NovelToon NovelToon
Jodohku Ternyata Kamu

Jodohku Ternyata Kamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Office Romance
Popularitas:304
Nilai: 5
Nama Author: Yoon Aera

Rizal mati-matian menghindar dari perjodohan yang di lakukan orang tuanya, begitupun dengan Yuna. Mereka berdua tidak ingin menikah dengan orang yang tidak mereka cintai. Karena sudah ada satu nama yang selalu melekat di dalam hatinya sampai saat ini.
Rizal bahkan menawarkan agar Yuna bersedia menikah dengannya, agar sang ibu berhenti mencarikannya jodoh.
Bukan tanpa alasan, Rizal meminta Yuna menikah dengannya. Laki-laki itu memang sudah menyukai Yuna sejak dirinya menjadi guru di sekolah Yuna. Hubungan yang tak mungkin berhasil, Rizal dan Yuna mengubur perasaannya masing-masing.
Tapi ternyata, jodoh yang di pilihkan orang tuanya adalah orang yang selama ini ada di dalam hati mereka.
Langkah menuju pernikahan mereka tidak semulus itu, berbagai rintangan mereka hadapi.
Akankah mereka benar-benar berjodoh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoon Aera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mencoba Tidak Terpancing

Suasana rumah itu terasa lebih hening dibanding sebelumnya, meski jantung Yuna masih berdetak cepat.

Dia duduk di samping Rizal, matanya tertuju pada kaki laki-laki itu, karena dari tadi dia terus menunduk.

“Kenapa pak Rizal… ngomong kayak gitu di depan semuanya?” suaranya lirih, hampir tak terdengar.

Rizal menggeser tubuhnya, lalu berbalik menghadap Yuna. Tatapannya menancap langsung ke mata Yuna.

“Karena aku nggak mau mereka menganggap kamu pilihan cadangan. Dan…” Diaa menunduk sedikit, nada bicaranya melembut.

“Aku memang mau menikah dengan kamu.”

Yuna mengerjap cepat, mencoba mencari balasan, tapi kata-kata itu seperti membekukan lidahnya.

“Pak Rizal… nggak perlu memaksakan diri cuma karena perjodohan ini.” ucapnya akhirnya, berusaha menjaga jarak.

Rizal tersenyum tipis, namun matanya serius.

“Siapa bilang aku terpaksa?” Ia mendekat memegang kedua bahu Yuna.

“Yuna… dari awal aku ingin kamu yang jadi istriku. Perjodohan ini cuma cara semesta mempertemukan kita.”

Yuna menunduk, mencoba mengatur napas yang terasa berat. Ada rasa hangat menjalari dadanya, tapi juga takut, takut kalau perasaan yang dia simpan sejak dulu hanya bertepuk sebelah tangan.

“Kalau kamu butuh waktu… aku akan tunggu.” Lanjut Rizal, suaranya begitu tenang namun penuh keyakinan.

“Tapi tolong, jangan lari lagi.”

Yuna mengangguk pelan, masih tak sanggup menatapnya terlalu lama. Saat itu juga ia sadar, Rizal bukan hanya guru olahraganya di masa SMA dulu, bukan hanya pria yang pernah membuatnya gugup sampai lari dari hadapannya… dia kini adalah seseorang yang perlahan membuka kembali pintu hatinya.

“Satu hal lagi...”

“Hmmm?” Yuna refleks menatap Rizal.

“Berhenti memanggilku pak atau bapak... Aku ini calon suamimu, hmmm?”

Yuna mengangguk, tapi tak lantas membuatnya menemukan panggilan baru untuk Rizal. Rasanya sudah mendarah daging panggilan ‘pak’ darinya untuk Rizal.

*****

Hari-hari berikutnya, Yuna kembali ke rutinitasnya di kantor.

Seolah tidak pernah ada kejadian besar yang mengubah hidupnya, dia tetap bekerja dengan fokus, menunduk pada layar laptop, dan berusaha tidak menarik perhatian siapa pun.

Meski hubungannya dengan Rizal kini lebih jelas, Yuna memilih menyimpannya rapat-rapat dari rekan kerjanya.

Berbeda dengan Rizal.

Laki-laki itu sama sekali tidak berusaha menyembunyikan ketertarikannya.

Ia sering memanggil Yuna ke ruangannya, kadang hanya untuk membicarakan pekerjaan yang sebenarnya bisa dibahas lewat email atau sekadar menawarkan makan siang bersama.

Tatapan Rizal yang penuh perhatian itu cukup membuat beberapa pasang mata di kantor saling berbisik.

Dan salah satu yang paling terganggu adalah Ziva.

Anak tunggal dari salah satu pemegang saham minor Danantara Corp. itu sudah lama memiliki rasa tertarik pada Rizal.

Awalnya, ia hanya melontarkan komentar menyindir setiap kali Yuna kebetulan satu lift atau satu meja rapat dengan Rizal.

Namun belakangan, nada sindirannya semakin tajam, hingga berani menyentuh ranah pribadi.

“Wah, cara cepat naik jabatan, ya... kalau dekat sama bos.” ucap Ziva sambil menyodorkan berkas di meja Yuna, matanya menyipit penuh arti.

Yuna hanya tersenyum tipis, mencoba tidak terpancing.

Tapi sore itu, saat mereka kebetulan berada di pantry, batas kesabaran Ziva rupanya habis.

Ia berdiri terlalu dekat, lalu tanpa alasan jelas, sengaja menyenggol cangkir kopi panas yang sedang dipegang Yuna.

Tumpahannya mengenai punggung tangan Yuna.

“Aduh! Ziva!” Yuna terlonjak, menahan rasa perih.

“Oh, maaf. Nggak sengaja.” ucap Ziva dengan senyum tipis yang sama sekali tidak terdengar tulus.

Tatapannya seolah menantang Yuna untuk membalas.

Namun sebelum Yuna sempat berkata apa-apa, sebuah suara berat terdengar dari ambang pintu pantry.

“Ziva!!!”

Rizal berdiri di sana, wajahnya datar tapi sorot matanya menusuk.

Langkahnya mantap menghampiri dan tanpa berkata banyak, ia langsung mengambil tangan Yuna yang memerah karena panas, lalu memeriksanya. Dengan cepat dia menyalakan kran air untuk membilas tangan Yuna yang terkena kopi panas.

“Setelah ini ke ruangan saya!” Katanya tegas, bukan kepada Yuna, tapi kepada Ziva.

Ziva mendengus, tapi menuruti.

Sementara Yuna hanya bisa menunduk, perasaannya campur aduk.

Di satu sisi ia merasa terlindungi… tapi di sisi lain, perhatian Rizal yang terlalu terang-terangan di depan kantor hanya akan membuat dirinya jadi sasaran empuk lagi.

*****

Ziva masuk ke ruangan Rizal tanpa mengetuk, senyumnya dibuat manis seolah tidak ada apa-apa yang baru saja terjadi.

“Pak Rizal, saya mau lapor soal proyek kemarin…” Ucapnya sambil melangkah mendekat.

Rizal yang sedang menandatangani berkas, mengangkat kepala. Tatapannya datar, dingin, tapi tajam.

“Kalau soal proyek, kamu bisa koordinasi lewat manajermu. Saya nggak ada waktu untuk hal teknis sekarang.”

“Bukan cuma itu sih… saya juga mau ngobrol santai. Kita kan jarang...” Ziva tersenyum tipis.

“Ziva!” Suara Rizal memotong, rendah tapi tegas.

“Saya nggak suka orang main fisik apalagi bersikap tidak profesional di kantor. Terutama… sama Yuna.”

“Mengadu apalagi Yuna sama bapak?”

“Yuna tidak pernah mengadu. Aku lihat sendiri tadi...” Rizal menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap langsung ke arah Ziva.

Wajah Ziva seketika berubah, tapi Rizal melanjutkan, suaranya semakin dingin.

“Saya nggak peduli masalah pribadi kamu sama Yuna. Tapi kalau itu sampai mengganggu pekerjaannya, atau membuatnya nggak nyaman di sini, saya yang akan turun tangan.”

“Pak Rizal… kamu serius segitunya sama dia?” Ziva menggigit bibirnya, menahan emosi.

“Anggap saja peringatan ini yang pertama… dan terakhir.” Rizal hanya menghela napas dan menatapnya tajam.

Ziva melangkah mundur, keluar dari ruangan itu dengan perasaan campur aduk, matanya menyala dengan amarah yang ditahan.

Di luar, dia berbisik pada dirinya sendiri.

“Kita lihat! Yuna… kita lihat!”

Hari itu suasana kantor cukup tenang, sampai Yuna keluar dari ruang arsip dengan setumpuk dokumen di tangannya.

Belum sempat melangkah jauh, bahunya disenggol cukup keras hingga hampir saja ia terjatuh.

“Ups… maaf. Nggak sengaja.” Ucap Ziva, tapi nada suaranya penuh sindiran.

Tatapannya melirik dari ujung kepala sampai kaki Yuna.

“Kamu ini memang ahli ya… menarik perhatian atasan?”

Yuna menghela napas, mencoba menghindar.

“Aku nggak paham maksud kamu.”

“Oh, come on. Semua orang di kantor ini tahu, Pak Rizal itu tipe yang dingin. Tapi entah kenapa… cuma sama kamu dia kelihatan beda. Pasti ada sesuatu, kan?” Ziva tertawa kecil.

Yuna menunduk, menahan diri untuk tidak terpancing.

“Kalau kamu nggak punya urusan kerja, tolong jangan ganggu aku.”

Langkah Yuna baru maju dua langkah ketika tiba-tiba pergelangan tangannya ditarik.

“Sopan banget jawabnya. Tapi, hati-hati, Yun. Dunia ini nggak selalu berpihak sama orang yang… datang dari bawah.” Bisik Ziva, nada suaranya seperti ancaman.

Yuna menatapnya, kali ini tidak menghindar.

“Aku nggak peduli dari mana asal aku. Yang jelas, aku kerja di sini buat hasil kerja, bukan buat nyenengin orang yang nggak suka sama aku.”

Dia melepaskan tangannya dengan tegas, lalu pergi tanpa menoleh.

Ziva berdiri mematung, matanya menyipit. Salah satu kakinya mengentak lantai.

“Kita lihat… sampai kapan kamu bisa bertahan.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!