Gita, putri satu-satunya dari Yuda dan Asih. Hidup enak dan serba ada, ia ingat waktu kecil pernah hidup susah. Entah rezeki dari Tuhan yang luar biasa atau memang pekerjaan Bapaknya yang tidak tidak baik seperti rumor yang dia dengar.
Tiba-tiba Bapak meninggal bahkan kondisinya cukup mengenaskan, banyak gangguan yang dia rasakan setelah itu. Nyawa Ibu dan dirinya pun terancam. Entah perjanjian dan pesugihan apa yang dilakukan oleh Yuda. Dibantu dengan Iqbal dan Dirga, Dita berusaha mengungkap misteri kekayaan keluarganya dan berjuang untuk lepas dari jerat … pesugihan.
======
Khusus pembaca kisah horror. Baca sampai tamat ya dan jangan menumpuk bab
Follow IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 ~
Rasanya tubuh Gita lelah, tangisannya seakan tidak berhenti. Sempat meraung saat melihat jenazah ibunya yang sudah siap dimakamkan. Dia hanya bisa mencium kening jasad Asih dan memeluknya.
Meski penuh tanya dalam benak Gita, bagaimana Asih meninggal. Kematian memang sebuah takdir, tapi ia perlu penjelasan saat-saat terakhir Ibunya meregang nyawa.
Hanya Ikbal dan ibunya -- kakak Asih -- yang setia mendampingi Gita termasuk di pemakamanan. Yuda seakan menghindari Gita yang pasti menuntut tanya dan juga khawatir, apa ia akan mendapatkan baladan yang sama seperti istrinya.
"Sudah ndok, ibumu biar tenang. Sedih boleh, tapi jangan begini. Memberatkan ibumu."
Gita seakan tidak bisa melangkah, ia merosot duduk di atas tanah di pusara Asih. Yuda baru saja meninggalkan pemakaman.
"Ayo Git," ajak Ikbal membantu Gita berdiri. "Kita pulang, kamu harus istirahat."
Banyak tanya bahkan sangat banyak yang akan disampaikan oleh Gita pada bapak. Namun, ia menunggu kondisi lebih tenang. Masih ada para pelayat dan keluarga besar.
"Bu, itu ada katering. Mau diturunkan di mana?" tanya Ikbal menghampiri ibunya yang berada di kamar Gita.
"Masjid saja, itu untuk dibagikan tahlil sehabis maghrib. Kamu urus di sana, maghrib setengah jam lagi."
"Loh, tahlil nggak di rumah?"
"Nggak, Pakde Yuda yang minta diadakan di sana."
Ikbal meninggalkan kamar Gita.
"Bapak bilang alasannya tidak mau tahlil di rumah?" tanya Gita.
"Tidak sayang, bapakmu cuma bilang itu keputusan dia."
"Bude, apa benar tubuh Ibu banyak luka?" tanya Gita lagi, ia sempat mendengar kerabatnya yang lain membicarakan jasad Asih banyak luka. Bahkan Yuda menolak Asih diotopsi dan melapor ke pihak berwajib.
"Iya. Bude ikut memandikan jenazah ibumu, tapi bude tidak bisa menjawab keingintahuan kamu yang lain. Biar Yuda sendiri yang akan menjelaskan."
"Jadi, ibu meninggal tidak wajar?"
"Entahlah Git, bude tidak bisa jawab. Takut salah. Kamu makan dulu ya, Ikbal bilang kamu baru sembuh."
"Tidak selera bude, mulutku rasanya pahit."
"Sedikit saja, bude suapi. Jangan buat ibumu tidak tenang karena kamu larut sedih begini."
Gita keluar dari ruangan tempat ibadah keluarganya juga para pekerja di rumah, baru saja sholat isya. Rumahnya tampak sepi, hanya ada pak Karto dan bapak paruh baya yang biasa mengurus kebun dan memastikan keamanan rumahnya sedang merapikan kursi, sofa dan furniture lain ke dalam rumah. Ruang tamu sempat dikosongkan untuk jenazah dan para pelayat.
"Sepi bener."
"Iya, padahal Pak Yuda banyak uang, kenapa tidak ada pengajian di rumah."
"Sudahlah bukan urusan kita. Kalau sudah rapi, kamu tutup pagar. Kita istirahat, aku nggak mau melek. Takut ada pocong Ibu Asih."
"Huss, mulutmu. Gimana kalau di dengar Mbak Gita, nanti makin sedih."
"Dari pada takut, Minah aja tidak berani keluar malam pasti minta Nani temani. Kalau malam, belakang rumah sudah jadi tempat pocong pesta."
Pocong? Berarti bukan hanya aku yang diganggu sosok itu, batin Gita.
Tidak ingin membuat dua pekerja itu salah tingkah karena kepergok membicarakan keluarganya, Gita memutar ke belakang lewat pintu dapur.
Langkahnya terhenti saat menatap pekarangan belakang yang dibatasi pagar khusus. Tanaman-tanaman di sana mati dan sebagian sudah kering baik daun dan rantingnya. Tubuhnya merinding membayangkan banyak pocong di sana.
Yuda kembali ke rumah hampir tengah malam, setelah tahlil ia pergi menemui dukun yang letaknya agak jauh. Konsultasi untuk menghentikan pesugihan, tidak ingin ia atau keluarganya menjadi korban.
Nyatanya Yuda harus gigit jari, dukun yang ia temui tidak dapat membantu. Hanya perantara awal pesugihan yang dapat menghentikan, apalagi perjanjian dilakukan dengan iblis yang bukan tandingan si dukun.
"Asih, maafkan aku," ucap Yuda saat memasuki kamarnya.
Masih berantakan, bahkan masih ada darah tercecer yang belum dibersihkan. Ruang ritual, Yuda sudah berada di depan pintu. Memegang gembok untuk membukanya.
Brak
Pintu bergetar karena ketukan dari dalam. Sudah memegang anak kunci ketika suara itu terdengar lagi.
Brak
Yuda pun melangkah mundur, urung melanjutkan keinginannya untuk masuk. Masih ada jenazah bekas tumbal di dalam.
Brak
"Astaga," pekik Yuda lalu meninggalkan tempat itu menuju kamarnya.
Memastikan sudah terkunci, Yuda langsung naik ke ranjang. Ia perlu tidur, menduga gangguan itu hanya halusinasi.
Merasa belum lama matanya terpejam, Yuda terjaga karena mendengar suara.
Tok tok tok
Tiga kali ketukan di jendela.
"Mas."
Terdengar suara lirih, mirip dengan suara Asih.
"Mas."
"Pergi set4n, kamu bukan Asih. Asih sudah tenang di alamnya." Yuda berteriak sambil menata sekeliling kamar.
"Mas, tolong aku."
"Asih," ucap Yuda.
Tok tok tok
Yuda turun dari ranjang menuju jendela, suara ketukan dan panggilan mirip suara Asih berasal dari sana.
Perlahan tangannya menyibak jendela dan pandangannya tertuju pada sosok pocong yang mengayunkan tubuhnya ke kiri dan kanan.