Betapa hancurnya perasaanku, saat aku tau suamiku menikah diam diam di belakangku dengan temanku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Pagi itu, setelah selesai mandi, aku mengenakan outfit kerjaku yang selalu menemani hari-hariku.
Dengan perasaan campur aduk, aku duduk di meja rias sambil menatap wajahku di cermin yang kerap menangisi kepergian Hans. Meskipun begitu, aku harus tetap merias wajahku agar tampak segar sepanjang hari.
Kutuang toner ke kapas, lalu dengan lembut kutekan-tepukkan kapas tersebut di wajahku. Setelah itu, aku mengaplikasikan cream siang dan sun care untuk melindungi kulitku dari sinar matahari.
Sebagai sentuhan terakhir, aku mengoleskan bedak agar wajahku tampak lebih halus dan cerah.
Aku melanjutkan dengan menggambar alis, memakai maskara untuk mempertegas bulu mata, dan mengaplikasikan blush on agar pipiku tampak merona. Tidak lupa, kugunakan lipstik di bibirku agar tampak lebih berwarna dan menarik.
Setelah puas dengan hasil riasan wajahku, aku berdiri dari dudukku, namun merasa ada yang kurang.
Ternyata, gaya rambutku belum sempurna. Aku pun mengambil catokan rambut dan mulai mencatok rambutku agar ujungnya tampak lebih rapi dan bergaya.
Kini, aku benar-benar siap untuk berangkat dan menghadapi dunia di luar sana, meskipun masih dengan rasa kehilangan yang mendalam atas kehilangan Hans dalam hidupku.
Pagi itu, langit cerah menyambutku saat aku menyiapkan sarapan untuk diriku sendiri. Aku menikmati sepiring nasi goreng dengan telur ceplok di atasnya.
Setelah kenyang, aku merapikan piring dan gelas di meja makan, lalu mengambil kunci mobil dari rak yang tergantung di dinding. Dengan langkah semangat, aku membuka pintu rumah dan melangkah keluar.
Ceklek
suara pintu terbuka dan aku segera menutupnya kembali. Saat membalikkan badan, tiba-tiba saja Rena sudah berdiri di depanku. Ia ada di teras rumahku, dengan ekspresi sinis di wajahnya.
"Hay Rea," ucap Rena dengan nada sinis.
"Rena!" aku terkejut melihatnya. "Ngapain kamu ke sini?"
Namun, Rena tidak langsung menjawab pertanyaanku. Ia justru menatapku dari ujung kaki hingga kepala, seolah mencari-cari sesuatu. Aku mulai merasa tidak nyaman dengan tatapannya.
"Kenapa kamu dandan seperti ini? Mau menggoda mas Hans? Supaya dia tidak mau bercerai?" tanya Rena dengan nada mengejek.
Aku tersentak, merasa tersudut oleh pertanyaan Rena yang terlalu pribadi. "Tentu tidak! Aku hanya ingin tampil rapi hari ini, dan aku bukan kamu ya Rena? Merebut suami orang" jawabku berusaha tenang.
Rena menyeringai sinis, seolah tidak percaya dengan jawabanku dan tidak terima. Namun, sebelum dia bisa melontarkan kata-kata pedas lainnya, aku berbalik dan berjalan menuju mobil, meninggalkan Rena yang masih berdiri di teras rumahku.
Aku tak ingin membiarkan omongannya menghancurkan hari yang seharusnya menyenangkan ini.
Rena mengejarku dengan langkah cepat dan tegap, matanya menatapku dengan penuh kebencian.
Tiba-tiba, dia meraih tanganku dengan kasar, membuatku terhenti dan kembali menatap wajahnya yang penuh emosi.
Aku kibaskan tanganku dengan keras, menatap tajam wajah Rena, perempuan yang terkenal dengan kejam dan tidak memiliki hati.
"Ada apa lagi, Rena?! Aku tidak pernah mengganggu hidupmu! Bahkan aku sudah memberikan apa yang kamu inginkan! Pergilah dan jangan ganggu aku lagi!" kesalku, mengumpat dalam hati.
Rena melepaskan genggamannya perlahan, matanya masih menatapku tajam. "Aku hanya ingin kamu menjauhi Hans," ucapnya dengan dingin.
Tawa keras terdengar dari bibirku, membuat Rena terlihat semakin kesal.
"Rena, Rena! Mata kamu masih beres kan? Tidak rabun? Kurang jelas apa, coba, aku sudah pergi menjauhi Hans! Kenapa kamu begitu takut jika Hans kembali padaku?" sindirku, mengejek ketakutan yang terpancar dari wajahnya.
Rena mengepalkan tangannya, menahan amarah yang kian memuncak. Namun, dia tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa aku telah menjauhi Hans seperti yang diinginkannya.
Sekarang, hanya tinggal masalah waktu sebelum kebenaran terungkap dan kebahagiaan palsu yang dibangunnya akan hancur berkeping-keping.
Aku berdiri di samping mobil dengan tangan di pinggang, menatap Rena dengan sinis. "Aku tahu kamu pasti takut kalah saing kan sama aku, Rena? Takut iya Hans masih mencintai ku?" ujarku sambil membuka pintu mobil.
Rena mendengus, wajahnya memerah. "Jangan kepedean kamu, Rea! Hans sekarang sangat mencintai ku! Aku takut saja Hans kembali dengan orang yang salah seperti kamu! Perempuan mandul!" ejek Rena sambil tertawa keras.
Aku tersenyum sinis. "Kamu yakin itu anak Hans?" tanyaku menantang.
Entah kenapa, tiba-tiba wajah Rena berubah seperti orang yang takut akan sesuatu. Padahal aku hanya asal ngomong doang.
"A-apa maksud kamu, Rea?" tanyanya dengan suara gemetar.
Aku mengangkat bahu dan tidak menjawab pertanyaannya. Sebaliknya, aku melirik ke arah perut Rena yang mulai membesar, lalu menutup pintu mobil dengan keras.
Ada sesuatu dalam reaksi Rena yang membuatku merasa ada yang tidak beres. Mungkin ada benarnya tebakan gila itu, mungkin saja anak yang dikandung Rena bukan anak Hans.
Dengan langkah cepat, aku menginjakkan pedal gas mobilku, meninggalkan halaman rumah tanpa mempedulikan Rena yang masih terpaku di sana. Aku tahu dia pasti merasa kecewa, tapi aku tak bisa berlama-lama.
Tak lama kemudian, ponselku berdering. Sambil tetap fokus di jalan, kuperiksa siapa yang menelponku. Ternyata Titin. Aku segera mengangkatnya.
Aku ["Hallo, Tin,"] sapaku singkat.
Titin ["Udah berangkat?" ]tanya Titin dengan nada penasaran.
Aku ["Lagi otw," ]jawabku ringkas.
Titin ["Oke, aku tunggu di kantor,"] ucap Titin sebelum menutup telepon.
Aku menghela napas lega, kemudian memfokuskan kembali perhatian pada jalanan di depanku.
Setelah beberapa saat, akhirnya aku tiba di kantor dan segera memarkir mobilku. Aku melangkah keluar dari mobil dengan hati berdebar, mempersiapkan diri untuk menghadapi hari yang melelahkan.
Begitu memasuki kantor, beberapa Kariawan menyapaku dengan ramah.
"Halo, pagi!" Sapa mereka
Aku tersenyum membalas sapaan rekan-rekan kerja yang kutemui di lantai lobi. Langkahku terhenti di depan pintu lift dan entah mengapa, tiba-tiba wajah dokter tampan Arka muncul di benakku.
Aku teringat betapa menenangkan suasana hati saat berada dekat dengannya, terutama saat di dalam lift beberapa waktu yang lalu.
Dengan berusaha sekuat tenaga, aku mengusir fikiran tentang dokter Arka yang tampan dan bersikap manis itu.
Pintu lift terbuka, lalu aku melangkah masuk dan menekan tombol lantai tempat ruanganku berada. Tak lama kemudian, pintu lift terbuka kembali dan aku segera berjalan menuju ruanganku.
Tak lama setelah aku masuk ke ruangan, Titin, rekan kerjaku, langsung menyusul dan duduk di hadapanku.
Ia terlihat cemas, dan tanpa basa-basi ia menceritakan bahwa para karyawan di kantor sedang membicarakan perihal rumah tanggaku yang belakangan ini dikabarkan sedang bermasalah.
Aku mencoba menenangkan diri dan meresapi setiap kata yang Titin sampaikan. Sebagai seorang istri, tentu saja aku merasa sedih dan terpukul mendengar hal tersebut.
Namun, aku harus tetap tegar dan menjalani kehidupan sehari-hari di kantor, meski kabar perselingkuhan mas Hans itu semakin ramai diperbincangkan.
***