Dijodohkan dengan pria kaya raya? Kedengarannya seperti mimpi semua perempuan. Tapi tidak bagi Cloe.
Pria itu—Elad Gahanim—tampan, sombong, kekanak-kanakan, dan memperlakukannya seperti mainan mahal.
“Terima kasih, Ibu. Pilihanmu sungguh sempurna.”
Cloe tak pernah menginginkan pernikahan ini. Tapi siapa peduli? Dia hanya anak yang disuruh menikah, bukan diminta pendapat. Dan sekarang, hidupnya bukan cuma jadi istri orang asing, tapi tahanan dalam rumah mewah.
Namun yang tak Cloe duga, di balik perjodohan ini ada permainan yang jauh lebih gelap: pengkhianatan, perebutan warisan, bahkan rencana pembunuhan.
Lalu, harus bagaimana?
Membunuh atau dibunuh? Menjadi istri atau ... jadi pion terakhir yang tersisa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rinnaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Kantor dan kebohongan.
Sudah tiga hari, Sehan masih berdiam diri di rumah ini. Setiap tatapannya membuat Cloe merinding, meski itu tampak seperti tatapan dengan maksud menyapa. Kesan Sehan di mata Cloe sudah terlanjur buruk, Cloe kesulitan mempertahankan ekspresi tidak tahu apa-apa jika dia berencana berlama-lama di rumah ini.
Kerap kali dia diam-diam menggoda Cloe: memuji cantik, dan berkata Cloe berhak menjadi satu-satunya. Itu semacam hasutan lembut di belakang Elad.
Untuk pertama kalinya sejak menikah, Cloe merasa ingin bertemu Elad.
Bukan karena rindu. Bukan karena cinta. Tapi karena satu hal sederhana: Sehan.
Sejak pagi tadi, Sehan mulai melonggarkan topengnya. Senyumannya tak lagi sekadar basa-basi, sorot matanya terlalu berani, dan setiap ucapannya seolah menekan Cloe agar menyambutnya lebih dekat.
Cloe tidak sebodoh itu.
Ia masuk ke kamar, duduk di tepi ranjang, lalu meraih ponsel.
[Suami Bajingan – berdering.]
Cloe menghela napas. Setelah dering keempat, Elad mengangkat. Suaranya terdengar ceria.
“Akhirnya istri tercintaku menelepon,” ucap Elad, terdengar geli. “Merindukanku, ya?”
Cloe melirik dirinya sendiri di kaca. Mata sembap, rambut acak, tapi ekspresi tetap datar.
“Aku bosan di rumah. Aku ingin ke kantor,” katanya. Suaranya biasa saja, tapi Elad diam sejenak di ujung sana.
“Elad?” panggil Cloe.
“Sorry, aku hanya ... terkejut.” Nada suaranya terdengar geli. “Kau, Cloe, minta datang ke kantorku? Ini hari bersejarah!”
“Aku hanya butuh suasana baru,” elaknya cepat. “Kau izinkan?”
“Kalau aku tolak, kau akan kabur diam-diam?”
“Mungkin,” jawab Cloe singkat.
Tawa Elad terdengar di ponsel. “Baiklah. Aku kirim Miko untuk menjemputmu.”
Cloe mematung sejenak. Miko? Sekretaris. Ah! Lebih cocok dibilang asisten pribadi Elad?
“Elad, bukankah terlalu—”
“Kau tak ingin aku menjemput sendiri, kan? Miko tahu tempat. Dan dia tahu cara melindungimu, kalau ... ada sesuatu yang tak nyaman di rumah.”
Cloe mengatupkan bibir. Apakah Elad mulai curiga? Tapi ia tidak menunjukkan apa pun.
“Oke,” jawabnya singkat.
Dua puluh menit kemudian, suara mobil berhenti di halaman rumah. Cloe melangkah turun dari lantai dua, dengan setelan sederhana: gaun cream, blouse cokelat. Ia ingin terlihat rapi, tapi bukan mencolok.
Sehan muncul dari ruang tamu, berdiri di samping salah satu pelayan.
“Mau ke mana?” tanyanya santai.
“Elad mengirim asistennya menjemputku,” jawab Cloe tanpa menoleh.
Sehan tidak menahan. Hanya memandangi Cloe yang membuka pintu depan dan melangkah keluar dengan langkah mantap tanpa dihadang siapapun. Di luar, Miko berdiri tegak, membukakan pintu mobil.
“Nyonya.”
“Terima kasih, Miko.”
Begitu pintu tertutup dan mobil mulai bergerak, Cloe akhirnya menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya, ia merasa lega berada di dalam mobil yang menuju tempat Elad.
Di dalam mobil, Cloe menyandarkan kepala ke jendela, membiarkan pemandangan kota berlari mundur. Tapi pikirannya tak tenang. Mobil ini memang membawanya pergi dari rumah, tapi tidak dari masalah.
Miko menyetir dengan tenang. Pria itu jarang bicara, selalu tampak seperti dinding baja yang mengamati tanpa interupsi.
“Pasti Jasmin sedang tidak di kantor, ya?” ujar Cloe tiba-tiba, nada suaranya ringan tapi mengandung duri. “Kalau tidak, Elad pasti mencari-cari alasan menolak kedatanganku.”
Miko tidak langsung menjawab. Matanya lurus ke depan, tapi dari sudut kaca spion, ia menoleh sejenak menatap Cloe.
“Aku tidak tahu soal itu, Nyonya.”
“Hm. Lucu saja. Suami yang biasanya sulit diajak serius, tiba-tiba menyambut istrinya ke tempat kerja.” Cloe mendesah pelan, lalu menatap ke langit-langit mobil. “Kau tahu, aku mulai merasa mungkin aku memang virus bagi hubungan mereka.”
Masih tidak ada respons.
“Tenang saja, Miko. Aku tidak akan mengadu ke Elad. Kau tahu lebih banyak dari yang kau bilang.”
Miko diam. Lalu, seolah ingin mengalihkan, ia merogoh laci dashboard, mengeluarkan sebotol air dingin.
“Minum dulu, Nyonya. Jalanan siang ini panas.”
Cloe tersenyum miring. “Air, ya? Kau pikir aku akan lupa karena tenggorokanku kering?”
Miko menyodorkan botol itu tanpa menjawab.
Cloe menerimanya juga tanpa bicara. Hanya matanya yang tetap menatap Miko dengan tatapan sinis dan tajam, seolah berkata: Kau satu kubu dengan Elad!
Mobil meluncur di antara lalu lintas kota. Sunyi. Tapi bukan sunyi yang nyaman, melainkan sunyi penuh pengawasan dan rahasia.
“Ah, mendadak aku takut dengan pandangan orang-orang di gedung itu.”
“Semua orang menghormati Anda, Nyonya,” jawab Miko.
“Atau mereka mungkin menginginkan Jasmin sebagai nyonya.”
“Mereka tidak berani memberikan komentar buruk tentang tuan, Nyonya.”
Begitu mobil berhenti, Miko segera turun dan membukakan pintu.
“Silakan, Nyonya.”
Cloe melangkah keluar. Tumit sepatunya menyentuh aspal dengan bunyi ringan, tapi dampaknya jauh lebih besar bagi siapa pun yang melihat. Dengan blouse cokelat elegan dan celana gaun sederhana, ia terlihat seperti perpaduan antara keanggunan dan sikap tak tersentuh.
Matanya menatap lurus ke depan, tapi diam-diam ia menyapu pemandangan di sekitarnya. Jalanan sibuk. Orang berlalu-lalang. Hiruk-pikuk kota menyapa dengan ribuan ekspresi: tawa, murung, terburu-buru, cuek, santai, semua bercampur menjadi satu dinamika yang telah lama asing bagi Cloe.
‘Dunia tetap berjalan, dan aku sempat lupa bagaimana rasa berada di dalamnya,’ batinnya berkata lirih.
Begitu masuk ke lobi gedung tinggi tempat Elad bekerja, suara langkahnya yang beraturan langsung menarik perhatian. Staf kantor—para karyawan yang biasanya sibuk dengan tablet dan dokumen—seketika melambatkan langkah. Beberapa langsung saling berbisik.
“Itu istri Tuan Elad?”
“Cantik banget… kayak peri, sumpah.”
“Di mana Tuan Elad bisa dapetin wanita kayak gitu, ya?”
“Mukanya dingin, tapi auranya ... wow.”
Cloe mendengar sebagian bisikan itu. Tapi dia tetap melangkah tenang, seolah tidak terusik. Kepalanya tegak. Dia tahu, dalam dunia Elad yang penuh pencitraan ini, tampilan adalah segalanya.
Saat pintu lift terbuka, seorang resepsionis perempuan buru-buru berdiri dan tersenyum canggung. “Selamat datang, Nyonya. Apakah Anda ingin langsung ke ruangan Tuan Elad?”
Cloe mengangguk, tanpa senyum. “Ya. Terima kasih.”
Lift naik perlahan, sementara Cloe memperhatikan pantulan dirinya di dinding logam mengilap. Wajahnya tetap terlihat tenang. Tapi jantungnya berdetak lebih cepat. Ini bukan sekadar kunjungan, ini adalah manuver.
‘Aku tidak percaya aku kembali ke sini lagi, setelah melarikan diri sambil menangis dulu.’
Sesaat kemudian, pintu lift terbuka, memperlihatkan koridor utama lantai eksekutif. Di ujung sana, pintu kaca besar dengan nama "Elad Gahanim" terpampang di papan tembaga.
Cloe menarik napas, bersiap melangkah ke wilayah kekuasaan suaminya.
Pintu terbuka otomatis dengan suara lembut. Cloe melangkah masuk ke ruangan luas bergaya modern; meja besar dari kayu gelap, lampu gantung elegan, dan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota dari lantai dua puluh.
Namun langkah pertamanya nyaris menjadi langkah terakhir, karena tiba-tiba ada sosok tinggi yang muncul dari balik pintu dalam, menyerbu cepat.
“Elad—”
BRAK!
Cloe hampir terjungkal ke belakang kalau bukan karena tubuh Elad yang menahan sambil memeluknya erat-erat.
“Hampir saja kau terlambat menahan rindumu!” ucap Elad dengan tawa semeringah, memeluk pinggang Cloe seperti anak kecil yang baru menemukan boneka favoritnya.
Cloe membeku beberapa detik. Tatapannya meluncur dari pundak Elad ke wajahnya yang bersinar puas, terlalu puas. Seperti aktor yang baru saja menyapa penonton dalam pertunjukan.
“Kau gila,” desis Cloe pelan. “Siapa yang kau sebut rindu?”
“Aku rindu,” bisik Elad di dekat telinganya. “Kau tahu, aku pikir kamu akan tetap jadi tahanan rumah selamanya. Ternyata kamu datang sendiri. Aku terharu.”
Cloe melepaskan diri perlahan, tapi tidak kasar. Ia tak ingin menjadi tontonan bagi staf yang mungkin mengintip dari balik pintu.
“Elad, kita di kantor.”
“Dan kamu istriku. Jadi?”
“Jadi jangan bertingkah seperti pemilik panggung drama.”
Elad tertawa lagi. Suara tawanya memenuhi ruangan, tapi Cloe tetap dingin. Ia memutar matanya sambil berjalan mendekati meja besar. Matanya sekilas menyapu sekeliling. Dinding, rak, bahkan laci yang terbuka sedikit.
Elad mengikutinya dengan langkah ringan. “Kau datang bukan hanya karena bosan, kan?”
Cloe menoleh, menantang. “Apa karena rindu belum cukup jadi alasan?”
Elad menyipitkan mata, lalu menarik kursi untuknya. “Duduklah. Aku akan buatkan teh spesial dari pantry pribadi.”
Cloe duduk perlahan, tapi hatinya tidak sedang menikmati perhatian. Ia diam-diam memperhatikan meja Elad—tertutup rapi, tapi terlalu rapi. Tak ada kertas tercecer, tidak ada catatan tergesa. Semuanya seolah telah dibersihkan untuk tamu.
‘Dia memang tipe pria rapi, atau membereskan sebelum aku tiba?’
Elad kembali membawa dua cangkir teh. “Aku harap rasa ini tidak seenak sarkasmemu pagi ini.”
Cloe menerima cangkir itu, meminumnya perlahan.
“Kau tidak bertanya kenapa aku datang tiba-tiba?”
“Aku tidak mau merusak momen dengan terlalu banyak pertanyaan,” jawab Elad santai. “Tapi kalau kamu datang untuk menyelinapkan racun ke tehku, aku harus bilang, kamu cantik sekali hari ini.”
Cloe mendesah. “Jadi kau lebih takut racun dari aku, dibanding dari sepupumu?”
Untuk sepersekian detik, sorot mata Elad berubah.
Tapi ia tertawa cepat, menutup jeda mencurigakan itu.
“Sepupuku? Sehan tidak bisa membunuh lalat tanpa pelatihan intensif,” jawabnya ringan.
Cloe mengangkat alis. “Yakin?”
“Yakin. Dan kalau kau lebih suka menghabiskan waktu bersamaku di kantor, mungkin aku harus pindahkan meja makan ke ruang kerja.”
Cloe hanya tersenyum tipis.
‘Sehan menyimpan rahasia. Elad juga. Tapi siapa yang lebih dulu akan membuka topengnya?’
Bersambung....