkekeh sendiri. "Buat mbak Ika pasti ada imbalannya kok. Kalau rencana ini berhasil, aku kasih mbak Ika 2 juta sebagai imbalannya."

Sontak saja kedua mata Ika langsung berbinar antusias begitu mendengarkan imbalan yang akan didapatkannya jika ia mau membantu melancarkan rencana gila gadis yang duduk di hadapannya itu.

Jika sudah membicarakan uang, Ika tak lagi memikirkan rasa takutnya.

Sejurus kemudian, binar antusias tersebut meredup saat teringat bahwa masih ada yang mengganjal di hatinya. "Tapi, gimana kita bisa mancing perempuan itu ke sana, Lis? Juragan Armand pasti nggak bakalan biarin dia pergi kemana-mana."

"Untuk hal itu, mbak Ika tenang aja." kembali Lilis terkekeh tanpa alasan. Sorot matanya tampak seperti orang yang sudah kehilangan akal saat kembali berkata, "Aku udah berhasil memegang titik kelemahan salah satu temannya Lala. Menggunakan temannya itu, aku yakin rencanaku pasti berhasil. Jadi, mbak Ika cukup menuruti semua perintahku. Mengenai dananya, besok aku datang lagi ke sini untuk memberikan bayaran buat mbak Ika dan bagian para pemabuk itu."

Ika tak lagi mengatakan apa-apa. Bahkan setelah Lilis pergi, ibu dua anak yang masih mengenakan daster itu malah sibuk memikirkan akan membeli apa saja dengan uang yang didapatkannya dari Lilis nanti.

1
Ana Umi N
lanjut kak
y0urdr3amb0y
Wuih, penulisnya hebat banget dalam menggambarkan emosi.
Alucard
love your story, thor! Keep it up ❤️
PenulisGaje: makasih udah mau mampir dan baca cerita saya 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!