Sejak malam pernikahan, Clara Wu telah diracun oleh pamannya—racun yang membuatnya hanya bisa bertahan hidup lewat penawar yang diberikan setiap minggu.
Namun setiap kali penawar itu datang, bersamanya hadir obat perangsang yang memaksa tubuhnya menjerit tanpa kendali.
Tak sanggup menanggung hasrat yang dipaksakan padanya, Clara memilih menyakiti diri sendiri, melukai tangannya agar tetap sadar.
Tiga tahun ia bertahan dalam pernikahan tanpa cinta, hingga akhirnya diceraikan dan memilih mengakhiri hidupnya.
Ketika Adrian Zhou kembali dari luar negeri dan menemukan kebenaran tentang siksaan yang dialami istrinya, hatinya hancur oleh penyesalan.
Apakah Adrian akan mampu mencintai istri yang selama ini ia abaikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Malam hari.
Clara yang sedang tertidur tampak gelisah. Keringat dingin membasahi wajahnya, napasnya terengah seolah ia terjebak dalam mimpi buruk yang menakutkan.
“Tidak! Jangan mengurungku… aku takut…” gumam Clara lirih tanpa sadar.
Di luar, suara petir menggema keras. Angin bertiup kencang, dan hujan semakin deras, membuat suasana semakin mencekam. Dalam mimpinya, Clara terperangkap di ruangan gelap dan sempit—dua hal yang paling ia takuti. Tubuhnya bergetar, bibirnya bergetar memanggil minta tolong.
“Tidak…!” teriaknya tiba-tiba.
Andrian yang mendengar teriakan istrinya langsung bergegas masuk ke kamar. Wajahnya berubah panik saat melihat Clara menjerit dan menangis dalam tidur.
“Clara!” seru Andrian sambil mendekat dan langsung memeluk tubuh istrinya.
Clara, masih tertahan dalam mimpi buruk, menggenggam tangan suaminya erat-erat seolah memohon perlindungan.
“Jangan takut, aku di sini,” bisik Andrian lembut, menarik kepala Clara ke dadanya. “Aku ada di sini. Tidurlah… kau aman.”
Pelan-pelan tangis Clara mereda dalam pelukan hangat suaminya, meski tubuhnya masih bergetar halus karena sisa ketakutan.
Andrian memeluk istrinya sepanjang malam.
Keesokan harinya.
Clara membuka matanya perlahan. Pandangannya masih buram ketika ia merasakan sesuatu yang hangat menempel di tubuhnya. Begitu sadar sepenuhnya, ia terkejut menemukan dirinya tertidur di dalam pelukan Andrian. Lengan suaminya melingkari pinggangnya erat seolah tak ingin ia pergi.
“Kenapa dia tidur di sini? Dan kenapa kami bisa saling berpelukan?” batin Clara gugup, perlahan mencoba melepaskan tangan Andrian dari tubuhnya.
Dengan hati-hati ia berusaha bangkit, namun baru saja ia bergerak sedikit, tangan besar Andrian langsung menarik pinggangnya kembali.
“Setelah ambil kesempatan, ingin pergi begitu saja?” bisik Andrian dengan suara serak pagi, memeluknya lebih erat.
Clara memerah. “Siapa yang mengambil kesempatan? Kau yang masuk ke kamarku,” balasnya canggung.
“Semalam kau bermimpi buruk sampai menangis,” jawab Andrian tenang. “Aku harus membujukmu sampai kau tertidur lagi. Kau memelukku erat dan tidak mau lepas. Jadi… aku hanya bisa tidur di sini.”
Clara merasa wajahnya memanas. Ia buru-buru menunduk.
“Sudah pagi, lepaskan tanganmu dulu. Tidak baik kita sedekat ini. Kita sudah cerai,” ujar Clara berusaha terdengar tegas.
“Cerai?” Andrian tersenyum tipis, mendekatkan bibirnya ke telinga Clara. “Tapi aku sudah membatalkannya.”
Clara menoleh cepat, dan jarak wajah mereka hanya beberapa senti.
“Batal?” tanyanya tak percaya.
“Iya. Kau istriku. Dan jangan berpikir bisa lepas dariku lagi,” ucap Andrian mantap.
“Bukankah dia sudah punya pacar? Mana mungkin dia ingin menolak bercerai…” batin Clara ragu.
“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Andrian sambil menyentuh ujung hidung Clara dengan lembut.
“Kenapa tiba-tiba saja…?” Clara tak mampu menyelesaikan kalimatnya.
“Alasannya sangat mudah,” jawab Andrian sambil tersenyum lembut. “Kalau sudah menikah… tidak perlu cerai.”
Setelah itu, tanpa memberi kesempatan Clara untuk membantah, Andrian menunduk dan mengecup pipi istrinya perlahan.
“Apakah aku bisa memastikan sesuatu?” tanya Clara pelan, suaranya sedikit gemetar.
Andrian menatapnya lembut. “Apa itu?”
“Kamu… baik-baik saja kan? Semalam kau tidak minum sampai mabuk?” Clara bertanya ragu. Ia harus yakin, karena perubahan sikap Andrian terasa terlalu tiba-tiba.
Andrian tersenyum kecil. “Kondisiku seperti ini, mana mungkin aku menyentuh alkohol lagi? Lagi pula, aku sangat sadar semalam.”
Clara menggigit bibirnya. “Saat itu kau yang meminta cerai. Kenapa bisa berubah sekarang? Apakah karena… simpatimu padaku?”
Andrian menghela napas pelan, lalu mengangkat dagu Clara agar menatapnya.
“Aku adalah pria yang tidak suka melakukan sesuatu yang tidak berarti,” ucapnya mantap. “Kau adalah istriku ... dan akan selalu jadi istriku. Jadi bukan simpati. Aku benar-benar ingin berbaikan denganmu.”
Tatapannya menghangat, dalam dan penuh ketulusan.
“Aku akan selalu mendukungmu, apa pun yang kau lakukan,” lanjutnya.
Sebelum Clara sempat bereaksi, Andrian menunduk dan mengecup bibir istrinya lembut namun pasti.
Mata Clara membulat lebar, tubuhnya menegang, napasnya terhenti sejenak karena terkejut oleh ciuman yang tiba-tiba itu.