Perjanjian antara sang Daddy dan Queena, jika dia sudah berusia 18 tahun dia diperbolehkan berpacaran.
"Daddy! Aku sudah mempunyai pacar! Aku sangat menyukainya."
Saat Queena mengatakannya, seakan dunia menjadi gelap. Vard Ramberd seketika emosi. Ia tak rela pria lain memiliki Queena, gadis itu adalah miliknya!
Dengan kasar Vard memanggul tubuh Queena di pundaknya, menjatuhkan gadis itu ke atas ranjang menindihnya. "Queena, kau selamanya adalah milikku!"
Setelah Vard menodai paksa Queena, gadis itu memandang penuh benci pada sang Daddy. "Aku membencimu, Vard Ramberd! AKU MEMBENCIMU!!!"
---Kuy ikuti kisahnya, lovers ♡
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Bangga Sebagai Daddy-nya.
Justin sudah tau ada yang membuntuti mobil mereka sejak keluar dari gerbang rumah, sekarang sudut matanya menghapal plat nomor mobil yang tidak jauh darinya.
"Bye, Honey. Belajar yang benar, Mommy pergi," ujar Esther seraya masuk ke dalam mobil.
Setelah melihat mobil Mommy-nya pergi, Justin melampirkan tas sekolahnya ke pundak. Dengan gaya sok dewasa, bocah itu memasukkan sebelah tangan ke dalam kantong celana depan, ia berjalan menghampiri mobil yang membuntuti mobilnya.
Tok... Tok... Tok...
Bocah itu dengan berani mengetuk pintu jendela mobil bagian kemudi, tapi yang terbuka adalah jendela di jok belakang.
"Ya?"
Degh! Daddy!
Justin terkejut, tak menyangka orang yang mengikutinya adalah Ayahnya. Tapi bukan Justin namanya jika memperlihatkan ekspresi terkejutnya, ia berwajah tenang. "Siapa Anda, Tuan? Kenapa mengikuti mobil Mommy-ku sejak dari rumahku?" bocah itu menaikkan sebelah alisnya sangat terlihat tengil.
Vard tergugu, lidahnya menjadi kelu karena di intimidasi oleh seorang bocah. "I-itu... anu... aku adalah teman kerja Mommy-mu. Tadi aku ada keperluan mendesak, jadi datang ke rumahmu. Tapi saat datang, mobil Mommy-mu keluar jadi aku mengikutinya kesini. Sekarang mobil Mommy-mu sudah pergi, aku juga harus pergi."
Justin menaruh sebelah tangannya di ambang jendela mobil sengaja menahan agar mobil tak pergi, dia menatap mata Daddy-nya dengan tajam dalam jarak dekat. "Anda berkata jujur, Tuan?"
"Tentu saja, aku-"
"Kenapa wajah Anda mirip denganku? Hm?" Justin melempar kartunya.
"Aa-" Vard terus tergagap bahkan tak bisa menjawab.
Justin menjauhi jendela mobil, menarik tubuhnya berdiri tegak, "Oke, Tuan. Selamat bekerja, silahkan ikuti Mommy-ku. Tapi..."
"Tapi?"
"Tapi... jika Anda bermaksud lain dengan mengikuti Mommy-ku. Aku tak akan segan-segan mengejar Anda dan memberi Anda pelajaran. Bye..." Justin melangkah menjauh seraya tersenyum.
"Kau dengar itu Taylor! Kau lihat wajahnya! Aku sampai gemetaran! Bocah hebat! Dia anakku, dia putra Vard Ramberd! Hahaha..." Vard tak kuasa menahan rasa bangganya.
"Uhuukkk, tapi Presdir... sepertinya akan susah mendekati Nona Queena melihat ke-proktektifan putra Anda."
Vard menatap punggung gagah putranya yang memasuki sekolah, "Kalau begitu aku akan mendekati dulu putraku, baru Mommy-nya," pria itu tersenyum percaya diri.
"Anda yakin bisa?" tanya sang Assisten.
"Kau meragukanku?"
"Jujur, ya. Saya masih merinding mendengar ancaman halusnya berusan, putra Anda mirip sekali dengan Anda saat sedang menahan sesuatu."
"Hahaha... itu membanggakan, aku bangga sebagai Daddy-nya." Vard tersenyum puas, "Kau cari jadwal sekolah putraku, lalu hobinya, semua kesukaannya. Makanan, barang apapun."
"Ya, Presdir."
***
Saat makan siang, Xavier sengaja datang ke kantor Esther. Ia membawa seikat mawar merah, "Apa Ibu Esther masih di ruangannya?" tanyanya pada sekertaris kantor.
"Ya, Tuan Xavier. Anda ingin saya memberitahukan kedatangan Anda atau Anda masuk sendiri, Tuan?"
"Saya akan mengetuk pintunya sendiri."
"Baiklah, silahkan."
Xavier tersenyum, sesekali mencium wangi bunga di genggaman tangannya.
Tok... Tok...
"Esther, ini aku Xavier."
"Masuk."
Xavier membuka pintu perlahan, melihat mata Eather sedang fokus pada layar komputer di meja kerjanya dia menutup pintu perlahan. Tanpa ingin menganggu, dia duduk di sofa.
"Ada apa?" tanya Esther tanpa memandang pria yang baru duduk di sofa ruangan kantornya.
"Mari makan siang, aku bilang ingin pendekatan denganmu. Aku mengajakmu bukan memaksamu, kalau kamu tidak ingin pergi tolak saja."
Gerakan jari-jari ramping Esther di atas tuts-tuts komputer terhenti, dia menoleh pada Xavier. "Berikan aku 5 menit," setelah mengatakan nya dia kembali memijit komputernya.
Senyum di bibir Xavier mengembang, dia menunggu dengan sabar.
"Ayo, aku sudah selesai." Esther mengambil tas-nya, berjalan menghampiri Xavier di sofa.
"Ini, bawa pulang. Beri air biar terus mekar." Xavier menyodorkan bunga mawar di tangannya.
"Mawar merah lagi?" lirih Esther tapi terdengar oleh Xavier.
"Lagi? Aku baru kali ini memberikan mawar merah, biasanya mawar putih."
"Ah, itu. Tadi pagi ada yang mengirimiku mawar merah, ayo pergi. Terima kasih bunganya."
Kening Xavier mengerenyit mendengar ada yang mengirim bunga pada Esther, ia sedikit tak suka.
Sampai di mobil, Xavier membuka pintu mobil untuk Esther, setelah Esther masuk ia berputar ke depan mobil lalu masuk ke kursi kemudi membawa pergi mobil dari sana.
Sepasang mata menatap kesal dari dalam mobil saat melihat interaksi mereka berdua, "Itu pria yang memeluk Queena kemarin di hotel, bunga di tangan Queena beda kemasan nya. Apa pria itu yang memberikan bunga itu?" gumam Vard cemburu. "Cari tau siapa dia, Taylor. Sekarang ikuti mereka."
"Ya, Presdir."