**(anak kecil di larang mampir)**
Di tengah kepedihan yang membungkus hidupnya, Nadra mulai menjalani hari-hari barunya. Tak disangka, di balik luka, ia justru dipertemukan dengan tiga pria yang perlahan mengisi ruang kosong dalam hidupnya.
Arven, teman kerja yang selalu ada dan diam-diam mencintainya. Agra, pria dewasa berusia 40 tahun yang bersikap lembut, dewasa, dan penuh perhatian. Seorang duda yang rupanya menyimpan trauma masa lalu.
Dan Nayaka, adik Agra, pria dewasa dengan kepribadian yang unik dan sulit ditebak. Kadang terlihat seperti anak-anak, tapi menyimpan luka dan rasa yang dalam.
Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Nadra dan ketiga pria itu berubah menjadi lingkaran rumit perasaan. Mereka saling bersaing, saling cemburu, saling menjaga namun, hati Nadra hanya condong pada satu orang: Agra.
Keputusan Nadra mengejutkan semuanya. Terutama bagi Nayaka, yang merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya, kakaknya sendiri dan wanita yang ia cintai diam-diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahri musdalipah tarigan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. OM NIKAH, YUK!
Waktu sudah semakin larut. Langit malam tampak kelam, hanya diterangi sisa-sisa lampu pasar malam yang mulai redup. Udara dingin perlahan menyusup, menyadarkan bahwa hari telah menua.
Agra menepuk pelan bahu Razan. "Aku duluan, ya. Makasih udah gak bikin keributan di depan stand bando."
Razan terkekeh, "Aku kasihan aja sama anak-anak kecil yang ngelihat kita. Takut mereka trauma."
Raline tersenyum hangat ke Nadra. "Hati-hati ya pulangnya."
Nadra membalas sopan, "Terima kasih, kak Raline. Sampai jumpa lagi."
Mereka berpisah di area parkir. Agra dan Nadra masuk ke mobil mereka, sementara Razan dan Raline berjalan ke arah mobil Mobilio warna kuning milih mereka. Ketika mesin mobil Agra menyala dan melaju perlahan meninggalkan area parkir, mobil Razan menyusul dari belakang. Sebelum benar-benar berpisah di pertigaan jalan keluar, terdengar bunyi klakson dua kali sebagai salam perpisahan.
Agra melambaikan tangan melalui kaca spion, Razan membalas, dan setelah itu jalan kembali sunyi.
👩❤️👨👩❤️👨👩❤️👨
Di dalam mobil Razan, hening sejenak. Raline menatap ke arah kaca depan, lalu membuka suara dengan pelan, hampir seperti berbisik, "Tadi itu, Nadra ya? Anak yang kedua orang tuanya meninggal secara sadis?"
Razan tak langsung menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, pandangannya lurus ke jalanan malam yang sepi. Lampu mobil menerangi aspal di depan mereka, tapi hatinya terasa berat.
Raline menarik napas, suaranya terdengar sedikit cemas, "Aku dengar cerita itu dari media sosial, dan karyawan di kantor yang sering membahasnya. Tapi aku gak nyangka kalau gadis itu, adalah Nadra."
"Aku juga awalnya gak percaya," ujar Razan, suaranya rendah. "Tapi itu benar. Kasus itu cukup bikin geger beberapa bulan lalu. Dan Nadra, dia masih polos untuk mengetahui hal itu."
Raline menggigit bibir bawahnya, matanya berkaca-kaca. "Agra tahu?"
Razan menggeleng pelan. "Aku gak yakin. Tapi kalau dia tahu, aku gak tahu gimana reaksi keluarganya nanti. Apalagi nyokapnya. Kamu tau sendiri, Bu Marlina bukan tipe orang yang bisa menerima masa lalu orang lain dengan mudah."
Raline memejamkan mata sesaat. "Kasihan anak itu. Dia kelihatan manis, sopan, dan polos. Tapi masa lalunya terlalu kejam."
"Makanya," bisik Razan, lebih pada dirinya sendiri. "Aku cuma bisa berharap Agra gak gegabah."
"Dan jangan sampai Nadra yang kena imbasnya," sambung Raline, kini memandang suaminya serius. "Karena anak seperti Nadra gak pantas menanggung luka dua kali."
Raline menatap wajah suaminya sekilas, lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela. Di balik kaca mobil yang sedikit berembun, lampu-lampu jalan tampak berlari mundur, seperti kenangan yang enggan tinggal.
Suara Raline terdengar pelan, tapi jelas. "Sebenarnya, Agra dan Nadra sama-sama punya masa lalu yang kelam."
Razan melirik istrinya, diam, membiarkan Raline melanjutkan. "Agra tumbuh dengan orang tua yang gila status. Ibunya selalu menuntut kesempurnaan. Semuanya harus sesuai rencana, harus membanggakan. Bahkan pernikahan pun dijadikan ajang pencitraan." Raline menarik napas sebentar, lalu menatap lurus ke depan. "Dan Agra pernah gagal membangun rumah tangga."
Razan mengangguk pelan. "Aku tahu itu," gumamnya.
"Sedangkan Nadra," suara Raline mulai tercekat, sukar dilanjutkan. Jemarinya menggenggam rok panjangnya erat. "Aku nggak bisa bayangkan, bagaimana seorang gadis seusianya bisa menjalani hidup setelah tragedi itu."
Razan diam, sorot matanya sayu. Ia tahu apa yang ingin dikatakan Raline.
"Almarhum Ayahnya gila judi, mengabiskan uang, memukul ibunya, menyiksa, dan pada akhirnya," Raline menunduk, menutup mulutnya sejenak. "Dia membu"nuh istrinya. Lalu gantung diri."
Hening menyelimuti kabin mobil mereka.
Razan menoleh, tangannya terulur menggenggam jemari Raline yang dingin. "Aku ngerti maksud kamu. Kamu takut luka mereka akan saling bertabrakan."
Raline mengangguk pelan.
"Tapi mungkin, justru karena mereka sama-sama terluka, mereka bisa saling menyembuhkan," ucap Razan tenang. "Kalau mereka tulus."
Raline menoleh padanya. "Kita doakan yang terbaik untuk mereka, ya?"
Razan mengangguk, lalu tersenyum kecil. "Iya. Kita doakan semoga mereka gak saling menjatuhkan, tapi justru saling menopang."
Raline membalas senyum suaminya, meski matanya masih menyimpan awan kekhawatiran. Mobil pun terus melaju membelah malam. Di luar jendela, cahaya-cahaya kota masih bersinar, seolah ikut mendoakan dua jiwa yang mencoba bertahan dalam dunia yang tak selalu berpihak pada kelembutan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
💋Sementara itu, di dalam mobil Agra.💋
Lampu jalan berkelebat perlahan di kaca depan, membias bersama cahaya remang yang menyelimuti kabin. Agra sesekali melirik ke arah kursi sebelah, memperhatikan Nadra yang duduk termenung, wajahnya menempel pelan di jendela mobil. Tatapannya kosong, seolah pikirannya sedang menjelajah tempat yang jauh, atau mungkin masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.
Agra menggenggam erat kemudi, lalu membuka suara dengan pelan, hati-hati. "Maaf, ya soal Razan. Dia memang kadang mulutnya suka seenaknya." Suara Agra pelan, nyaris seperti gumaman, namun cukup terdengar di ruang sempit itu. "Aku tahu dia tampak nyinyir, tapi sebenarnya dia nggak bermaksud buruk."
Nadra tidak langsung menjawab. Hanya desahan napasnya yang terdengar, lembut dan berat. Beberapa detik kemudian, dari balik bayangan kaca, terdengar suaranya datar, seperti tanpa emosi. "Om, menurutmu, aku bisa nggak punya rumah yang bahagia?"
Pertanyaan itu membuat jantung Agra seperti diremas. Ia menoleh sejenak, terkejut oleh kesunyian nada itu, juga luka yang terselip di dalamnya.
Ia tak langsung menjawab. Pertanyaan itu terlalu berat, bahkan untuk dirinya sendiri. Karena di balik tampilan tenang dan rapi yang selalu ia bawa, Agra tahu bahwa dirinya juga hancur. Ia pernah gagal. Pernah berharap, lalu kecewa. Ia sendiri tidak tahu apakah rumah yang bahagia itu nyata, atau hanya mitos dalam cerita dongeng.
Nadra melanjutkan, suara gadis itu kini bergetar pelan. "Tapi, kayaknya itu cuma mimpi, ya. Lihat aku sekarang." Ia menghela napas. "Gadis miskin, nggak punya siapa-siapa. Masa lalu keluargaku, almarhum ayahku menciptakan aib yang gak akan bisa hilang meski aku mandi air suci sekalipun." Lalu Nadra menyambung, dengan kalimat yang membuat dada Agra terasa sesak. "Aku ini noda, Om. Luka. Mungkin kalau aku jadi rumah, tak ada satu pun orang yang ingin menetap di dalamnya. Mereka cuma akan mampir, lalu pergi dengan jijik."
Agra sontak menoleh, wajahnya pucat oleh keterkejutan. "Nadra " ucapnya lirih. Ia tak menyangka, Nadra menyimpan luka sedalam itu. Kalimatnya seperti pisau, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga menancap di hati siapa pun yang mendengarnya.
Agra menoleh, ia menatap Nadra penuh kesungguhan. "Dengar," katanya dengan suara yang lebih tegas, namun tetap lembut. "Jangan pernah bilang kamu itu noda. Kamu bukan luka yang menjijikkan."
Nadra menoleh pelan. Matanya berkaca-kaca.
"Kamu hidup. Kamu bertahan. Dan itu, itu udah lebih dari cukup. Kamu bukan hasil dari dosa orang tuamu. Kamu bukan bayangan kelam dari masa lalu. Kamu, Nadra, adalah kamu. Orang yang berhak bahagia." Agra menarik napas dalam. "Kalau kamu nggak bisa percaya sama dunia, setidaknya, percayalah sama satu hal. Kamu layak dicintai. Apa pun masa lalumu."
Setelah mendengar ucapan Agra barusan, Nadra mendadak duduk tegak. Ia mengubah posisi tubuhnya, memalingkan wajah dan menatap Agra dengan jarak yang sangat dekat. Mata mereka nyaris bersentuhan. Agra terkejut, kaget bukan main melihat wajah Nadra hanya beberapa senti dari wajahnya.
Napasnya tertahan. "N-Nadra?" suaranya gemetar.
Lalu Nadra membuka mulut dengan wajah serius, terlalu serius. "Om, nikah yuk."
BRAK!! Refleks Agra membelokkan mobil ke sisi jalan dengan gerakan mendadak, lalu menginjak rem kuat-kuat. Mobil berguncang. Nadra terhentak ke depan, dan, "Duh duh duh!" keningnya membentur setir kemudi.
"Nadra!" seru Agra panik, langsung mematikan mesin mobil dan membungkuk ke arahnya. Tangannya gemetar saat ia memegang wajah Nadra, menyingkap rambutnya yang jatuh ke dahi, lalu melihat dengan cemas bagian yang terbentur. "Gila, kamu kenapa sih ngomong gitu tiba-tiba?! Kepalamu kena, Nadra? Sakit nggak? Sakit di mana?" Nada suara Agra terdengar sangat panik dan kalang kabut, seperti ayah muda yang baru pertama kali menghadapi anaknya jatuh dari sepeda.
Nadra memegang dahinya sendiri, lalu terkekeh pelan sambil mengerucutkan bibir. "Cuma merah dikit, Om. Luka kecil. Bukan geger otak." Dia tertawa kecil, geli melihat ekspresi panik Agra.
Agra menatapnya tajam tapi tidak bisa menyembunyikan kelegaan. "Aku kira kamu kenapa-kenapa. Kupikir kamu bakal amnesia atau pingsan atau astaga, tadi itu gila."
Nadra menahan tawa, lalu dengan nada datar dan polos kembali berkata, "Tapi serius, Om. Kita nikah aja, yuk."
Agra langsung menegang lagi. Matanya membesar seperti baru saja ditabrak kenyataan. "N-Nikah? Kamu, kamu ngomong gitu karena benturan barusan, kan? Atau kamu demam?" Tangannya refleks kembali ke dahi Nadra, mengecek suhu tubuhnya. "Dingin, tapi bisa jadi efek trauma," gumamnya sendiri, masih separuh percaya, separuh panik.
Nadra tertawa makin keras, kali ini tawanya benar-benar tulus, membuncah dalam kabin mobil yang tadi dipenuhi ketegangan. Wajahnya mulai bersinar lagi. "Om panikan banget, ya. Aku serius lho."
Ia menatap Agra dengan wajah tenang, namun penuh makna. "Bukan karena mau lucu-lucuan, tapi karena aku capek. Aku pengen punya tempat pulang. Tempat yang gak bohong. Tempat yang walaupun gak sempurna, tapi nyata."
Agra tak langsung menjawab. Ia menatap gadis itu dengan mata yang perlahan melunak. Nadra memang masih muda, pikir Agra. Tapi kalimatnya punya rasa yang dalam. Sebuah keinginan akan rumah, akan kejujuran, akan rasa aman.
Sunyi sejenak. Lalu Agra tertawa pelan, tawa yang ringan, tapi tulus. "Aku nggak tahu ini lucu, gila, atau mengharukan. Tapi kamu berhasil bikin jantungku lari maraton dua kali malam ini."
Nadra tersenyum manis. "Berarti tinggal tiga kali lagi sampai Om lamar aku beneran."
Setelah keduanya terkekeh bersama, suara dalam mobil menjadi sedikit lebih ringan. Namun Nadra perlahan kembali menatap Agra, kali ini dengan pandangan serius, pandangannya yang tidak main-main.
"Aku lihat Mas Razan dan kak Raline tadi," ucapnya pelan, lirih tapi dalam. "Cara mereka tertawa, saling bicara, saling memahami kayak gitu tuh, langka banget di dunia ini. Aku bahkan gak pernah lihat itu di rumahku dulu. Bahkan di mana pun aku berdiri."
Agra menoleh sebentar, memperhatikan wajah Nadra yang tampak sendu namun penuh harap.
"Dan karena itu," lanjut Nadra, "aku ngomong tadi. Spontan, tapi serius."
Agra menarik napas panjang. Ia membiarkan keheningan menemani mereka sejenak. "Nadra," ucapnya pelan. "Menikah itu bukan seperti pesan kopi di kafe. Bukan sekadar 'klik' lalu langsung disajikan." Ia berbalik menghadap Nadra sepenuhnya. "Itu tanggung jawab. Bukan cuma status di KTP. Tapi juga kesiapan hati, mental, dan tubuh."
Nadra menaikan alisnya, bingung.
Agra melanjutkan dengan anda lembut tapi tegas, "Menikah berarti kamu harus siap jadi tempat pulang, bukan tempat pelarian. Siap melayani, bukan cuma dilayani. Termasuk dalam urusannya yang sangat pribadi."
Wajah Nadra masih polos. Tapi matanya menangkap maksud Agra perlahan. Namun bukannya gentar, ia malah menegakkan tubuhnya, membusungkan dadanya dengan percaya diri. "Soal pelayanan, tenang aja, Om," katanya santai tapi penuh semangat. "Aku ini pelayan di kafe. Dulu juga bantu Ibu di rumah, nyiapin makan, nyuci baju, bersihin rumah. Jadi hal kayak gitu tuh, kecil buat aku."
Agra hampir tersedak napasnya sendiri. Wajahnya langsung memerah, bukan karena malu biasa, tapi karena pikirannya mulai liar. "Bukan itu maksudku, Nadra," gumamnya sambil memalingkan wajah, berusaha meredam pikiran yang mulai melayang terlalu jauh.
Namun suara Nadra terus bergema di kepalanya. "Tenang aja, Om. Hal keci-"
Batin Agra mulai berontak. "Gila gadis ini gak tahu apa yang dia ucapkan. Pelayanan di ranjang itu bukan cuci piring. Malam pertama? Astaga. Kalau aku beneran nikah sama dia, bisa-bisa dia nangis tujuh hari tujuh malam karena aku." Agra cepat-cepat menggeleng, menepis pikirannya sendiri. "Fokus, Gra. Jangan mikir yang aneh-aneh."
Sementara itu. Nadra masih berbicara semangat soal bagaimana dia terbiasa bekerja keras sejak kecil. Tapi suara gadis itu sudah tidak begitu terdengar di telinga Agra. Yang ia dengar hanyalah desiran darahnya sendiri, dan suara batinnya yang terus memperingatkan.
...Bersambung........