Janda Bohay

"Aku ikut saja apapun keputusan Mas Djiwa," kata Mawar dengan penuh keyakinan.

Djiwa tersenyum bahagia mendengar jawaban Mawar. "Sebenarnya aku membawa berita gembira buat kamu. Setelah melihat hasil kerjaku selama seminggu, perusahaan memutuskan untuk menerimaku bekerja sebagai karyawan kontrak. Kini aku punya penghasilan sendiri untuk menghidupi kamu. Yang lebih membahagiakan lagi adalah aku bisa mengerjakan pekerjaanku di rumah. Aku bisa membantu kamu sekaligus bekerja. Itulah mengapa aku ingin menikahi kamu secepatnya. Aku yakin aku bisa membahagiakan kamu, Mawar."

"Beneran, Mas? Alhamdulillah, tidak sia-sia aku mendoakan kamu di setiap shalat. Aku senang pada akhirnya kamu memiliki pekerjaan. Sepertinya memang sudah jalan kita ya. Allah mempermudah niatan kita untuk berumah tangga. Rezeki pun diberikan sama Allah," kata Mawar dengan senyum di wajahnya. Matanya berbinar-binar bahagia.

"Iya, alhamdulillah. Mas pulang dulu ya. Mas harus berbicara dengan kedua orang tua Mas. Mas mau, kita menikah secepatnya. Kalau perlu hari minggu besok kita sudah menikah." Djiwa lalu pamit dan pulang ke kontrakannya.

Djiwa lalu menghubungi asisten pribadinya dan menyuruh Rendi datang ke rumah kontrakannya malam ini juga. Dengan wajah bete dan kesal Rendi pun datang. Matanya terlihat mengantuk dan lelah.

Djiwa mengajak Rendi masuk ke dalam dan mengunci pintu agar Mawar tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. Rendi lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur tipis milik Djiwa.

"Kenapa sih? Gue ngantuk nih! Kalau nggak penting-penting banget, besok aja deh bicarainnya!" gerutu Rendy.

"Kenapa jadi lo yang ngatur gue? Lo tuh bawahan gue tahu! Gue mau kasih pengumuman penting sama lo, buka telinga lo lebar-lebar dan dengarkan dengan baik-baik!"

"Iya. Pengumuman apa sih?"

"Ren, gue akan menikahi Mawar!" kata Djiwa.

"Udah deh bercandanya, Wa. Gue ngantuk! Gue sampai naik taksi loh kesini karena udah nggak kuat nyetir mobil sendiri," gerutu Rendi.

"Ren, gue serius! Tadi gue udah melamar Mawar dan Mawar menerima pinangan gue. Kami berdua memutuskan akan segera menikah secara siri. Secepatnya," kata Djiwa.

Rendy yang sudah hampir terpejam kini membelalakkan matanya dan duduk tegak. "Lo serius? Jangan macam-macam deh lo, Wa! Lo tuh enggak ada rencana buat nikahin Mawar! Sejak awal, lo tuh cuma main-main doang. Lo cuma bersenang-senang karena menemukan gadis polos sesuai dengan tipe lo. Sekarang kenapa tiba-tiba lo jadi pengen nikahin Mawar? Jangan gila deh!" omel Rendi panjang lebar.

"Loh, apa yang salah? Gue mencintai Mawar, dan Mawar juga mencintai gue. Memangnya kenapa kalau kita berdua menikah? Biarin aja dong!" jawab Djiwa.

"Nih anak kalau dibilangin susah ya! Kalau sampai bokap dan nyokap lo marah, mereka akan ngamuk dan menggunakan berbagai cara untuk merusak pernikahan kalian. Sadar enggak sih?" Rendi terlihat gemas dengan jawaban Djiwa yang agak ngeyel.

"Ya ... jangan sampai mereka tahu. Gue nggak akan mengundang mereka dan gue masih akan terus menutupi pernikahan gue. Mawar juga nggak perlu tahu siapa gue yang sebenarnya. Semua ada waktunya. Gue akan memperkenalkan Mawar pada kedua orang tua gue di saat yang tepat nanti, tapi bukan sekarang," jawab Djiwa.

"Kalau mereka ngecek di KUA bagaimana? Pasti akan ketahuan kalau lo tuh udah nikah sama Mawar!"

"Gue belum berniat mendaftarkan pernikahan kami berdua secara resmi. Gue dan Mawar akan nikah siri dulu dan tugas lo adalah mempersiapkan semua keperluan pernikahan gue. Ingat, saat ini gue tuh cuma pemuda miskin yang baru diterima bekerja. Jangan membuat sesuatu yang berlebihan. Sederhana saja, yang penting gue dan Mawar bisa nikah," perintah Djiwa.

"Wa, masalah persiapan itu kecil. Orang tua lo gimana? Masa sih lo nikah nggak ada orang tua? Mawar pasti akan curiga, belum tetangga sekitar sini, mereka akan cari kelemahan lo," ujar Rendi.

"Gue nggak peduli. Gue mau nikah sama Mawar dan gue nggak akan mikirin apa pendapat orang di sekitar sini. Kalau masalah orang tua, gue minta tolong ajak kedua orang tua lo dan minta mereka berakting layaknya orang tua kandung gue sendiri," perintah Djiwa.

"Ah, udah gila lo! Lo mau orang tua gue berakting untuk acara sepenting ini dan berbohong jadi orang tua kandung lo? Gila, Wa. Gila! Lo tuh udah melangkah terlalu jauh! Memangnya lo nggak bisa menyudahi semua akting lo ini? Lo mau dapat apa sih? Piala penghargaan? Gue akan bikin piala yang lo mau semuanya! Yang penting, sekarang lo pulang. Sudahi kelas akting lo ini." Rendy terlihat begitu putus asa karena Djiwa akan melakukan hal yang gila dan terlalu berisiko untuk masa depannya dan keluarga.

"Tolong dong, Ren. Kali ini saja. Lo tahu sendiri bagaimana orang tua gue. Papa cuma pengen cucu yang akan meneruskan usahanya nanti. Mama ingin punya menantu yang bisa dia pamerkan ke teman-temannya. Mereka berdua cuma ingin gue menuruti setiap permintaan mereka. Gue nggak mau, Ren. Gue nggak bisa menjalani pernikahan tanpa ada perasaan sama sekali," kata Djiwa.

Djiwa menenangkan diri dan mulai membujuk Rendi. "Semenjak mengenal Mawar, gue sudah mulai menyingkirkan posisi Melati dari hati gue. Perlahan gue melupakan wanita yang begitu gue cintai. Sekarang, gue mau memulai hidup baru gue, Ren. Mungkin caranya salah karena gue ingin menikahi Mawar secara siri, tapi percayalah gue akan menjadi suami yang bertanggung jawab untuk Mawar," kata Djiwa dengan sungguh-sungguh.

Rendi tak bisa lagi menolak. Djiwa adalah atasan yang baik, walaupun kadang suka jahil dan merepotkan seperti ini. Rendi tak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti kemauan Djiwa. "Terserah lo deh. Ingat ya, resiko lo tanggung sendiri! Gue punya firasat kalau lo bakal terkena masalah jika terus meneruskan hubungan lo ke jenjang selanjutnya."

Djiwa menghela nafas dalam. Ia pun tau apa resiko yang akan dihadapinya. "Gue tau, Ren. Itu resiko gue. Untuk saat ini, biarkan gue menyembunyikan hubungan gue dan Mawar dulu. Gue enggak mau melihat Mawar terus digoda oleh Pak Lurah dan laki-laki centil lain. Entah kenapa, ada perasaan tak rela saat ada lelaki yang mau melamar Mawar. Mawar milik gue, Ren. Gue akan memperjuangkan Mawar!"

Rendi geleng-geleng kepala dengan ketetapan hati Djiwa. "Kapan lo mau nikah?" tanya Rendi yang sudah pasrah.

"Minggu ini. Bantu gue ya, Sob!" Djiwa menepuk bahu sahabatnya dengan tatapan minta tolong.

"Sudah kepalang tanggung, gue harus nyebur sekalian. Minggu besok, lo tinggal nikah saja. Semua akan gue siapkan. Meski gue tau ini akan jadi masalah pada diri lo nantinya, gue sebagai sahabat lo cuma mau lo bahagia. Gue balik dulu!" Rendi pun meninggalkan rumah kontrakkan Djiwa dengan tambahan pekerjaan baru.

****