Seorang perempuan bernama Zainab Rahayu Fadillah memutuskan menikah dengan seorang pria bernama Hasan Bahri. Dia menerima pinangan itu, dikarenakan keluarga sang suami adalah keluarga dari turunan turunan seorang tuan guru di sebuah kota.
Zainab dan keluarga, jika mereka adalah dari keturunan baik, maka sikapnya juga akan baik. Namun kenyataannya bertolak belakang. Dunia telah menghukum Zainab dalam sebuah pernikahan yang penuh neraka.
Tidak seperti yang mereka pikirkan, justru suami selalu membuat huru hara. Mereka hampir setiap hari bertengkar. Zainab selalu dipandang rendah oleh keluarga suami. Suami tidak mau bekerja, kerjanya makan tidur dirumah. Namun penderitaan itu belum selesai, adik ipar dan juga ponakannya juga sering numpang makan di rumah mereka, tanpa mau membantu dari segi uang dan tenaga. Zainab harus berjuang sendiri mencari uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miftahur Rahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa itu bisa membuatku bahagia?
Diruang IGD, suasana nampak tegang. Dokter dan tim medis sibuk menstabilkan kondisi As, yang tiba-tiba drop kembali.
Orang tua As, hanya bisa pasrah dengan apa yang terjadi, sambil berdoa kesembuhan anaknya. ibu As, menangis dipelukkan sang suami. Tubuhnya gemetar. Ia, tidak sanggup dengan kemungkinan yang terjadi nantinya.
“Tekanan darahnya turun, kita infus sekarang! Siapkan oksigen tambahan...” perintah sang Dokter.
Setelah sekian lama menangani As, akhirnya sang Dokter berhasil menstabilkan kondisi As.
Sejak saat itu, ia tidak lagi bisa bermain bebas seperti teman-temannya yang lain.
Hari-harinya hanya diisi dengan pemeriksaan darah, kemoterapi, suntikan dan kadang transfusi darah.
As duduk dibangsal anak.
Dirumah sakit itu, tidak ada teman-temannya. As sangat merindukan sekolah dan juga teman-temannya. Ia memeluk memeluk boneka beruang. Wajah As, nampak pucat, rambutnya juga mulai rontok, namun dari sorot matanya tetap hangat, ada harapan untuk sembuh dan kembali pada teman-temannya.
Dua kemudian, As meminta pada orang tuanya untuk pulang dan ingin bertemu dengan teman-temannya. Ia merengek, terus menangis, bahkan beberapa kali drop, karena keinginannya tidak dituruti.
Melihat kondisi As, yang ingin pulang. Akhirnya kedua orang tua As, membawa As pulang, namun mereka tetap melakukan kemoterapi, dan pengecekan darah secara berkala.
Setelah beberapa hari kepulangan As, guru dan teman-temanya datang menjenguk.
Para guru dan teman-teman As, memasuki rumah. Mendengar para teman-temannya datang, As keluar dari dalam kamarnya dengan senyuman yang mengembang dari wajahnya.
Mel, Fatur, Agus, Adit dan kawan-kawan lainnya, mendekati As yang baru saja keluar dari dalam kamarnya.
“As, cantik banget...” puji Fatur duduk didekat As.
“Makasih...” jawab As tersenyum.
“Kami semua kangen banget sama kamu... Cepat sembuh ya, biar kita bisa sekolah bareng lagi dan main bersama lagi...” ucap Mel mengenggam erat tangan As.
“Kata ibu, besok As udah bisa sekolah...” jawabnya dengan tersenyum manis.
“Benarkah? Apa kita bisa main lagi?” sahut Mel dengan mata berbinar.
As menganguk cepat. Mel, Fatur, dan lainnya bergantian memeluk As, karena senang karena As akan kembali kesekolah.
“Hmmm, bagus deh kamu bisa sekolah lagi As... Soalnya, saat kamu sakit, aku nggak bisa nyontek lagi...” celetuk Agus, mendapat tertawaan dari teman-temannya.
“Besok-besok, nggak usah ngasi ia nyontek lagi... Kek mana mau pinter, ngerjain tugas nyontek terus...” sahut Fatur memasang wajah sinis, yang dibuat-buat.
Agus tertawa cukup keras, melihat ekspresi wajah Fatur, yang terlihat lucu. Diikuti oleh teman-teman yang lain.
Pagi itu, rumah As dipenuhi tawa. Mereka saling bercerita, dan mulai bermain-main.
Besok paginya, Adit, Agus, Fatur dan Mel sudah menunggu As didepan rumahnya.
“Tunggu sebentar...” teriak As, dengan tergesa-gesa memakai sepatunya.
“Bu, aku pergi ya bu...” ucap As menyalami kedua orang tuanya.
“Hati-hati dijalan ya nak, jika As merasa sakit bilang sama teman-teman dan guru ya...” ucap Ibu As memperingati As.
As hanya menganguk. Ia segera turun dari dalam rumahnya, dan menaiki sepedanya dengan senang.
Detik kemudian, lima bocah itu pun segera meninggalkan rumah As. Disepanjang perjalanan, lima bocah itu bersenandung ria.
Saat sampai disekolah, Budi terlihat mengkayuh sepedanya hendak masuk keperkarangan sekolah. Ia tidak bersama teman-teman lainnya.
Ia nampak diam, dan mengabaikan Fatur dan kawan-kawannya yang sedang memarkirkan sepeda mereka. Budi berjalan dalam diam. Sikap Budi yang diam beberapa hari ini, tidak luput dari pandangan lima bocah itu.
“Budi itu kenapa? Kok sekarang ia terus diam sih? Biasanya ia selalu mengusik anak-anak lainnya?” tanya Mel mengerutkan keningnya.
“Mungkin ia lelah...” jawab Fatur asal.
“Bukankah bagus... Jadi tidak ada yang mengusik kita lagi...” sahut Agus.
“Tapi aneh aja...” As nampak berpikir dan mengerutkan keningnya.
“Apakah ia ada masalah?” tanyanya lagi.
“Mungkin saja...” ucap Adit. Lima bocah itu berjalan kearah kelas.
“Jika ada masalah, kita harus hibur ia...” ucap As pelan.
“Kalau ia, marah dan memukul kita gimana?” tanya Adit.
“Nggak akan, jika kita bertanya dengan cara baik...” jawab As.
Lima bocah itu pun masuk kedalam kelas B, kelas Fatur.
Mereka, mendekati Budi yang diam merenung dibangkunya.
“Kamu ada masalah?” tanya As mendekati bangku Budi. Budi tidak bergeming. Ia hanya diam, tidak menoleh sedikit pun kearah As.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya As lagi.
“Jika ada masalah, cerita sama kita... Kita mau kok, dengar ceritamu...” sahut Mel kemudian. Namun, tetap saja Budi diam.
“Ada apa denganmu?” tanya Fatur memegang pundak Budi.
“Kita adalah teman, jika adalah masalah, kamu cerita saja sama kami...” ucapnya lagi. Budi menoleh kearah Fatur.
“Aku tidak butuh perhatian dan belas kasihan dari orang miskin seperti kalian...” sahut Budi memandang sinis Fatur.
Mel yang tadi diam. Ia maju dan memukul pundak Budi dengan keras.
“Jika kau tidak mau bercerita, jangan menghina...” bentak Mel. Budi menatap tajam Mel dan seketika ia berdiri.
“Benar kan, yang aku bilang, kalau kalian itu miskin...” ucap Budi dengan sinis.
“Ya, kami memang miskin, tapi tidak pantas kau berkata seperti itu... Kami sudah baik-baik bertanya padamu, kenapa kau malah menghina kami... Dimana pikiranmu?” serang Mel nampak emosi. Fatur menarik tangan Mel.
“Kami minta maaf, jika kami mengusik ketenanganmu. Namun, jika kamu mau bercerita, kami siap mendengarkannya...” ucap Fatur menarik Mel menjauhi Budi.
Budi duduk dengan kesal...
Mel, As, dan juga Adit masuk kelas A. Sedangkan Agus sekelas dengan Fatur, dikelas B.
Setelah kejadian itu, suasana kelas nampak hening. Anak-anak dikelas B, nampak bingung dengan sikap Budi kali ini. Anak yang suka buat onar, kini seketika berubah menjadi anak yang pendiam.
Fatur dan Agus tidak duduk sebangku. Keduanya juga nampak sedang berpikir, apa yang sebenarnya yang terjadi pada Budi.
Sedangkan di kelas A, As dan Mel yang duduk sebangku juga memikirkan hal yang sama. Mel kesal dengan perkataan Budi, namun ia juga penasaran dengan apa yang terjadi pada Budi.
Ia nampak seperti memendam masalah.
Pelajaran pun dimulai. Saat istirahat lima bocah itu keluar untuk jajan. Sedangkan Budi, nampak tidak keluar dari kelas. Ia hanya diam duduk dibangkunya, tanpa berkata sedikit pun.
Sesekali Budi melirik dari ujung matanya, melihat teman-temannya bermain dengan bahagia. Ia tersenyum kecut.
“Aku juga ingin seperti mereka...” lirihnya.
“Aku ingin bahagia Tuhan... Aku ingin perhatian...” bathinnya. Ia menunduk dibangku, airmatanya luruh. Sesekali ia terisak.
Fatur yang berjalan masuk kedalam kelas, mendengar isakan itu. Namun ia enggan untuk mendekat, takutnya ia dihina lagi.
As memberanikan diri mendekati Budi.
“Bud, kamu kenapa?” tanya As pelan. Budi tidak bergeming.
“Ada apa dengamu?” tanya As lagi. Namun tidak ada tanggapan dari Budi.
As menghela napas. “Oh ya, aku ada jajan nih... Ini untuk kamu. Jangan lupa dimakan ya...” ucap As lagi.
“Oh ya... Itu bukan makanan orang miskin...” ujarnya lagi meninggalkan bangku Budi.
Sesaat, bungusan jajan itu tidak disentuh oleh Budi. Ia tetap menunduk dibangkunya, sambil sesekali terdengar ia terisak.
Perlahan ia mengangkat kepalanya, ia melirik bungkusan makanan itu. Ia tersenyum pilu.
Ia tidak langsung menyentuhnya. Hanya diam menatap lama bungkusan itu, seolah menimbang sesuatu.
“Apakah ia benar peduli denganku? Atau mereka hanya sok peduli dan senang dengan apa yang terjadi padaku sekarang?” bathinnya.
“Seharusnya mereka bahagia, jika aku tidak mengusik mereka. Tapi kenapa mereka datang dan bertanya tentang keadaanku? Apakah mereka benar-benar tulus?” tanyanya lirih. kembali air matanya luruh.
Tidak lama kemudian, Fatur menghampiri bangku Budi.
“Kenapa jajananya belum dimakan? Apa kamu mau sesuatu yang lain? Kami bisa belikan.” ucap Fatur.
Budi menoleh, menatap Fatur dingin.
“Kamu pikir, dengan aku menerima jajanan dari temanmu itu, membuat aku bahagia?” tanya dengan suara tinggi.
Fatur terdiam, ia tidak tahu arti kata Budi. Ia menghela napas.
“Setidaknya perutmu bisa kenyang, dan kita bisa berteman...” jawab Fatur.
“Aku, tidak sudi berteman dengan kalian...” teriaknya.
Fatur kembali terdiam.
“Kalian pikir, saat kalian baik denganku bisa membuatku seperti kalian? Apa itu bisa membuatku tenang dan bahagia?”
salam kenal ya, jgn lupa mampir di 'aku akan mencintaimu suamiku' 🤗🤗
aku akan datang kalo udh UP lagi 😉
jangan lupa untuk mampir juga yaaa makasihhh