Spin-off dari Istri Amnesia Tuan G
Dalam beberapa jam, Axello Alessandro, seorang aktor terkenal yang diidamkan jutaan wanita jatuh ke titik terendahnya.
Dalam beberapa jam, Cassandra Angela, hater garis keras Axel meninggal setelah menyatakan akan menggiring aktor itu sampai pengadilan.
Dua kasus berbeda, namun terikat dengan erat. Axel dituduh membunuh dua wanita dalam sehari, hingga rumah tempatnya bernaung tak bisa dipulangi lagi.
Dalam keadaan terpaksa, pria itu pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Tapi rumah itu aneh. Karena tepat pukul 21.45, waktu seakan berubah. Dan gadis itu muncul dengan keadaan sehat tanpa berkekurangan.
Awalnya mereka saling berprasangka. Namun setelah mengetahui masa lalu dan masa kini mereka melebur, keduanya mulai berkerjasama.
Cassie di masa lalu, dan Axel di masa kini. Mencoba menggali dan mencegah petaka yang terjadi.
Mampu kah mereka mengubah takdir? Apakah kali ini Cassie akan selamat? Atau Axel akan bebas dari tuduhan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Joy Jasmine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 ~ Sedikit Hampa
Saat itu, ketiganya bergegas kembali ke ruangan mereka. Indira yang mendengar langkah yang buru-buru langsung menoleh saat pintu terbuka. Wanita itu menatap dengan kening berkerut. Tubuhnya tanpa sadar berdiri dan mengikuti langkah anggota timnya, yang ternyata menuju meja Riven.
"Riven!" panggil Ronan yang lagi-lagi membuat pria di bawah meja itu tersentak hingga kali ini kepalanya membentur meja.
"Sshh, eh, Kapt." Senyumnya canggung, pria muda itu menyentuh tengkuknya tanpa sadar.
"Coba kamu cari tahu tentang ini!" pinta Ronan yang tidak menghiraukan reaksi kecil sang bawahan. Riven pun sigap, ia langsung mengambil berkas dan memeriksanya dengan seksama.
"Pisau taktis? Kemungkinan ada hubungan dengan agensi Hill Entertainment." Pria itu menatap para seniornya dengan tatapan penuh makna.
"Mulai dari sana saja!" Ronan memerintah lagi. Kini ke-empatnya telah berdiri di belakang meja Riven dengan melingkar. Terus menatap layar laptop itu dengan tatapan tajam.
Setelah beberapa saat, jari-jari tangan Riven yang panjang berhenti menari di atas keyboard. Layar laptopnya menampilkan sebuah foto pisau taktis.
Warnanya hitam doff, warna gelap yang tidak mengkilap. Sisi bawahnya bergerigi dan panjang bilahnya sekitar 10 cm. Tampak mewah dan mahal.
"Tiga tahun lalu, agensi Hill Entertainment pernah membagikan pisau taktis edisi terbatas sebagai merchandise ulang tahun perusahaan yang ke-10. Modelnya cocok dengan bukti-bukti ini." Riven menoleh dan mendapati wajah serius para seniornya.
Ronan terdiam sejenak, dalam hati mulai menghubungkan benang merah. “Pisau itu... siapa saja yang mendapatkannya?”
Kali ini Riven menggeleng. “Daftarnya tidak lengkap. Tapi yang pasti, Axel adalah salah satunya."
Pria muda itu membesarkan layar hingga terfokus pada pangkal bilah di dekat gagang. "Kalian perhatikan ini! Ada kode AA di sini, pisau taktis di foto ini adalah milik Axello Alessandro. Dan hanya milik artis yang terekspos, sedangkan orang dalam agensi tidak diketahui siapa saja yang mendapatkannya."
“Jadi bisa siapa saja dari lingkaran dalam agensi...” Luca menimbrung dengan alis berkerut.
"Kita masih belum bisa memastikan, jangan menarik kesimpulan terlebih dahulu!" Ronan memperingati, sementara para bawahannya mengangguk mengerti.
"Yang terpenting saat ini adalah kita harus mendapatkan daftar penerima hadiah itu. Ini bisa jadi titik balik."
.
.
.
Di saat yang sama. Ketika malam semakin larut, samar-samar Axel mencium entah apa yang wangi. Awalnya ia tidak ingin menghiraukan, namun lama kelamaan aroma itu semakin masuk ke dalam penciumannya.
"Heh, bangun!"
Axel membuka matanya saat mendengar suara halus namun tajam yang memanggil. Saat membuka matanya, pria itu mengernyit saat melihat Cassie sudah duduk di sebelahnya sembari mengangkat semangkuk entah apa.
"Bangunlah!" titah gadis itu lagi dengan suara yang tidak ada ramah-ramahnya. Melihat itu, Axel kembali memejam dengan tak acuh.
"Woi, kamu tuli ya? Aku udah baik hati buatin bubur loh."
"Kalau mau nolongin, jangan setengah-setengah!" Axel menggumam dengan mata yang masih memejam. Membuat Cassie menggeram marah.
Memang benar seharusnya tidak ia pedulikan, entah kesambet apa dirinya tadi sampai berpikir membuatkan pria bubur. "Jadi mau kamu apa?"
"Suap."
"Hah?"
"Suapin aku!"
"Ish. Kamu ambil kesempatan dalam kesakitan ya?"
Axel mengeluarkan tangannya dari dalam selimut. "Tanganku sakit." Wajah pria itu lemas, melihat tangan yang penuh luka itu, Cassie baru sadar kalau kepala Axel juga terluka.
"Apa yang terjadi padamu?" tanya Cassie yang mendadak iba. Suaranya jadi melembut tanpa sadar.
Sebelumnya ia tidak melihat dengan benar, sekarang Axel benar-benar terlihat seperti orang sekarat. Tanpa sadar hatinya mulai melunak, gadis itu menaruh bubur di meja, lalu mendekat untuk membantu Axel bangun.
"Badanmu masih panas, makan buburnya dan minum obat!" ujar gadis itu sembari meringis, melihat banyaknya luka di tubuh pria itu.
Sementara Axel yang tidak menyangka Cassie luluh semudah ini, hanya bisa menerima semua perhatian itu. Bahkan ia dengan patuh menerima suapan dari sang gadis.
"Udah!" Axel menahan tangan Cassie yang ingin kembali menyuapi, sungguh entah masakan Cassie yang tidak enak atau mulutnya yang bermasalah. Tiap bubur itu masuk, rasanya hanya ada hambar dan sedikit pahit. Padahal kalau dicium sangat wangi.
"Kamu baru makan tiga suap udah enggak mau? Makan lagi! Seperti anak kecil saja!" gerutu Cassie yang menyingkirkan tangan Axel, pria itu mau tak mau menerima lagi dengan enggan.
Hingga akhirnya Axel tak tahan lagi, ia menggenggam tangan Cassie cukup kuat. "Eng-gak ma-u la-gi!" ujar pria itu suara tertahan. Jika sesuap lagi, rasanya ia akan muntah. Saat itu keduanya saling menatap, cukup lama hingga Cassie yang berpaling lebih dulu.
Gadis itu melepaskan tangannya dan menghela napas kasar, ia bukannya tidak paham. Ia memiliki banyak adik yang dulu ia bantu rawat, setiap sakit kelakuannya persis seperti ini. Tapi Axel ini sudah dewasa masih seperti anak kecil. Gadis itu tidak menyangka, seorang aktor tenar juga bisa seperti ini.
"Oke lah, sekarang kamu minum obat dulu!" Ia sudah menyiapkannya, jadi langsung memberikannya pada Axel.
"Air," ujar pria itu menatap Cassie dengan lesu. Gadis itu berdecak, padahal air ada di atas meja yang baru ia pindahkan. Sedikit saja Axel menggerakkan tangan, ia sudah bisa mengambil gelas itu.
Tapi Cassie tetap meraihnya, mengulurkan tangan menuju bibir pria itu yang segera meminumnya. Obat ini sungguh pahit, tapi Cassie malah tidak memberikannya air. Sungguh setengah-setengah gadis ini ingin merawatnya.
"Lenganmu terluka?" tanya Axel saat menyadari luka lengan gadis itu yang sudah sedikit kering, namun masih belum sembuh juga.
"Aa, ini karena saat menolong orang yang aku kagumi." Entah kenapa Cassie ingin menjelaskan, mungkin karena ini adalah kebanggaan tersendiri. Menolong penulis yang luar biasa menurutnya.
Axel mengernyit, hingga ia teringat kejadian sebulan lebih lalu. Baru ia mengangguk paham.
"Aku akan mengoleskanmu obat." Cassie mengambil salep dengan bentuk seperti odol namun ukurannya kecil.
"Ini kotak P3K milikmu, kan? Kalau pakai ini, saat aku menghilang nanti, obatnya tidak akan ikut menghilang."
"Oh iya, kamu harus berterima kasih padaku hari i...."
Saat mengulurkan tangannya, dalam sekejap semuanya lenyap, tubuh ramping dan suara itu. Salep yang sebelumnya gadis itu pegang juga terjatuh begitu saja. Begitu juga yang tadinya menempel di telunjuk Cassie, kini jatuh tak berdaya di atas sprei warna hitam miliknya.
Ruang yang sebelumnya cukup penuh kini jadi kosong. Begitu juga dengan gadis yang sejak tadi tidak berhenti bicara. Entah kenapa perpisahan kali ini menyisakan rasa sedikit hampa.
.
.
.