Sadiyah, seorang gadis yatim piatu, terpaksa harus menerima perjodohan dengan cucu dari sahabat kakeknya. Demi mengabulkan permintaan terakhir sahabat kakeknya itu, Sadiyah harus rela mengorbankan masa depannya dengan menikahi pria yang belum pernah ia temui sama sekali.
Kagendra, pengusaha muda yang sukses, terpaksa harus menerima perjodohan dengan cucu dari sahabat kakeknya. Disaat ia sedang menanti kekasih hatinya kembali, dengan terpaksa ia menerima gadis pilihan kakeknya untuk dinikahi.
Setelah pernikahan itu terjadi, Natasha, cinta sejati dari Kagendra kembali untuk menawarkan dan mengembalikan hari-hari bahagia untuk Kagendra.
Apakah Sadiyah harus merelakan pernikahannya dan kembali mengejar cita-citanya yang tertunda? Akankan Kagendra dan Natasha mendapatkan cinta sejati mereka?
Siapa yang akan bersama-sama menemukan cinta sejati? Apakah Sadiyah dan Kagendra? Ataukah Natasha dan Kagendra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raira Megumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Berdebar
Satu bulan sudah, Sadiyah menjalankan kehidupan barunya bersama Kagendra yang berjalan dengan aman dan sentosa. Selama satu bulan ini, Sadiyah semakin rajin menonton acara masak di youtube dan langsung mempraktekkannya. Bersyukur, Kagendra selalu menghabiskan masakan yang dibuat oleh Sadiyah yang menandakan bahwa Kagendra semakin kecanduan dengan rasa masakan dari istrinya itu.
Pagi ini, Sadiyah tertidur kembali setelah sholat shubuh, sepertinya ia terlalu kelelahan karena semalam tidur sampai larut mempersiapkan dan mengkonsep rencana pengembangan usahanya yang akan dikembangkan di kota tempat tinggalnya sekarang. Karena kota yang ditempatinya sekarang adalah kota megapolitan yang jauh lebih luas dan besar dibandingkan kota tempat tinggalnya dahulu, maka konsep pengembangan usahanya harus direncanakan sebaik-baiknya. Dengan banyaknya kompetitor di kota ini, tentu saja Sadiyah dan timnya harus bekerja keras agar produk-produknya bisa diterima dengan baik.
“Aa, maafkan, saya tidak sempat memasak untuk sarapan Aa.” Sadiyah baru saja terbangun ketika Kagendra masuk ke dalam kamarnya setelah selesai dari kegiatan rutinnya berlari pagi.
“Siapkan saja sarapan seadanya.” sahut Kagendra sambil membawa handuk dan masuk ke dalam kamar mandi.
Sebelum Sadiyah keluar dari kamar, ia persiapkan pakaian kerja lengkap dari mulai dalaman hingga jas Kagendra. Setelah selesai menyiapkan pakaian Kagendra, Sadiyah segera bergegas menuju dapur untuk membuat sarapan.
Malang bagi Sadiyah, ketika melihat isi kulkas yang sudah kosong, hatinya mencelos. Telur pun tinggal tersisa satu butir saja. Sadiyah jarang membeli roti karena Kagendra lebih memilih sarapan dengan nasi dibandingkan sarapan dengan roti.
“Aku harus bikin apa ini buat sarapannya A Endra?” Sadiyah berpikir keras.
Sadiyah teringat jika di lantai bawah gedung ada minimarket yang buka 24 jam. Dengan segera ia memakai jilbab dan kardigannya, lalu ia mengambil uang dalam dompetnya dan langsung melesat berlari menuju minimarket tersebut untuk membeli apa saja yang bisa dimasak untuk membuat sarapan.
Beruntung, di minimarket menjual gimbap berbentuk segitiga, nasi dengan isian ikan tuna. Langsung saja Sadiyah menyambar dua gimbab bentuk segitiga itu, dengan cepat membayarnya dan melesat berlari dengan kekuatan penuh kembali menuju unitnya dan berharap suaminya itu belum selesai mandinya.
Sadiyah sampai di unitnya dengan nafas yang ngos-ngosan. Beruntung Kagendra masih berada di dalam kamar madinya. Setelah tinggal bersama selama satu bulan lebih, Sadiyah sudah tahu banyak kebiasaan-kebiasaan Kagendra yang salah satunya adalah mandi dengan durasi waktu yang cukup lama. Jika Sadiyah hanya membutuhkan mandi paling lama sepuluh menit saja, Kagendra membutuhkan waktu selama tidak kurang dari 20 menit dan terkadang lebih. Sadiyah terkadang bingung, apa saja yang dilakukan oleh suaminya itu sampai berlama-lama di kamar mandi.
Sadiyah masih sempat juga membuatkan Kagendra kopi dan menggoreng telur ceplok untuk menambah kadar protein dalam menu sarapannya.
“Uh, tadi kenapa gak sekalian beli telur. Ini telur tinggal sebutir gini. Gimana kalau nanti A Endra protes cuma dikasih telur satu doang. Ah bodo amat deh, segini juga mustinya bersyukur masih ada yang mau bikinin dia sarapan” rutuk Sadiyah.
Segelas kopi tanpa gula, dua buah gimbab segitiga dan satu telur ceplok telah siap untuk disantap oleh Kagendra.
Tak lama setelah Sadiyah selesai memindahkan telur ceplok buatannya ke dalam piring, Kagendra keluar dari kamarnya, seperti biasa tampil cemerlang dan gagah dengan setelan jas berwarna abu tua, dipadu dengan warna dasi yang senada. Tampilan Kagendra seperti ini membuat hati banyak gadis terutama para pekerja wanita di perusahaannya berdegup lebih kencang ketika berpapasan dengannya. Tak terkecuali dengan Sadiyah yang selama satu bulan ini harus menahan debaran dalam dadanya setiap kali melihat Kagendra dengan tampilan yang segar seperti pagi ini.
Kagendra duduk menghadap meja bar dan melihat menu sarapannya pagi ini berbeda dengan menu-menu sarapan sebelumnya.
“Kamu tidak masak?” tanya Kagendra pada Sadiyah yang sedang mencuci katel bekas menggoreng telur ceplok. Ia merasa sedikit kecewa karena pagi ini tidak bisa menikmati masakan buatan istrinya. Sepertinya Kagendra sudah sangat kecanduan dengan masakan Sadiyah yang terasa enak dan pas di lidahnya.
“Maaf, A. saya tidak sempat masak. Bahan-bahannya pun sudah habis. Ini juga telur tinggal satu butir saja.” Sadiyah dengan cepat menyelesaikan mencuci katelnya dan duduk di hadapan Kagendra.
“Lain kali, kamu cek isi di dalam kulkas. Jika sudah kosong, kamu cepat belanja. Kan sudah saya beri uang di awal bulan. Saya pikir 10 juta cukup untuk belanja selama satu bulan.” ujar Kagendra sambil membuka bungkus gimbabnya.
“Iya A. sangat cukup. Hanya saja memang ini keteledoran saya karena gak memeriksa isi kulkas. Pagi ini, saya mau belanja ke pasar. Aa mau request apa untuk nanti makan siang. Iyah eh saya janji deh nanti bakal masakin makanan kesukaan Aa. Mau ayam teriyaki dan sapo tahu?” tanya Sadiyah.
“Bosan. Dua hari yang lalu kamu masak itu.” jawab Kagendra.
“Jadinya mau apa dong?” tanya Sadiyah lagi.
Kagendra tampak berpikir untuk memilih menu makan siangnya nanti
“Kamu buatkan kwetiaw seafood saja.” jawab Kagendra setelah berpikir agak lama. Ia ingat kalau ia sangat suka rasa dari kwetiaw goreng buatan istrinya itu. Rasanya sama enak seperti rasa kwetiaw yang sering ia makan di Solar*a. Bahkan Kagendra merasa jika kwetiaw goreng buatan istrinya itu lebih special dibandingkan dengan yang dijual di restoran karena Sadiyah menambahkan ayam dadu dan seafood yang lebih banyak dibandingkan yang disajikan oleh restoran terkenal itu.
“Siap, Bos.” Sadiyah menjawab dengan semangat sambil mengacungkan tangan kanannya ke udara tanda dia sangat bersemangat untuk membuatkan menu favorit suaminya itu.
“Banyakin sayur, ayam dan udangnya.” pinta Kagendra.
“Okay” Sadiyah membuat tanda lingkaran dengan jari jempol dan telunjuknya sambil mengedipkan mata kirinya.
Kagendra tersenyum menyunggingkan ujung-ujung bibirnya melihat apa yang dilakukan oleh Sadiyah.
Senyuman Kagendra seketika menghangatkan hati Sadiyah. Jantungnya semakin berulah membuat dadanya terasa sesak dan ia memalingkan wajahnya dari tatapan Kagendra yang seakan-akan menembus langsung jantungnya untuk menyembunyikan semburat merah yang mungkin tampak jelas di pipi putihnya.
“Ya Allah, suamiku ganteng banget sih. Duh tatapannya itu berasa menancap langsung ke jantung. I think I love him.” hati Sadiyah berbunga-bunga.
“Saya berangkat kerja dulu.” Kagendra beranjak dari duduknya setelah menghabiskan tetes terakhir dari kopinya.
“Iya A.” Sadiyah ikut berdiri dari duduknya dan mengantarkan Kagendra sampai ke depan pintu. Ia kemudian mencium punggung tangan Kagendra dengan takzim. Kebiasaan seperti ini yang menghiasi suasana tiap pagi mereka selama satu bulan ini.
Setiap kali Sadiyah mencium punggung tangannya, Kagendra merasakan dorongan yang sangat kuat dari dalam hatinya untuk mencium kening Sadiyah. Tapi rasa gengsinya selalu mengalahkan keinginan hatinya itu. Tapi tidak demikian dengan pagi ini. Keinginan hatinya memenangkan pertarungan melawan rasa gengsinya. Pagi ini, Kagendra mendekatkan bibirnya pada puncak kepala Sadiyah dan dengan kesadaran penuh mencium puncak kepala istrinya.
“Eh….” Sadiyah terkesiap kaget merasakan kecupan bibir Kagendra pada puncak kepalanya. Ia mendongakkan kepalanya menatap wajah suaminya.
Kagendra terpaku melihat wajah polos Sadiyah yang menatap wajahnya dengan ekspresi kaget. Ia tidak tahan ingin mengecup bibir berwarna pink natural milik perempuan di hadapannya yang sepertinya memang mengundang bibir Kagendra untuk menyapa dengan lembut.
Cup….
Kagendra mengecup kening Sadiyah yang dengan suksesnya membuat jantung Sadiyah berdebar dengan sangat kecang dan pastinya semburat merah menghiasi wajah Sadiyah.
“Saya berangkat. Assalamu’alaikum.” pamit Kagendra cepat karena ia pun merasakan debaran aneh jantungnya setelah mengecup kening Sadiyah.
“Wa’alaikumsalam.” sahut Sadiyah lirih. Setelah pintu tertutup, Sadiyah meremas da-da kirinya yang semakin terasa aneh, tubuhnya meluruh seperti tak bertulang.
“Astaghfirulloh. I’m scared. I think I really love him. Gimana kalau cinta ini gak berbalas.” Sadiyah merasakan sedikit ketakutan dengan perasaannya ini.
“Ah bodo amat deh. Semua orang berhak untuk jatuh cinta.” setelah meyakinkan hatinya, Sadiyah segera mandi untuk berbelanja di pasar. Hatinya senang tak kepalang memikirkan dirinya akan memasak makanan kesukaan Kagendra.
Jam menunjukkan angka sembilan ketika ia kembali ke unit apartemennya setelah selama satu jam asyik berbelanja di pasar tradisional yang memang tidak terlalu jauh dari gedung apartemennya.
Sambil menunggu waktu memasak, Sadiyah meneruskan rancangan konsep untuk pengembangan usahanya itu. Sadiyah baru selesai membaca laporan dari Gita, adik kelasnya sewaktu kuliah yang dia percaya untuk mengelola perusahaan kecilnya di kota kelahirannya. Ia mengucap syukur setelah mengetahui bahwa usahnya itu semakin berkembang. Untuk memulai pengembangan usahanya di kota tempat ia tinggal sekarang, hampir setiap hari Sadiyah berkoordinasi dengan Gita dan Reza sebagai persiapan pengembangan usahanya.
Tak terasa waktu seakan merambat dengan cepat, jarum pendek jam sudah menujuk ke arah angka 10 dan jarum panjangnya hampir mendekati angka enam.
“Astagfirulloh, sudah jam setengah sebelas, aku belum masak buat makan siangnya A Endra.” Sadiyah terlonjak kaget ketika mengetahui bahwa ia terlalu asyik dengan pekerjaannya dan hampir lupa dengan kewajibannya membuatkan makan siang untuk suaminya. Beruntung tadi pagi Kagendra hanya meminta dibuatkan satu macam menu saja sehingga tidak terlalu menghabiskan banyak waktu.
Sadiyah segera berkutat di dapur dan dengan tenaga penuh ia memasak makanan kesukaan Kagendra itu. Ia mengetahui makanan ini menjadi makanan kesukaan Kagendra karena suaminya itu beberapa kali meminta Sadiyah untuk memasakan menu tersebut padanya. Selama satu bulan ini, Sadiyah setiap hari membuatkan makan siang dan mengantarkannya langsung ke kantor Kagendra yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 15 menit.
Setelah berhasil menuntaskan pekerjaan memasaknya dalam waktu satu jam saja, Sadiyah segera berganti pakaiannya bersiap untuk mengantarkan bekal makan siang untuk Kagendra.
Jam setengah dua belas, Sadiyah sudah mulai berjalan kaki menuju kantor tempat suaminya bekerja. Hari ini, Sadiyah memakai pakaian santai berupa kaos tunik berwarna abu tua yang dipadukan dengan celana bahan jeans yang tidak ketat, ditambah jilbab berwarna abu muda yang semakin mempercantik tampilannya.
Sesampainya di depan pintu ruangan Kagendra, Sadiyah tidak melihat sekertaris suaminya yang biasanya selalu hadir menyapa dirinya ketika akan memberikan bekal makan siang. Tanpa curiga, Sadiyah langsung membuka pintu ruangan Kagendra.
“Assalamu’alaikum….” sapa Sadiyah tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
“Astaghfirulloh…..” Sadiyah terpaku melihat adegan yang terjadi di depan matanya.
semangat