Heera Zanita. Besar disebuah panti asuhan di mana dia tidak tahu siapa orang tuanya. Nama hanya satu-satunya identitas yang dia miliki saat ini. Dengan riwayat sekolah sekedarnya, Heera bekerja disebuah perusahaan jasa bersih-bersih rumah.
Disaat teman-teman senasibnya bahagia karena di adopsi oleh keluarga. Heera sama sekali tidak menginginkannya, dia hanya ingin fokus pada hidupnya.
Mencari orang tua kandungnya. Heera tidak meminta keluarga yang utuh. Dia hanya ingin tahu alasannya dibuang dan tidak diinginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Fauziah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
[ Kau sudah berjanji akan mengantarkan aku. Kapan? ]
Pesan tanpa nama, tapi aku tahu siapa yang mengirim pesan itu. Aku tersenyum sedikit sembari membacanya. Padahal aku sudah lupa karena beberapa masalah yang tengah terjadi dalam hidupku.
[ Besok aku libur, Pa.]
Aku memasukan ponselku ke dalam tas. Ini sudah waktunya pulang kerja. Jadi, aku bisa sedikit meregangkan tubuhku karena seharian duduk di depan komputer.
"Kamu sudah mau pulang?" tanya Indah saat melihat aku memasukkan beberapa barang yang akan aku bawa.
"Iya. Kau bagaimana?"
"Aku ada lembur."
"Sayang sekali. Kalau begitu aku pergi dulu ya. Sampai bertemu besok."
Indah mengangguk. Aku keluar dari Home Clean. Mobil yang pagi tadi mengantarku sudah berada di depan gedung. Aku tidak menyangka Oma Melati benar-benar menjemputku untuk bertemu.
Tidak ingin menjadi pusat perhatian. Aku langsung masuk ke dalam mobil. Di sana bukan hanya Oma Melati, tapi juga ada Elvi yang duduk di samping pak sopir.
"Maaf membuat Oma menunggu," kataku.
"Tidak apa. Ayo jalan."
Entah akan di bawa kemana diriku. Aku hanya bisa diam dan tidak ingin bertanya. Bahkan aku mencoba memikirkan hal apa yang akan dibicarakan oleh dua orang ini padaku. Apa tentang pewaris perusahaan Hilmar atau mereka akan menendang diriku dari keluarga Hilmar.
Sampai di pinggiran kota. Aku tidak tahu tempat apa ini. Namun, di sini banyak gedung dan rumah yang sudah kosong. Tidak ingin terjadi hal di luar keinginanku. Aku mengirim posisiku pada Mada. Walau aku tidak bisa berharap banyak padanya.
Mobil berhenti tepat di sebuah rumah berlantai dua. Oma Melati dan Elvi turun, aku mengikutinya meski ragu.
Tidak aku sangka ada dua satpam yang bergegas membuka pintu gerbang. Mobil tidka ikut masuk hanya aku, Oma Melati, dan Elvi yang masuk ke rumah itu.
Rumah yang di luar begitu kotor tidak terawat, tapi di dalamnya begitu bersih dengan beberapa pelayan. Tempat apa ini? Aku hanya bisa bertanya dalam hatiku.
"Pelayan. Bawakan minum," kata Elvi.
Sampai di ruang tamu Oma Melati dan Elvi duduk. Aku juga ikut duduk. Sampai detik ini, aku masih memilih diam dan tidak bertanya apapun. Aku ingin mereka yang mengatakan tempat apa ini dan untuk apa aku di bawa ke tempat semacam ini.
Seorang pelayan datang dengan tiga gelas air minum. Aku melihat semua gelas itu isinya sama. Bahkan aku menatap jeli agar tidak sampai terjebak. Aku benar-benar berpikir negatif saat ini.
"Kau tidak bertanya kenapa aku membawamu datang ke sini?" tanya Oma Melati kemudian.
Aku menggeleng.
"Aku tidak menyangka Arga akan begitu percaya jika kau anaknya. Bahkan terang-terangan dia mengatakan kau penerus utama keluarga Hilmar."
Diam. Itu yang aku lakukan.
"Aku ingin kau melakukan apa yang Arga mau. Aku akan membayar berkali-kali lipat untuk hal itu. Aku juga berterima kasih kau sudah membuatnya kembali sehat seperti dulu."
Semua kalimat itu membuat jantungku berpacu dengan cepat. Sementara Elvi terlihat tenang, bahkan dia bermain dengan ponselnya tanpa ragu.
"Maksud Oma aku harus apa?"
"Jadilah putrinya. Buat dia memberikan semua aset dari keluarga Hilmar padamu, tapi aku ingin semua aset itu atas nama Elvi."
Tanpa sadar aku menoleh pada Elvi. Wanita itu mengangguk dengan bangga. Setahuku Elvi adalah anak angkat dari Oma Melati. Lalu kenapa dia ingin Pak Arga mengalihkan semua aset pada Elvi.
"Kau hanya babu. Jangan menatapku seperti itu."
Kalimat Elvi membuat aku semakin penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam keluarga ini.
"Elvi. Jangan menekan, Heera."
Elvi hanya memutar matanya malas dan kembali bermain dengan ponselnya.
"Bagaimana jika Pak Arga tahu aku membantu kalian?" tanyaku.
"Tenang saja. Dia itu pria bodoh, hanya karena kasih sayang dia begitu tulus mencintai orang. Bahkan padamu yang jelas-jelas bukan darah dagingnya."
"Bukankah Pak Arga anak kandung Oma? Kenapa Oma Melakukan ini?"
"Bodoh. Dia itu ibuku, Arga itu anak dari istri pertama keluarga Hilmar."
Plak!
Oma Menampar Elvi dengan keras. Mungkin karena Elvi sudah berani membuka suara tentang dirinya yang tanpa sadar membuat aku tahu rumitnya keluarga ini. Aku juga akhirnya tahu, kenapa Oma Melati sangat ingin Pak Arga kembali sehat. Dia ingin Pak Arga sendiri yang memberikan hartanya pada Elvi.
"Diam kamu."
"Benar apa yang aku katakan, Ma. Sudah cukup aku direndahkan di luar sana karena aku anak angkat. Aku mohon sayangi aku di saat tidak ada orang lain. Aku ini anakmu."
"Diam!"
Elvi menunduk dengan tangan memegang pipinya yang memerah. Oma Melati menatapku, aku menunduk. Aku harus bisa menjaga kepercayaan Oma Melati. Ternyata kehidupan orang kaya tidaklah mudah dan normal.
"Apa yang dia katakan, cukup kamu dengar."
"Baik, Oma."
*.*.*.*
Oma Melati dan Elvi memilih tinggal di rumah pinggiran kota itu. Sementara aku kembali ke apartemen di antar oleh sopir yang juga menjemputku tadi.
Dalam perjalanan kembali aku mencoba mencari artikel tentang keluarga Hilmar. Setidaknya aku akan tahu sedikit mengenai keluarga itu. Sayangnya tidak ada artikel yang menyebutkan jika Pak Hilmar menikah dua kali. Bahkan di artikel yang di temukan hanya satu anak dari keluarga Hilmar yaitu Pak Arga. Lalu anak siapa Elvi itu?
Ponselku berdering. Aku tidak menyangka jika Mada akan menelfonku saat ini. Padahal aku tengah marah padanya karena Leona.
"Kamu di mana? Aku baru saja membuka pesan dari mu."
"Aku dalam perjalanan pulang."
"Syukurlah. Kamu dengan siapa?"
"Sendiri."
"Kak Mada. Aku tidak tahu tentang ini, bisa bantu aku."
Suara Leona terdengar dari seberang telfon. Aku tahu saat ini Mada tengah bersama dengan Leona. Tidak aku sangka perasaanku akan sesakit ini mendengar wanita lain berada di sisi suamiku.
"Maaf sudah mengganggumu, kau bisa sibuk lagi."
Tanpa menunggu jawaban Mada. Aku memilih mematikan telfon itu. Aku beberapa kali mengatur nafasku agar lebih tenang. Ternyata balas budi bisa menjadi bumerang dalam hidup dan hubungan.
Aku masih bertahan sampai saat ini karena Mada masih memperhatikan diriku. Jika sampai suatu saat nanti Mada berhenti, di titik itu juga aku akan berhenti. Walaupun harus menahan sakit karena cinta lagi.
"Nona Heera. Sudah sampai."
"Terima kasih."
"Nona."
Aku menoleh kembali pada sopir itu.
"Anda tidak minum atau makan apapun di dalam sana, kan?"
Aku mengernyitkan dahi. Beberapa saat sopir itu mengecek dasbor dan ponselnya. Lalu kembali menoleh padaku.
"Jika makan atau minum. Aku harap anda langsung memuntahkannya. Saya permisi."
"Terima kasih."
Aku masih diam di tempat sampai mobil itu pergi. Aku tahu, pasti ada sesuatu di sana. Bahkan mungkin ini juga ada kaitannya dengan kematian ibuku dulu. Aku harus berhati-hati pada Oma Melati maupun pada Elvi.