Aku ingin kebebasan.
Aku ingin hidup di atas keputusanku sendiri. Tapi semua itu lenyap, hancur… hanya karena satu malam yang tak pernah kusangka.
“Kamu akan menikah, Kia,” kata Kakek, dengan suara berat yang tak bisa dibantah. “Besok pagi. Dengan Ustadz Damar.”
Aku tertawa. Sebodoh itu kah lelucon keluarga ini? Tapi tak ada satu pun wajah yang ikut tertawa. Bahkan Mamiku, wanita modern yang biasanya jadi pembelaku, hanya menunduk pasrah.
“Dia putra Kiyai Hisyam,” lanjut Kakek.
“Lulusan Kairo. Anak muda yang bersih namanya. Cermin yang tepat untuk membasuh aib keluargamu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 22
Setelah pertemuan ditutup dan semua relasi sudah berpamitan, Kia berdiri di depan cermin kecil dekat lift hotel. Ia membetulkan letak hijabnya, lalu menatap refleksi dirinya sendiri. Tak ada lagi gadis liar yang dulu gemar adu gas di jalanan, tak ada lagi sosok yang sering naik ke podium Dojo Black Eagle hanya untuk membuktikan dirinya tak butuh pengakuan siapa pun.
Yang terlihat sekarang adalah perempuan muda, berusia dua puluh tiga jalan dua puluh empat, mengenakan jas formal dan sepatu kulit, membawakan nama besar perusahaan milik keluarganya dengan wibawa yang tidak dibuat-buat.
Fajar mendekat sambil membawa map tambahan.
“Bu Kia,” panggilnya pelan, “tadi Pak Rinaldi dari Bandung sempat bisik ke saya, katanya beliau nggak nyangka Ibu masih semuda ini.”
Kia mengangkat alis. “Terus kamu bilang apa?”
“Saya jawab aja, ‘Bu Kia kalau kerja nggak pernah bawa umur, Pak. Yang dibawa cuma akal dan arah’.”
Kia tertawa pelan, lalu menepuk bahu asistennya.
“Bagus, Jar. Kamu ngerti caraku kerja.”
Sebenarnya, siapa pun yang baru pertama kali kenal Kia pasti akan terkecoh. Mereka hanya lihat penampilannya yang anggun, suaranya yang lembut, caranya bicara yang terukur. Padahal di balik semua itu, ada bekas-bekas kebebalan, keberanian, dan luka yang tak pernah ia tunjukkan ke siapa pun.
Ia dulu bar-bar, bukan karena ia ingin terlihat kuat. Tapi karena ia sering merasa tak punya pilihan selain terlihat tak butuh siapa-siapa.
Tapi sekarang, dunia kerjanya jadi ruang untuk membuktikan hal lain. Bahwa Kia Eveline Kazehaya bukan cuma cucu dari pemilik MK Corp.
Ia adalah pemimpin yang berdiri dengan kakinya sendiri. Usia mudanya bukan alasan untuk diragukan, justru jadi kekuatan yang membuatnya lebih cepat berpikir dan bertindak.
Semua orang di kantor tahu, Kia mungkin perempuan, tapi soal keputusan, ia tak pernah setengah hati. Ketika memimpin rapat, ia bicara tenang tapi tegas.
Saat memberikan saran, ia tak peduli posisi atau gelar. Dan saat ada yang melanggar prinsip, ia tak segan memanggil langsung ke ruangannya.
Tapi satu hal yang selalu membuat orang menghormatinya yaitu ia adil. Tak pandang siapa. Tak terpengaruh hubungan pribadi. Bahkan asisten dan sekretarisnya sendiri tak pernah mendapat keistimewaan lebih.
“Put, besok kita meeting jam sembilan ya. Tapi kamu jangan telat. Nggak ada alasan lembur semalam atau macet. Siapin bahan malam ini, aku nggak mau masuk ruangan besok dalam keadaan buta info,” katanya tanpa meninggikan suara.
Putri hanya mengangguk. “Siap, Bu. Saya ngerti maksud Ibu.”
Di hadapan semua itu, sisi tomboy Kia, sisi keras kepala dan liar yang dulu membuat banyak orang salah paham, kini justru tersembunyi rapat di balik profesionalismenya.
Ia tetap Kia yang suka kecepatan dan tantangan. Tapi sekarang, ia bukan cuma memacu motor di jalan kosong. Ia memacu ide dan strategi di ruang-ruang yang diisi orang-orang jauh lebih tua darinya.
Dan yang paling menakjubkan tak satu pun dari mereka bisa melihat bahwa di balik semua ketegasan itu, ada seorang istri muda yang diam-diam mulai belajar jadi lebih lembut hanya karena satu pria nyeleneh yang setiap pagi meninggalkan memo kecil penuh kasih di meja makan.
Langkah Kia baru saja menyentuh marmer lobi hotel ketika matanya menangkap sosok yang tak asing. Detik itu juga tubuhnya seolah membeku.
Beberapa meter di depannya, berdiri seorang pria berkemeja putih bersih yang digulung rapi di lengan, dasi slim hitam menghias lehernya, dipadukan jas abu yang dipakai santai, dengan jam tangan klasik di pergelangan kirinya.
Sepatu kulit cokelat muda yang terawat mengilap, postur tegak, mata yang tajam namun tenang, dan gaya berjalan yang tak asing Kia nyaris tidak percaya.
Itu suaminya.
Itu Ustadz Damar.
“Ya Allah...,” gumam Kia pelan, nyaris tak terdengar.
Dadanya terasa penuh. Bingung. Kagum. Campur jadi satu. Ia mengira sedang salah lihat. Tapi tidak. Pria itu berjalan tenang, sesekali berbicara dengan pria bule dan seorang wanita berhijab dalam bahasa Inggris yang sangat fasih, diiringi senyum tipis yang Kia kenal betul.
“Mas... Damar?” ucap Kia lirih, seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Kia refleks menoleh ke arah Putri di sampingnya, lalu membisik, “Itu suamiku, bukan sih?”
Putri ikut menoleh, lalu mengangguk pelan, tampak bingung juga. “Iya, Bu. Tapi itu gaya CEO banget. Saya pikir beliau cuma ustadz yang ngajarin kitab sama ceramah pagi.”
Kia menunduk sejenak, berusaha mengatur napas. Ingatannya langsung melayang ke satu minggu yang lalu, saat ia iseng menyodorkan nama suaminya untuk menggantikan dirinya memimpin rapat darurat dengan relasi dari Inggris hanya karena ia kesal melihat Damar terlalu tenang hidupnya.
“Mas, ikut aku ke Jakarta, please. Ada meeting sama partner dari UK. Aku capek. Gantian dong.”
“Loh, aku bukan siapa-siapa di kantor kamu, Ki.”
“Justru itu. Aku pengin tahu kalau kamu diadu sama bos-bos luar, kamu bisa atau panik. Kan ustadz. Bukan pebisnis.”
Damar saat itu hanya tersenyum ringan, lalu menjawab santai,
“Kalau buat kamu, aku usahain.”
Kia pikir saat itu hanya permainan. Ia bahkan sempat membocorkan isi meeting, hanya untuk memastikan suaminya nggak kelabakan. Tapi ternyata…
Hari ini, dia melihat pria itu bukan lagi sekadar ustadz yang berdiri di mimbar kecil dan membacakan tafsir subuh. Damar sedang berdiri di antara eksekutif dunia bisnis dengan bahasa tubuh yang matang dan meyakinkan, layaknya pemimpin perusahaan.
Ia bukan cuma bisa menasihati, tapi juga bisa memimpin.
Damar pun melihat ke arahnya. Pandangan mereka bertemu. Namun pria itu hanya tersenyum kecil, mengangguk sopan dari jauh, lalu kembali melanjutkan langkahnya bersama rombongan kecil itu.
Tanpa drama tanpa sok akrab. Kia tertegun. Tangannya masih menggenggam tas kerja, tapi matanya enggan berpaling.
Putri berbisik, “Bu... ternyata suami Ibu ini bukan ustadz biasa, ya?”
Kia menoleh pelan. Senyum tipis muncul di wajahnya.
“Nggak pernah biasa, Put... cuma aku aja yang terlalu ngeremehin.”
Ia menarik napas panjang, lalu membalikkan badan, menatap lagi sosok pria yang semakin menjauh, tapi meninggalkan decak kagum yang tak terucap.
Di dalam dada Kia, ada kekaguman baru yang tumbuh diam-diam. Ternyata lelaki yang ia nikahi karena dijodohkan itu punya sisi-sisi yang belum ia kenal dan justru itulah yang membuatnya semakin sulit untuk tidak jatuh hati.
Dengan senyum jahil yang ditahan-tahan, Kia menatap suaminya yang sedang menikmati suapan terakhir makan malam. Tangan kirinya menopang dagu, sementara tangan kanannya memainkan sendok.
“Mas Ustadz,” katanya tiba-tiba.
Damar yang sedang mengunyah langsung mengangkat wajah, menoleh. “Iya, kenapa, Sayang?”
“Temanin aku malam ini ke dojo, ya. Udah lebih dua mingguan aku nggak latihan,” ucap Kia sambil mengedipkan satu matanya nakal.
Damar diam sesaat, meletakkan sendoknya perlahan, lalu menatap istrinya dengan ekspresi campur aduk antara heran, pasrah, dan geli.
“Dojo? Sekarang?” gumamnya.
Kia langsung mengangguk mantap. “Iya dong. Sekarang kan kamu udah beres kerja, udah nggak ada jadwal tausiyah juga. Lagian, aku kangen nendang-nendang samsak. Kamu temenin ya jadi pelampiasan jurus juga boleh,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Damar menghela napas, lalu menyandarkan punggung ke kursi. “Masya Allah istri siapa ini, bar-bar tapi shalihah,” katanya setengah geli.
“Ya istri kamu lah,” seru Kia, meninju pelan lengan suaminya.
“Baiklah, nanti Mas ganti baju dulu ya. Tapi jangan salahin Mas kalau di dojo kamu yang tumbang duluan,” imbuh Damar sambil berdiri.
Kia tertawa puas. “Deal. Tapi inget, di sana aku bukan istri kamu, aku rival tandingmu. Jadi jangan manja, jangan ngeluh.”
Damar mengangguk. “Oke, tapi satu syarat,” katanya sambil memandang serius.
“Apa tuh?” tanya Kia penasaran.
“Kalau nanti kamu kalah, kamu harus nyanyi lagu nasyid satu album pas kita pulang.”
“Waduh... curang! Tapi oke, aku terima tantangan itu,” jawab Kia mantap.
Dan malam itu, langit Jakarta menjadi saksi bagaimana seorang CEO muda yang bar-bar dan ustadz yang bersahaja menjadi partner sparing sekaligus partner dalam cinta berdua di dalam dojo, berdua juga dalam tawa dan peluh yang menyejukkan.
kia ni ustadz bukan kaleng" kia jdi ngk udah banyak drama 🤣🤣🤣🤣