HALIM
Di dunia yang dikuasai oleh kegelapan, Raja Iblis dan sepuluh jenderalnya telah lama menjadi ancaman bagi umat manusia. Banyak pahlawan telah mencoba menantang mereka, tetapi tidak ada yang pernah kembali untuk menceritakan kisahnya.
Namun, Halim bukanlah pahlawan biasa. Ia adalah seorang jenius dengan pemikiran kritis yang tajam, kreativitas tanpa batas, dan… kebiasaan ceroboh yang sering kali membuatnya berada dalam masalah. Dengan tekad baja, ia memulai perjalanan berbahaya untuk menantang sang Raja Iblis dan kesepuluh jenderalnya, berbekal kecerdikan serta sistem sihir yang hanya sedikit orang yang bisa pahami.
Di sepanjang petualangannya, Halim akan bertemu dengan berbagai ras, menghadapi rintangan aneh yang menguji logikanya, dan terlibat dalam situasi absurd yang membuatnya bertanya-tanya apakah ia benar-benar sedang menjalankan misi penyelamatan dunia atau justru menjadi bagian dari kekacauan itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ILBERGA214, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 22: Tujuan Berikutnya — Desa Arven
Setelah insiden sumur tua dan danau kocak yang membuat perut Rian sakit karena terlalu banyak tertawa, perjalanan mereka akhirnya membawa mereka ke sebuah desa bernama Arven. Terletak di kaki pegunungan hijau, desa ini tampak damai dengan rumah-rumah kayu berjejer rapi dan ladang gandum yang menghampar luas. Asap tipis mengepul dari cerobong-cerobong rumah, menguarkan aroma roti panggang yang lezat.
"Wow! Tempatnya cantik banget!" seru Rian dengan mata berbinar.
Halim tersenyum tipis. "Setidaknya di sini kita bisa istirahat tanpa khawatir dikejar monster... mungkin."
Setelah memastikan pedangnya terselip rapi di pinggang, Halim menggandeng tangan Rian dan melangkah masuk ke desa. Penduduk desa menyambut mereka dengan pandangan ramah, meski beberapa anak kecil tampak sedikit penasaran dengan kehadiran orang asing.
Tak butuh waktu lama sebelum mereka menemukan rumah terbesar di tengah desa. Di depannya, seorang pria paruh baya dengan tubuh kekar dan kumis tebal sedang duduk di bangku kayu, menyeruput teh hangat dari cangkir tanah liat.
"Kau pasti orang luar," ucap pria itu dengan suara berat. "Selamat datang di Desa Arven. Aku Garda, kepala desa di sini."
"Halim," jawab Halim sambil menundukkan kepala sedikit. "Dan ini Rian."
"Hehehe, halo, Pak Kepala Desa!" Rian melambai dengan semangat.
Garda terkekeh melihat tingkah bocah itu. "Kalian datang untuk berdagang? Atau... petualang?"
"Petualang," jawab Halim singkat. "Kami hanya butuh tempat untuk beristirahat."
"Kalau begitu, kalian datang di saat yang tepat. Ada penginapan kecil di dekat alun-alun. Pemiliknya, Bibi Lira, pasti akan menyambut kalian dengan tangan terbuka."
Halim mengangguk. "Terima kasih."
Namun sebelum mereka beranjak, Garda menambahkan dengan nada sedikit serius, "Hati-hati saat malam. Beberapa hari belakangan ini, beberapa penduduk mengaku mendengar suara-suara aneh dari arah hutan. Kami tidak tahu pasti apa itu, tapi sebaiknya kalian tetap waspada."
Rian menelan ludah. "Suara aneh? Kayak... monster?"
"Belum tentu. Tapi lebih baik berjaga-jaga."
Tak lama kemudian, Halim dan Rian tiba di penginapan yang dimaksud. Sebuah rumah kayu dua lantai dengan papan bergoyang bertuliskan "Penginapan Lira" menyambut mereka. Di depan pintu, seorang wanita gemuk dengan senyum ramah langsung menyapa mereka.
"Selamat datang! Namaku Bibi Lira. Masuklah, Nak! Kalian pasti lelah."
Halim tersenyum tipis. "Terima kasih, Bibi."
Begitu mereka masuk, aroma rempah-rempah langsung menyergap hidung. Di meja tengah, sup hangat mengepul dengan potongan daging yang terlihat menggoda.
"Waaah! Kakak Halim, lihat! Sup daging!"
"Tidak perlu teriak-teriak," omel Halim, meski tak bisa menyembunyikan rasa laparnya sendiri.
Setelah mencuci tangan, mereka duduk dan menyantap hidangan dengan lahap. Rian bahkan sampai mengambil tiga mangkuk penuh, membuat Bibi Lira tertawa terbahak-bahak.
"Anak ini makannya banyak sekali!" ujar Bibi Lira sambil terkekeh.
"Dia memang seperti itu," balas Halim dengan nada pasrah.
Setelah kenyang, Halim dan Rian masuk ke kamar mereka di lantai atas. Meski sederhana, kamar itu cukup nyaman dengan dua tempat tidur kecil dan jendela yang menghadap langsung ke ladang gandum.
"Kakak Halim," panggil Rian sambil memandangi bulan di langit. "Menurutmu, suara aneh yang diceritakan Kepala Desa itu apa?"
Halim merebahkan diri di kasur, menatap langit-langit kayu. "Kalau itu benar-benar monster, biasanya akan ada jejak atau serangan. Tapi kalau cuma suara, mungkin ada sesuatu yang lain."
"Atau hantu?" bisik Rian dengan nada penuh drama.
Halim menoleh dengan ekspresi datar. "Kalau kamu dengar suara aneh, jangan panik. Yang penting tetap di kamar."
Rian mengangguk meski jelas terlihat sedikit takut.
Namun, seperti hukum alam yang selalu mengikuti mereka — saat seseorang berkata "Jangan Panik", justru saat itulah masalah muncul.
Tengah malam, udara dingin menyelimuti desa. Rian yang awalnya tertidur pulas tiba-tiba terbangun saat mendengar suara aneh dari luar jendela.
"Kreeek... kreeek..."
Suara itu menyerupai kayu tua yang berderit, disertai bisikan pelan yang tidak jelas asalnya. Dengan napas tertahan, Rian mengintip keluar. Tapi yang terlihat hanya ladang gandum yang bergoyang pelan ditiup angin.
"Ka... Kakak Halim," bisik Rian, mengguncang bahu Halim.
"Hmm... apa lagi?" gumam Halim setengah sadar.
"Ada suara aneh!"
Halim membuka satu mata dengan malas. "Mungkin cuma angin."
"Tapi... suara bisikan juga ada!"
"Kalau kamu takut, selimutan aja," balas Halim singkat, lalu membalikkan badan.
Rian mendecak kesal. "Ih, Kakak ini! Kalau aku diculik hantu, jangan nyesel!"
Dengan hati-hati, Rian mengambil lentera kecil di meja dan membuka pintu kamar perlahan. Koridor penginapan terlihat sunyi. Cahaya redup dari lentera membuat bayangan aneh menari-nari di dinding.
"Tidak ada hantu... Tidak ada hantu..." gumamnya, mencoba menyemangati diri sendiri.
Namun saat dia sampai di ujung koridor, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari bawah.
"Tok... tok... tok..."
Jantung Rian hampir copot. Dia menempelkan tubuhnya ke dinding, mencoba mengintip. Di bawah, sosok hitam dengan jubah panjang tampak berdiri di depan pintu penginapan.
"Astaga... Hantu beneran!"
Namun sebelum dia bisa kabur, pintu terbuka, dan sosok itu ternyata hanya seorang pedagang tua yang datang tengah malam.
"Ah, Bibi Lira! Masih buka? Aku membawa sedikit gandum dari ladang."
Rian menganga. "Seriusan? Cuma pedagang?"
Tanpa sadar, Halim sudah berdiri di belakangnya, menyeringai. "Rian... ngapain kamu di sini?"
Rian terlonjak kaget. "K-Kakak! Aku cuma... ngecek!"
"Ngecek ada hantu?"
"Ehehe... mungkin."
Halim menghela napas panjang. "Kamu memang bocah paling heboh yang pernah saya temui."
Setelah insiden konyol tadi malam, Rian tidur nyenyak sampai pagi. Cahaya matahari menyinari desa dengan lembut. Warga mulai sibuk di ladang, sementara Halim bersiap melanjutkan perjalanan.
Saat mereka berpamitan kepada Bibi Lira dan Kepala Desa Garda, Rian sempat bercerita tentang "hantu palsu" yang ternyata hanya seorang pedagang malam. Warga desa tertawa terbahak-bahak mendengar kisah itu.
"Sepertinya kau perlu belajar bedakan mana hantu, mana pedagang, Rian!" ledek Garda.
"Waaah, Kakak Halim! Mereka semua ngetawain aku!"
"Ya, itu karena kamu memang lucu," balas Halim sambil menahan tawa.
Meski merasa sedikit malu, Rian ikut tertawa juga. Dan dengan hati yang lebih ringan, mereka melangkah meninggalkan Desa Arven.
"Perjalanan kita pasti bakal makin seru, Kakak!"
"Ya... semoga tanpa insiden konyol lagi," jawab Halim sambil tersenyum.
Namun, di lubuk hatinya, dia tahu.
Kalau ada Rian di sisinya, kekacauan pasti hanya tinggal menunggu waktu.
sekarang semakin banyak yang mengedit dengan chat GPT tanpa revisi membuat tulisan kurang hidup. saya tahu karena saya juga pakai 2 jam sehari untuk belajar menulis. Saya sangat afal dengan pola tulisan AI yang sering pakai majas-majas 'seolah' di akhir kalimat secara berlebihan dengan struktur khas yang rapih.
ya saya harap bisa diedit agar lebih natural.
Udah baca eps 1 ini, ceritanya lumayan menarik. Kapan² gue kesini lagi ya kalau ada waktu, Semangat.