Tiga tahun Arunika rela menjadi istri yang sempurna. Ia bekerja keras, mengorbankan harga diri, bahkan menahan hinaan dari ibu mertua demi menyelamatkan perusahaan suaminya. Namun di hari ulang tahun pernikahan mereka, ia justru dipaksa menyaksikan pengkhianatan paling kejam, suami yang ia cintai berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
Diusir tanpa belas kasihan, Arunika hancur. Hingga sosok dari masa lalunya muncul, Rafael, pria yang dulu pernah dijodohkan dengannya seorang mafia yang berdarah dingin namun setia. Akankah, Rafael datang dengan hati yang sama, atau tersimpan dendam karena pernah ditinggalkan di masa lalu?
Arunika menyeka air mata yang mengalir sendu di pipinya sembari berkata, "Rafael, aku tahu kamu adalah pria yang kejam, pria tanpa belas kasihan, maka dari itu ajari aku untuk bisa seperti kamu!" tatapannya tajam penuh tekad dan dendam yang membara di dalam hatinya, Rafael tersenyum simpul dan penuh makna, sembari membelai pipi Arunika yang basah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. undangan
Mobil hitam itu berhenti di halaman depan mansion Arummuda yang megah. Marco turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Arunika. Namun sebelum ia bisa bicara, Arunika menoleh, menatap lurus ke arahnya.
“Terima kasih sudah mengantarku, Marco. Sekarang … kau boleh kembali ke Pentronas. Di sini, aku aman dan ini juga rumahku,” ucapnya mantap, meski ada getar halus di ujung suaranya.
Marco sempat ragu, alisnya berkerut. Namun tatapan dingin Arunika cukup untuk meyakinkannya, lalu ia pun mengangguk singkat.
“Baik, Nyonya. Tapi jika ada apa-apa, hubungi saya segera.”
Arunika hanya memberi senyum samar, lalu melangkah masuk melewati pelayan-pelayan yang membungkuk hormat. Marco menatap punggungnya sebentar, sebelum berbalik dan pergi.
Lorong panjang itu terasa sepi, hanya langkah sepatu Arunika yang terdengar di marmer dingin. Hatinya berdebar tak karuan. Ia mencari sosok yang ingin dia temui, sekaligus yang saat ini dia takutkan, ayahnya, Roman Arummuda.
“Dimana Ayahku?” tanyanya pada seorang pelayan tua yang berjalan menghampiri.
Pelayan itu menunduk sopan, suaranya bergetar.
“Maaf, Nona muda … Tuan sedang ada urusan penting di luar. Beliau berpesan, jika Anda pulang, istirahatlah dulu. Tuan akan menemui Anda nanti malam.”
Arunika menghela napas panjang, rasa lega dan juga sedikit kecewa menusuk dadanya. Dia melangkah ke ruang keluarga, berharap menemukan sedikit kehangatan dari rumah yang dulu ia tinggalkan. Namun yang menyambutnya justru sebuah meja mahoni, dengan selembar undangan merah muda tergeletak manis di atas nampan perak. Tatapan Arunika langsung jatuh pada nama yang tercetak anggun dengan tinta emas.
Ardian Pratama & Shila.
Dua nama itu membuat alis Arunika berkerut dan disertai senyum yang sinis. Namun bagi Arunika, itu sudah cukup untuk membaca permainan busuk yang sedang disusun Shila. Senyum tipis kembali muncul di wajahnya, senyum yang lebih mirip kilatan pisau.
“Shila … kau benar-benar pandai menipu. Kau berani mengirim undangan ke kediaman Arummuda, kau berharap orang percaya kalau kau itu Nona muda dari keluarga ini? Lucu sekali Anda," gumam Arunika sembari melihat undangan tersebut.
Tangannya mengambil undangan itu dengan hati-hati, seperti menyimpan bukti kejahatan yang berharga. Ia menggenggam erat, seakan berjanji dalam hati untuk membongkar kebohongan itu di saat yang tepat.
Langkah pelan terdengar mendekat. Seorang pelayan muda membungkuk, lalu berbisik dengan sopan.
“Nona … Tuan Zhilo baru saja kembali dari rumah sakit, setelah menjemput Tuan muda Archilo. Mereka sedang berada di sayap timur.”
Arunika terdiam sejenak, jantungnya berdetak lebih cepat. Nama-nama itu tidak asing, tapi juga penting. Ada sesuatu yang sedang bergerak di dalam keluarga ini, dan ia tahu, cepat atau lambat ia harus ikut masuk dalam pusarannya. Tangannya meremas undangan merah muda itu lebih erat, sementara senyum samar di bibirnya makin melebar.
Beberapa jam telah berlalu.
Ruang keluarga Arummuda sore itu sepi, hanya suara detik jam antik yang menggema. Arunika berdiri tegak di dekat meja panjang, tatapannya menusuk lurus ke arah Zhilo, pamannya yang sejak tadi duduk santai di kursi kulit, dengan segelas anggur merah di tangan.
Di sudut ruangan, Archilo masih tampak pucat, duduk bersandar dengan selimut menutupi kakinya. Bekas kejadian tempo hari ketika ia hampir meregang nyawa karena sop yang seharusnya untuk orang lain, masih membekas jelas di wajahnya.
Arunika melangkah mendekat, suaranya tenang tapi dingin.
“Lucu sekali … racun itu ternyata jatuh ke mangkuk milik Archilo. Bukankah seharusnya tidak begitu, Paman?”
Kata-kata itu bagai panah yang meluncur tepat ke dada Zhilo. Senyum tipis yang tadi menghiasi bibirnya hilang seketika, berganti tatapan tajam penuh amarah.
“Berhati-hatilah dengan ucapanmu, Arunika,” desisnya rendah, namun sarat ancaman. “Jangan coba-coba menuduhku tanpa bukti.”
Arunika menyilangkan tangan di dada, matanya tak beranjak dari wajah pamannya.
“Kalau bukan kau, lalu siapa lagi yang memiliki akses di meja makan keluarga? Atau kau pikir aku begitu bodoh untuk tidak membaca arah permainanmu?”
Zhilo meletakkan gelas anggurnya dengan hentakan kecil dan sorot matanya kini menyala.
“Jangan pernah merasa bangga hanya karena kau sudah kembali ke rumah ini. Kau pikir semua orang benar-benar merindukanmu? Tidak, Arunika. Kehadiranmu justru membuat banyak orang muak. Kau hanya beban, pengganggu, dan … ancaman.”
Arunika mengerjapkan mata sekali, lalu tersenyum dingin.
“Apa salahku, Paman? Karena aku terlahir sebagai putri sah keluarga Arummuda? Karena aku bukan kau … yang hanya bisa hidup dari bayang-bayang Ayahku?”
Zhilo terdiam sejenak, lalu tertawa pendek dan tawa yang terdengar lebih seperti ejekan. Ia mencondongkan tubuh, menatap Arunika seolah ingin menusuk hatinya dengan kata-kata.
“Ada satu hal yang bahkan kau sendiri tidak tahu, Arunika. Sesuatu yang akan membuatmu runtuh … ketika kau akhirnya mendengarnya.”
Mata Arunika melebar. Ada kegelisahan sesaat, tapi ia buru-buru menutupinya dengan senyum menantang.
“Berkatalah sepuasmu, Paman. Tapi jangan kira aku akan terpengaruh dengan bisikan ular sepertimu.”
Ketegangan semakin pekat, hampir membuat udara di ruang keluarga itu sesak. Archilo hanya diam, menyeringai samar, menikmati perseteruan itu seolah menonton panggung drama. Namun, tiba-tiba suara berat dan berwibawa memecah udara.
“Arunika.”
Semua kepala menoleh. Dari pintu besar, Roman berdiri tegak, jas hitamnya rapi, sorot matanya menusuk, penuh wibawa. Sekejap suasana hening. Bahkan, Zhilo tak berani menyela, rahangnya mengeras menahan emosi. Arunika pun menoleh, dan senyum samar penuh kelegaan tersungging di bibirnya. Kehadiran Roman membuat perseteruan itu terhenti, untuk sementara. Namun jelas, bara di antara Arunika dan Zhilo belum padam.
"Zhilo, apa kau terlalu santai? Hingga perusahaan dapat ancaman dari luar saja kau tidak tahu. Jika kau tidak becus bekerja kau bisa mengundurkan diri," kata Roman, ucapan itu membuat Zhilo tak senang.
"Kalau ayah butuh seseorang untuk membantu perusahaan Aku bisa, Ayah. Aku bisa membantu paman juga," ucap Arunika, hal itu membuat Roman dan Zhilo terkejut. Sejak dulu Arunika tak tertarik pada perusahaan. Tetapi, hari ini mendadak dia ingin terlibat.
"Tapi, sayang ... apa kau tidak salah? Dulu kau menolak saat ayah tempatkan di bagian direktur. Kini kau memintanya langsung?" tanya Roman, tangannya terulur merangkul putrinya.
"Aku ingin dibagian Direktur utama, Ayah. Apa aku bisa menggantikan paman? Aku rasa paman udah saatnya untuk pensiun," ujar Arunika sembari berbalik dan menatap Zhilo dengan senyuman sinis. Tangan Zhilo terkepal, hal itu membuat rahangnya mengeras.
"Kalau kamu ingin sekali bekerja. Ayah bisa menempatkan kamu langsung di bagian manager proyek. Kau bisa bekerja sama dengan Archilo," tukas Roman. Arunika ingin menolak tetapi takut semua orang curiga pada rencananya.
Di sisi lain.
Ruang bawah tanah kediaman Pentronas berbau besi, darah, dan asap rokok. Lampu gantung berayun pelan, menyinari lantai semen yang basah. Rafael berdiri tegak di tengah ruangan, sarung tangannya sudah dilepas, jemari panjangnya masih berlumuran merah. Ia mengeluarkan sapu tangan berwarna merah darah dari saku jas, lalu menyeka tangannya perlahan. Gerakannya tenang, nyaris anggun, seolah bercak darah itu hanyalah noda kecil tak berarti.
Marco melangkah masuk, wajahnya tenang tapi matanya waspada. Ia mendekat, menunduk, lalu membisikkan sesuatu di telinga Rafael.
“Tuan … Nyonya Arunika kembali ke kediaman Arummuda.”
Tatapan Rafael langsung menajam. Asap rokok yang baru saja ia embuskan berhenti separuh jalan. Rahangnya mengeras, garis bibirnya menipis.
Di balik jeruji besi, terdengar suara parau, serak, penuh amarah.
“Lepaskan aku! Dasar iblis! Kau akan menyesal, Rafael Pentronas!”
Sosok wanita tua tampak samar dalam gelap, rambutnya kusut berantakan, wajahnya tak jelas terlihat, namun tatapan matanya menyala penuh dendam. Suaranya menggema di ruang bawah tanah itu, tapi Rafael tak menoleh sedikit pun.
Satu kalimatnya dingin, pelan, tapi menusuk.
“Bisu saja lebih baik untukmu.”
Wanita tua itu terdiam, hanya terisak dalam kegelapan. Marco kembali berbicara, kali ini lebih pelan, seakan takut memecah kesunyian yang mencekam.
“Saya juga mendengar semua percakapan di rumah Arummuda, Tuan. Dari jam tangan yang Anda berikan padanya … alat sadap itu bekerja sempurna.”
Rafael menyalakan rokok lain, menghirupnya dalam-dalam. Tatapannya kini kosong, tapi api kecil di matanya membara.
“Teruskan awasi dia. Aku ingin tahu setiap napas yang keluar dari mulutnya.”
Malam merambat pelan di kediaman Arummuda. Arunika duduk di sisi ranjangnya, masih mengenakan gaun panjang. Jemarinya memainkan jam mewah yang melingkar di pergelangannya, hadiah dari Rafael. Namun semakin lama ia menatap, hatinya diliputi kecurigaan. Ada sesuatu yang tidak wajar. Detik jam itu terasa terlalu keras.
Arunika mengerutkan kening, lalu melepasnya. Ia membalik jam itu di telapak tangannya. Dan ketika matanya menangkap sebuah celah kecil di sisi mesin, senyumnya kecut.
“Alat sadap … rupanya begitu caramu, Rafael.”
Dengan langkah cepat ia masuk ke kamar mandi. Jam itu dilemparkannya ke dalam kloset. Seketika bunyi plung terdengar, lalu Arunika menekan tombol siram. Air berputar, menelan jam itu ke dalam gelap. Arunika berdiri di depan cermin, menatap bayangan dirinya sendiri dengan mata yang penuh tekad.
“Sekecil apa pun barang darimu adalah senjata. Mulai sekarang … aku harus lebih berhati-hati.”
Dia menyentuh bibirnya yang masih tampak bekas merah Rafael malam itu. Getir, marah, dan rasa takut bercampur menjadi satu. Tapi dalam sorot matanya, ada satu hal yang lebih kuat dari semua itu, niat untuk tidak kalah.
Salam sehat ttp semangat... 💪💪😘😘
Salam kenal Thor.. 🙏🏻
mikir nihh