Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:
"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."
Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.
Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?
"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21: Seperti anak kecil.
“Ya ampun, Sajangnim!” serunya panik sambil bergegas menghampiri. Ia berjongkok di hadapan Minjoon yang kini duduk di tangga sambil memegangi pergelangan kaki kanannya.
Minjoon mengerang pelan, mencoba menjaga wajah tetap tenang walau rahangnya mengeras menahan nyeri.
“Saya… jatuh,” gumamnya pendek.
“Anda tidak apa-apa?” tanya Areum khawatir. Ia mencoba membantunya berdiri, tapi tubuh Minjoon terlalu berat untuk ditopang sendiri. Dengan cepat, Areum menoleh ke arah dapur dan memanggil.
“Chan-woo! Tolong bantu aku!” lirih Areum yang membuat Chan-woo segera datang dan bersama-sama, mereka memapah Minjoon keluar lewat pintu belakang café—atas permintaan Minjoon sendiri. Ia tidak ingin menarik perhatian pelanggan ataupun staf lainnya yang mungkin panik jika melihatnya dalam kondisi seperti itu.
“Pelan-pelan, Sajangnim,” ujar Areum, membuka pintu mobil dengan hati-hati sementara Chan-woo membantu memasukkan Minjoon ke kursi penumpang depan.
“Tolong antar aku ke rumah sakit terdekat…” ucap Minjoon sambil menahan desah kesakitan.
“Aku… aku tidak bisa menyetir,” ucap Chan-woo jujur, membuat Areum langsung mengambil alih.
“Biar saya saja yang bawa, Sajangnim.” ujar Areum yang membuat Minjoon menoleh, menahan nyeri sambil memastikan.
“Kamu punya SIM?” tanya nya yang membuat Areum mengangguk cepat.
“Punya,” jawab Areum cepat.
Minjoon hanya mengangguk singkat, terlalu lelah untuk berkata lebih banyak. Areum lalu berlari kembali ke dalam café untuk mengambil barang-barangnya—termasuk tas Minjoon di ruang kerja. Setelah itu, ia duduk di balik kemudi dan mulai menyetir menuju rumah sakit terdekat dengan tenang namun sigap.
Di sebelahnya, Minjoon terdiam. Matanya terpejam, napasnya berat, dan tangannya masih memegangi pergelangan kaki yang mulai membiru. Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu terakhir, Minjoon tidak peduli lagi dengan citranya sebagai bos dingin yang penuh kontrol. Saat ini, ia hanya ingin rasa sakit itu reda.
Dan Areum… hanya fokus pada satu hal: menyelamatkan bosnya.
Beberapa menit kemudian, mobil yang dikendarai Areum tiba di rumah sakit terdekat—kebetulan, rumah sakit tempat Yoonjae bekerja sebagai dokter spesialis penyakit dalam. Meski bukan bidangnya, Yoonjae sedang berada di area lobi saat Areum datang bersama beberapa perawat yang mendorong tandu menuju IGD.
Seketika, Yoonjae membeku. Matanya terpaku pada sosok yang terbaring di tandu—Minjoon, adiknya. Pucat, lemas, dan kesakitan. Sebuah bayangan buruk langsung menyergap pikirannya.
"Minjoon?!" seru Yoonjae refleks, langsung menghampiri tanpa sempat mengganti ekspresi profesionalnya. Areum, yang masih mengikuti di belakang dengan napas terengah, mendekat dan mencoba menjelaskan meskipun kalimatnya terdengar terburu-buru.
“Tadi dia jatuh dari tangga belakang café… saya langsung bawa ke sini. Kakinya bengkak dan dia kelihatan kesakitan sekali. Tolong, Dok…” ujar Areum yang membuat Yoonjae mengangguk.
“Tolong bawa dia ke ruang observasi!” seru Yoonjae pada perawat, sebelum menoleh cepat ke Areum.
"Bisa ikuti saya?" Ujar nya yang membuat Areum mengangguk tanpa banyak tanya, Areum mengikuti di belakang tandu. Ini bukan hanya tentang tanggung jawab sebagai staf—tapi ada perasaan lain yang tak bisa ia pahami. Mungkin karena untuk pertama kalinya… Minjoon tampak rapuh.
"Maaf, Dokter. Anda sebaiknya menunggu di luar," ujar seorang perawat dengan sopan pada Yoonjae yang hampir saja ikut masuk ke ruang observasi. Yoonjae mengangguk pelan, menahan naluri profesional dan emosinya sekaligus.
"Saya mengerti. Tolong perhatikan kondisinya," katanya singkat sebelum mundur beberapa langkah, membiarkan para tenaga medis mengambil alih.
Pintu ruang observasi menutup, menyisakan Yoonjae dan Areum berdiri di lorong rumah sakit yang dingin dan remang oleh cahaya malam. Areum memeluk tas Minjoon di dadanya, wajahnya terlihat cemas.
Sementara itu, di dalam ruangan, Minjoon sudah berbaring di atas ranjang observasi. Celana bagian bawahnya telah digunting oleh perawat untuk mengecek pembengkakan di pergelangan kaki. Warna biru keunguan sudah tampak jelas, membuat salah satu perawat langsung memanggil dokter ortopedi jaga.
"Tuan Kim, mohon tenang ya. Kami akan ambil rontgen untuk memastikan tidak ada retakan atau patah tulang," ujar sang dokter sambil memeriksa mobilitas sendi pergelangan kakinya. Minjoon hanya mengangguk kecil, rahangnya mengeras menahan nyeri.
"Skalanya berapa dari sepuluh, Pak?" tanya perawat lain sambil menyiapkan penghilang rasa sakit.
"Delapan," sahut Minjoon lirih, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Tak lama, ia dipindahkan ke ranjang dorong untuk menuju ruang radiologi.
Di luar, Areum yang melihat pergerakan itu langsung berdiri, napasnya sedikit tercekat.
"Dia akan di-rontgen dulu, untuk tahu kondisi tulangnya," kata Yoonjae, mencoba menenangkan Areum walau nada suaranya sendiri terdengar tegang.
"Akhh, iya..." ujar Areum, suaranya hampir tak terdengar, membuat Yoonjae menatapnya lebih lama. Ada sesuatu yang membuat mata Yoonjae menahan pandangan, lalu ia berkata pelan.
"Saya kakaknya... kakak keduanya. Apa kamu bekerja di tempat Minjoon?" Tanya nya yang membuat Areum mengangguk tenang, mencoba menenangkan diri.
"Ya... Sajangnim, saya asisten manajer baru di kafe Minjoon Sajangnim yang baru dibuka itu," jawab Areum sopan, sadar bahwa pria tampan berseragam dokter ini ternyata adalah kakak atasannya.
"Siapa namamu?" tanya Yoonjae lagi, nada suaranya tetap lembut tapi menahan rasa ingin tahu.
"Min Areum, Sajangnim," ujar Areum, sedikit menunduk, bingung harus menjawab apa lagi.
"Saya Kim Yoonjae," ujar Yoonjae, tersenyum tipis. Areum hanya mengangguk sopan, mencoba menahan rasa canggung yang tiba-tiba muncul.
Tak lama kemudian, pintu ruang observasi terbuka. Seorang dokter pria berjas putih keluar sambil membawa hasil rontgen dan lembaran catatan medis. Areum langsung berdiri, begitu pula Yoonjae, kedua tangan menegang sedikit karena khawatir.
"Apakah dia baik-baik saja, Dok?" tanya Yoonjae cepat, nada suaranya masih menyisakan kekhawatiran. Dokter itu tersenyum tipis, mencoba menenangkan keduanya.
"Tenang saja, Dokter Kim. Tidak ada patah tulang atau cedera serius. Hanya terkilir cukup parah dan memar di pergelangan kaki kanan. Sudah kami beri pereda rasa sakit dan kompres dingin, serta akan kami balut untuk menjaga stabilitas. Dia hanya perlu istirahat total selama beberapa hari," jelas sang dokter dengan nada tenang.
Yoonjae menghembuskan napas lega, matanya menatap Areum yang masih menunduk, baru menyadari betapa tegangnya ia sejak tadi.
"Syukurlah..." gumam Areum pelan, bibirnya mengerut sedikit, melepaskan ketegangan yang menumpuk sejak awal.
“Kalau boleh tahu, siapa yang tadi membawa pasien ke sini?” tanya dokter itu, menatap bergantian ke mereka berdua.
“Dia,” jawab Yoonjae sambil menunjuk Areum.
“Hebat, penanganan cepat seperti itu sangat membantu. Kalau terlambat, bengkaknya bisa lebih parah.” ujar dokter itu sambil tersenyum kepada Areum.
Areum hanya tersenyum kecil, merasa canggung.
“Saya hanya panik, Dok...” jawab Areum jujur.
“Kadang panik itu menyelamatkan kalau diiringi dengan akal sehat,” canda dokter itu sebelum pamit kembali ke dalam.Setelah beberapa saat, seorang perawat keluar dan memanggil mereka.
"Pasien boleh dijenguk. Ada kemungkinan bisa langsung pulang, Dokter." Perawat itu menyampaikan dengan sopan pada Yoonjae, dan ia hanya mengangguk pelan. Areum yang tadinya bersiap pamit untuk kembali ke kafe, tak bisa menolak saat Yoonjae menoleh padanya dan berkata.
"Ikut saja sebentar." Ujar Yoonjae yang membuat Areum mengikuti pria itu masuk ke ruangan rawat. Minjoon tampak terbaring dengan kaki kanan yang dibalut rapi dan sedikit terangkat oleh penyangga. Wajahnya pucat, tapi jauh lebih tenang dibanding saat pertama masuk IGD. Begitu melihat mereka masuk, Minjoon hanya melirik sekilas lalu kembali menatap langit-langit ruangan, pura-pura cuek.
"Sudah aku bilang istirahat di rumah, Minjoon. Bekerja seperti orang kelaparan, apa kau pikir tubuhmu dari baja?" Ujar Yoonjae lansung meledak tanpa aba aba.
Suasana langsung tegang. Areum berdiri kikuk di sisi ruangan, menunduk sedikit agar tak mengganggu—meski telinganya tetap menangkap setiap kata.
"Kau bahkan bukan robot. Kalau sekarang cuma jatuh, besok bisa-bisa pingsan karena maag, atau parahnya stroke! Aku heran kenapa kau selalu keras kepala seperti ini. Sesekali saja, bersantai dan diam di rumah itu bukan dosa!" Ujar Yoonjae yang membuat Minjoon menunduk, wajahnya memerah bukan hanya karena malu tapi juga karena jengah. Tapi ia tetap mencoba membela diri, meski nadanya lemah.
"Aku cuma kelelahan, Hyung..." Ujarnya yang langsung di potong cepat.
"Kelelahan karena siapa? Karena kau tidak tahu cara berhenti. Sehari saja, sehari! Cobalah hidup normal tanpa ngotot harus produktif setiap detik!" potong Yoonjae tajam. Minjoon akhirnya mendongak, matanya menatap lurus ke kakaknya, penuh emosi yang ditahan.
"Aku seperti ini karena kalian! Kau dan Jihoon-hyung juga gila kerja... Aku hanya mengikuti apa yang aku lihat sejak kecil!" Ujar nya yang membuat suasana ruangan itu jadi dingin Yoonjae menatapnya dalam-dalam, lalu menggeleng pelan.
"Kau terlalu banyak alasan. Sekali lagi kau menjawab aku seperti itu, aku akan minta Jihoon-hyung tutup semua cabang kafe milikmu. Jangan pikir aku tidak bisa." Ujar Yoonjae yang membuat Minjoon mengerang frustasi sambil mengangkat sedikit tubuhnya.
"Menyebalkan! Selalu saja mengancam! Apa tidak ada cara lain selain menekan orang lain, huh?" Ujar Minjoon sedangkan Yoonjae bersedekap, tak bergeming.
"Kalau cara baik tidak pernah kau dengar, maka ancaman adalah satu-satunya bahasa yang kau pahami." Ujar Yoonjae yang membuat Areum menahan napas. Ia melihat sesuatu yang tak pernah ia lihat di balik wajah maskulin kedua pria itu—rasa takut yang disamarkan jadi kemarahan. Kakak yang terlalu khawatir, dan adik yang menolak terlihat lemah. Tapi jelas dia tidak menyela karena dia tahu itu tidak sopan dia hanya staf Minjoon tidak pantas ikut campur urusan keluarga.
"Padahal aku hanya mengikuti apa yang mereka lakukan," ujar Minjoon berbicara kosong pada angin yang jelas di tujukan untuk Yoonjae.
"Hallo Hyung," ujar Yoonjae yang membuat Minjoon menoleh cepat. "Iya... dia ada di rumah sakit, kaki nya cedera karena tidak seimbang dan jatuh dari tangga, dia bilang dia tidak takut padamu," ujar Yoonjae menambahkan kata yang sebenarnya tidak pernah Minjoon ucapkan.
"Aku tidak bicara seperti itu," ujar Minjoon menatap wajah yoonjae kesal karena telah mengadukan semuanya pada Jihoon kakak tertuanya itu.
"Baiklah," ujar Yoonjae memberikan ponsel nya pada Minjoon, dengan kesal Minjoon menerima ponsel itu karena dia juga tidak berani menolak kakak tertuanya.
"Iya Hyung," ujar Minjoon yang tadi menggebu-gebu pada Yoonjae kini seperti anak kecil yang takut di marahi ayah nya. Di seberang sana, suara Jihoon terdengar tenang tapi jelas dingin—bahaya sunyi yang khas hanya dimiliki orang seperti dirinya.
"Kau terjatuh dari tangga, Minjoon. Apa aku perlu bertanya kenapa itu bisa terjadi, atau kau ingin langsung mengaku bahwa kau kurang tidur selama tiga hari terakhir?" Ujar Jihoon yang membuat Minjoon menunduk, menahan napas.
"Aku hanya..." namun ucapan nya di potong tajam oleh jihoon
"Hanya apa? Hanya terlalu sibuk menyenangkan pelangganmu? Hanya mencoba membuktikan bahwa kau bisa mengelola belasan cabang sekaligus? Hanya berpura-pura bahwa tubuhmu tidak punya batas?" Ujar Jihoon dari sebrang telepon dengan nada kesal Areum hanya bisa memperhatikan dari sisi ruangan, berpura-pura merapikan lengan kemeja nya, padahal telinganya tajam menangkap setiap kata.
"Aku hanya tidak ingin mengecewakan kalian..." ujar Minjoon yang langsung di potong cepat oleh Jihoon.
"Dan jatuh di tangga adalah cara yang bagus untuk itu?" Suara Jihoon meninggi sedikit. "Aku percaya padamu karena aku yakin kau tahu batasanmu. Tapi kalau begini, aku harus pertimbangkan kembali keputusanku. Kau bukan satu-satunya yang bisa pegang kafe. Jika kau terus seperti ini aku tidak akan mendukung mu lagi dalam hal apapun!" Ujar Jihoon yang membuat Minjoon terdiam sejenak hingga akhirnya kembali bicara.
"Jangan begitu, Hyung..." Suara Minjoon mulai melemah, nyaris seperti anak kecil yang habis dimarahi gurunya.
"Kau harus belajar menjaga dirimu sebelum belajar menjaga bisnis, Minjoon. Kalau kau rusak, semuanya ikut rusak. Termasuk kepercayaanku." Ujar Jihoon. Kata-kata itu membuat Minjoon terdiam lama. Tak ada jawaban yang bisa menahan retaknya egonya, kecuali satu kalimat pelan.
"Maaf... Aku salah..." Pada akhirnya dia tahu percuma berdebat dengan jihoon yang sama keras kepala nya seperti Yoonjae.
"Minta maaf bukan untukku. Istirahat. Dengarkan Yoonjae. Dan jangan buatku harus turun tangan langsung ke sana." Ujar Jihoon hingga akhirnya panggilan terputus dan Minjoon menatap ponsel yang masih di tangannya seperti itu adalah benda paling berat di dunia. Ia menghela napas panjang sebelum mengembalikannya ke Yoonjae.
"Sudah puas semua orang memarahiku hari ini?" gumam Minjoon pelan. Nada suaranya terdengar setengah pasrah, setengah ngedumel, seperti anak kecil yang baru dihukum.
"Apa kau bilang?" Yoonjae melirik tajam, matanya menyipit seolah bisa membakar.
"Baiklah... maaf." Jawab Minjoon buru-buru menarik ucapannya kembali. Nada suaranya melemah, dan untuk pertama kalinya sejak tadi, ia benar-benar terdengar seperti adik yang mengalah. Tatapan Yoonjae kini bergeser, tertuju pada Areum yang berdiri tenang di sisi pintu. Ia tidak bicara sepatah kata pun sepanjang interaksi tadi, tapi Yoonjae tahu siapa dia—mereka sudah sempat berkenalan sebentar tadi.
"Areum-ssi," ucap Yoonjae, nadanya langsung berubah sopan namun tetap tegas. "Terima kasih sudah mengurusi adik saya. Saya masih harus kembali ke bangsal, dan tidak bisa mengantarnya pulang. Bisakah kamu tolong antar dia ke apartemen saya?" Lanjut Yoonjae matanya menatap lurus ke wajah Areum, penuh kepercayaan dan sedikit tekanan.
"Tentu, Sajangnim. Tidak masalah." Jawabannya tenang, meski hatinya sedikit gugup. Ini bukan sekadar antar pasien pulang—ini mengantar atasan nya dalam keadaan pincang dan sensitif. Namun suara Minjoon menyela dengan nada keras kepala.
"Aku ingin pulang ke rumah utama saja, Hyung. Aku tidak mau tinggal bersamamu saat sedang sakit. Kau terlalu cerewet." Ujar Minjoon cepat dan Yoonjae tak langsung merespons. Ia berdiri diam selama dua detik penuh sebelum mendekat satu langkah ke arah ranjang, lalu berkata dengan nada berat tapi tetap datar.
"Aku cerewet karena aku peduli pada adikku. Jika kau orang lain, aku tidak akan repot-repot mengurusi mu," Ujar Yoonjae yang membuat Minjoon terdiam karena tidak punya jawaban. Kalimat itu menusuk tepat di dada—lembut, tapi juga menyayat. Ia mengalihkan pandangan, menatap jendela.
"Baiklah..." Kata itu meluncur dari bibirnya nyaris tak terdengar, Areum yang melihat situasi mulai mereda, Areum melangkah maju, tangannya terulur sedikit gugup.
"Sajangnim, ayo..." Ujar nya yang membuat Yoonjae membantunya memapah Minjoon perlahan turun dari ranjang. Pria itu mengerang pelan saat kakinya menyentuh lantai, terlihat jelas bahwa rasa sakitnya belum hilang sepenuhnya. Areum menahan lengan Minjoon dari sisi kiri, sedangkan Yoonjae menopang sisi kanannya, memastikan beban tubuh adiknya tidak bertumpu pada kaki yang cedera.
"Hati-hati. Jangan dipaksakan." ujar Yoonjae sambil melirik kaki Minjoon yang dibalut perban.
"Aku bukan manula," gumam Minjoon.
"Sayangnya, manula lebih penurut daripada kau." balas Yoonjae cepat.
Meski kesal, Minjoon tak membalas. Ia hanya mendengus pelan. Mereka keluar dari ruang rawat menuju koridor. Langkah mereka lambat, tapi stabil. Beberapa perawat sempat melirik, mengenali Yoonjae dan Minjoon—dokter tampan dan pengusaha muda yang kerap muncul di berita—dalam keadaan seperti ini, rasanya seperti melihat drama yang tayang di dunia nyata. Begitu sampai di depan mobil, Yoonjae membuka pintu penumpang depan dan membantu Areum mendudukkan Minjoon dengan hati-hati.
"Jangan banyak gerak. Kakinya tetap ditinggikan." Ujar Yoonjae sembari merapikan penyangga kaki Minjoon di dalam mobil, bahkan menata jok agar lebih rebah.
"Kau pasti menikmatinya, ya?" tanya Minjoon sinis, setengah bercanda.
"Menikmati kenyataan bahwa adikku keras kepala seperti batu? Tidak." Ujar Yoonjae yang kemudian menoleh pada Areum dan menunduk sopan.
"Terima kasih sudah repot hari ini, atasan mu ini memang merepotkan... begitu lah yang kami rasakan sebagai kakak nya setiap hari." ujar yoonjae yang membuat Areum hanya mengangguk karena bingung harus menjawab apa.
"Baik, Sajangnim."Areum membalas dengan anggukan.
Yoonjae menepuk bahu adiknya sekali, cukup kuat untuk mengandung makna: jangan macam-macam. Lalu ia berbalik, masuk kembali ke dalam rumah sakit tanpa menoleh lagi. Di dalam mobil, Areum duduk di belakang kemudi. Sepi sebentar. Hanya ada napas Minjoon yang terdengar.
"Terimakasih Areum-ssi," ujar Minjoon yang membuat Areum mengangguk.
"Sama-sama sajangnim," ujar Areum sopan, mobil mereka melaju tenang di jalanan Seoul Minjoon memberikan petunjuk kepada areum untuk arah apartemen milik yoonjae, dan areum hanya menurut mengikuti instruksi nya .
...
"Hallo..." Ujar yoonjae.