INGRID: Crisantemo Blu💙
Di balik nama Constanzo, Ingrid menyimpan luka dan rahasia yang bahkan dirinya tak sepenuhnya pahami. Dikhianati, dibenci, dan hampir dilenyapkan, ia datang ke jantung kegelapan-bukan untuk bertahan, tapi untuk menghancurkan. Namun, di dunia yang penuh bayangan, siapa yang benar-benar kawan, dan siapa yang hanya menunggu saat yang tepat untuk menusuk dari bayang-bayang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I. D. R. Wardan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 Grigio
Pintu terbuka, Ingrid segera menjaga jarak dari Frenzzio. Vilia berdiri di ambang pintu lengkap dengan tatapan yang biasa ia tunjukkan pada Ingrid. Kebencian.
Ingrid tidak ingin melihatnya. Ia membuang muka.
Vilia masuk, berjalan melewati ranjang Ingrid menuju ranjang di sebelahnya di mana Marcello berbaring. Ingrid melihat dari ekor matanya, Vilia mengelus kepala Marcello dengan sayang, wajah khawatir itu, perasaan sedih itu, kenapa hanya padanya?
Ingrid memejamkan matanya untuk menyadarkan diri. Dia tidak perlu semua itu dari wanita yang menyebut dirinya—ibu—tersebut.
"Ini semua karena dirimu! Putraku terbaring di sini karenamu!" ucapnya dingin, namun penuh tuduhan.
Ingrid tidak melawan kali ini, karena ia merasa yang dikatakan Vilia bukanlah sepenuhnya kesalahan.
"Cukup," tegur Frenzzio.
"Bagus! sekarang kau membawa putraku yang lainnya ke sisimu juga. Entah julukan macam apa lagi yang harus ku sematkan kepadamu."
"Berhenti," Frenzzio masih berusaha menghormati Vilia yang telah berperan menjadi ibunya.
"Kau memang sumber bencana!"
"Sudah cukup!"
Ingrid mengangkat tangannya di depan Frenzzio. "Sudahlah."
Ingrid turun dari ranjang, untuk pergi keluar. Ke mana pun asal tidak berada satu ruangan dengan wanita itu.
Frenzzio hendak membantu Ingrid berjalan tapi di tolak oleh gadis itu. "Aku baik-baik saja, aku ingin waktu sendiri."
Ingrid keluar dari ruangan itu. Frenzzio menatap Vilia dengan begitu dingin, hingga Vilia terkejut dengan itu. Frenzzio keluar dari ruangan rawat tersebut untuk menyusul Ingrid.
Meskipun Ingrid melarang, tapi Frenzzio tidak akan membiarkan Ingrid sendirian, ia mengikuti Ingrid dari jarak jauh di belakangnya.
Ingrid bingung berjalan ke mana, karena sibuk berpikir akhirnya ia tidak memperhatikan lorong yang sibuk hingga menabrak seseorang.
Navarro.
"Kau baik-baik saja, Adik kecil?"
"Ya, aku baik-baik saja."
Terjadi kecanggungan antara keduanya setelah perselisihan beberapa waktu lalu.
"Ingin ke taman?" tanya Navarro dengan senyum khasnya.
Ingrid mengangguk.
"Ayo, akan aku temani." Ingrid kembali mengangguk kini lengkap dengan senyuman.
Frenzzio melihat itu. Mimik wajahnya berubah drastis, kedua tangannya mengepal, dia tidak menyukai ini. Ia mengikuti keduanya.
Ingrid dan Navarro duduk di bangku taman rumah sakit. Hanya sedikit orang yang mau duduk di luar saat cuaca dingin seperti sekarang.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Baik, tidak ada yang serius, hanya jahitan kecil. Kakiku juga hanya tersisa nyeri yang bisa ku toleransi, sepertinya aku tidak membutuhkan kruk lagi."
Navarro tersenyum tipis. "Syukurlah. Pakailah jaketku, udara sangat dingin."
Ingrid menggeleng, mendorong kembali jaket yang di sodorkan sepupunya. "Kau saja, aku menyukai udara dingin." Kembali terjadi keheningan di antara keduanya. Ingrid terus-menerus meremas ujung baju rumah sakitnya, seolah-olah kain tipis itu bisa meredam gelombang kegelisahan yang menggerogoti dadanya. Ia ingin bicara namun rasanya ada lem di bibirnya.
"Lorenzo ..."
"Aku tahu." Navarro bicara sambil memandang dedaunan yang gugur di depannya. "Dia sangat berani."
Ingrid bisa melihat duka dan kesedihan dari balik mata dan senyuman Navarro. Sikap Navarro yang seolah baik-baik saja justru membuat ingrid semakin merasa bersalah.
"Maaf ..."
"Tidak, ini bukan salahmu, atau siapapun." Navarro menatap teduh sepupunya, mengusap lembut kepala Ingrid, menenangkan gemuruh yang memenuhi hatinya.
"Oh, lihat siapa yang berkunjung." Frenzzio datang di tengah keduanya dengan senyuman sempurna miliknya, namun nada sindiran tidak luput dari bibirnya. "Udara semakin dingin, Amore. Sebaiknya kau kembali ke dalam."
Ingrid sedang tidak ingin berdebat. "Kita bicara di dalam saja, Navarro, kau pasti ingin melihat Marcello."
Navarro menggeleng. "Aku akan berkunjung lagi nanti, ada yang harus aku lakukan, Adik kecil." Navarro mencubit pelan pipi adiknya, membuat gadis itu merengut tidak senang. Navarro terkekeh.
"Baiklah, sampai jumpa."
"Sampai jumpa."
Ingrid bangkit dan berjalan masuk kembali ke dalam rumah sakit.
"Menjauhlah, sebelum aku membuka mulut tentang dirimu dan keluargamu padanya," ancam Frenzzio dengan serius.
Navarro mengepalkan kedua tangannya, urat-uratnya tampak menonjol, ia berbalik pergi tanpa membalas ancaman Frenzzio.
... •┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
Ingrid bisa merasakan ada sesuatu tentang Frenzzio dan Navarro yang tidak ia ketahui. Apakah itu penting? Mungkin saja. Ia akan mencoba bertanya pada Frenzzio nanti. Semoga saja laki-laki itu sedang dalam suasana hati yang baik, hingga mau memberikan jawaban tanpa bertele-tele. Sampai sekarang Frenzzio masih terasa misterius baginya, masih banyak bagian dari laki-laki itu yang tidak ketahui dan mengerti.
Apakah benar Frenzzio menyukainya?
atau itu cinta?
atau obsesi?
atau hanya ... permainan?
Itu saja belum ia dapatkan jawaban yang tepat.
Kenapa dan bagaimana?
Apapun itu ia tidak boleh terjebak dengan laki-laki tampan tersebut. Ia hanya harus fokus pada tujuannya, mencari tahu dan balas dendam? Hanya itu. Setelah semua ini berakhir ia akan kembali ke rumahnya, kembali ke kehidupannya, sahabatnya.
Datang ke kota ini membuka terlalu banyak bab terlupakan dalam hidupnya, atau mungkin sebenarnya tidak pernah ia lupakan. Akankah ia mengajak Marcello untuk ikut dengannya? Memulai kehidupan baru?
"Kau ingin satu seperti itu?"
Lamunan Ingrid pecah begitu pertanyaan yang terdengar seperti godaan terlontar dari Frenzzio, yang entah sejak kapan berdiri di sampingnya, menatap ruangan penuh malaikat kecil tak berdosa.
"Kita bisa membuat satu, atau mungkin lebih, sesuai keinginanmu."
Ingrid menyikut perut Frenzzio. "Aku lebih suka saat bibirmu itu tertutup rapat."
"Agar kau bisa menciumku?"
"Bicaralah sesuatu yang lebih berguna."
"Itu sangat berguna."
Ingrid mengerang, memutar matanya jengah. "Entah berapa lagi aku bisa bertahan denganmu tanpa kehilangan akal."
"Aku telah kehilangan akal sejak pertama melihatmu terjatuh di hadapanku."
Netra Ingrid beralih pada Frenzzio. Frenzzio tak mengalihkan pandangannya dari para bayi-bayi yang baru menjalani beberapa paragraf kehidupan itu. "Aku terjatuh di hadapanmu? Aku tidak ingat akan hal itu."
Frenzzio terkekeh geli. "Tentu saja itu bukan sesuatu yang ingin kau ingat." Alis Ingrid semakin menukik tajam. "Gadis basah kuyub, berwajah sedih, hanya mengenakan satu sepatu di kaki kirinya, berlari di tengah hujan hingga tanpa sengaja menginjak tali sepatunya dan jatuh."
Mata Ingrid melirik sekitar tanpa fokus, mencoba menggali ingatannya. Beberapa detik berlalu sampai akhirnya matanya mendapat fokus kembali, ia pun mengingat apa yang terjadi hari itu. Hari yang buruk, tentu saja. Dijahili anak-anak nakal di sekolahnya. Hampir sepanjang hari ia berjalan di seluruh sekolah dengan kertas menempel di punggungnya bertuliskan, 'Aku sepotong sampah busuk, aku pelacur, buang aku ke toilet.' Untuk sepatu, entah di mana mereka menyembunyikan atau mungkin membuangnya, yang jelas ia tidak pernah melihat sepatu itu lagi.
"Itu hampir dua tahun yang lalu."
"Itu pertama kalinya aku bertemu denganmu."
"Apa yang kau lakukan di San lumeo? Yang kuyakini bukan untuk liburan dan foya-foya."
"Banyak hal yang kulakukan, termasuk menguntitmu ."
"Apa?!"
Frenzzio menoleh, menyelipkan rambut ingrid ke belakang telinga. "Seharusnya itu bukan sesuatu yang mengejutkan bagimu."
"Selalu mengejutkan."
Semua yang dilakukan Frenzzio selalu mengejutkannya. Ia tidak pernah dapat menebak isi pikirannya bahkan sedikitpun. Inilah yang membuatnya tidak bisa mempercayai Frenzzio sepenuhnya dan membuatnya selalu waspada dan ... takut.
Entah apa saja yang diketahui dan dilakukan Frenzzio, jika benar laki-laki itu membuntutinya.
"Apa ada masalah antara dirimu dan Navarro? Jangan mencoba untuk berkelit." alih Ingrid.
"Ya, ada sesuatu." Frenzzio berucap dengan nada bercanda.
"Apa itu?"
"Sesuatu tentang keluarga, sebut saja seperti itu." Kerutan di jidad Ingrid kembali terbentuk.
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
Bel pintu berbunyi dua kali, daun pintu terbuka menampilkan sepasang manusia. Ingrid dan Frenzzio.
"Lama tidak bertemu, Bibi."
"Ingrid, sayang, bagaimana kabarmu? Ayo, masuklah."
Tidak ada yang berubah dari rumah ini sejak terakhir ia di sini. Tapi entah rasanya sudah tidak sama, entah apa itu, Ingrid tidak mengerti.
Mereka bertiga duduk di ruang tamu.
"Sayang, apa yang telah terjadi hingga tangan dan kepalamu terbalut perban seperti itu? Apa ayahmu melakukan sesuatu yang buruk padamu?" Nora bertanya dengan khawatir. Tapi, Ingrid menangkap hal lain yang lebih mendominasi yaitu rasa penasaran.
'Tentang keluarga Navarro, kau mungkin tidak akan percaya jika tidak melihat atau mendengar secara langsung.'
"Cerita yang sangat panjang, Bibi. Dia bukan ayahku." Nada suara Ingrid merendah pada kalimat terakhir.
"Dia ayah biologismu, belajarlah untuk menerimanya, Sayang."
Terjadi keheningan panjang. Frenzzio sejak tadi tidak menunjukkan tanda-tanda ingin membuka mulut. Kenapa saat di butuhkan dia selalu membisu?!
"Aku kemari untuk mengambil beberapa barangku yang tertinggal, Bibi."
"Barang-barang? Bukankah Marcello telah membawa semuanya?" tanya nora lembut.
"Ada barang-barang penting yang tertinggal."
"Benarkah? Tapi Bibi sudah memeriksa kamarmu, tidak ada apapun lagi."
"Beberapa buku dan foto, mungkin Bibi tidak melihatnya. Aku menyimpannya di lemari bagian bawah."
"Ya, mungkin benar, Bibi tidak memeriksa di sana."
"Ibu! Ibu melihat jaket kulit baruku?" suara teriakan seperti seorang gadis memecah percakapan keduanya.
"Ibu?" Ingrid seperti mengenal suara tersebut, tapi siapa?
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...