"Aku mencintaimu, Hayeon-ah. Mungkin caraku mencintai salah, kacau, dan penuh racun. Tapi itu nyata." Jin Seung Jo.
PERINGATAN PEMBACA:
Cr. pic: Pinterest / X
⚠️ DISCLAIMER:
· KARYA MURNI SAYA SENDIRI. Cerita, karakter, alur, dan dialog adalah hasil kreasi orisinal saya. DILARANG KERAS mengcopy, menjiplak, atau menyalin seluruh maupun sebagian isi cerita tanpa izin.
· GENRE: Dark Romance, Psychological, Tragedy, Supernatural.
· INI BUKAN BXB (Boy Love). Ini adalah BxOC (Boy x Original Female Character).
· Pembaca diharapkan telah dewasa secara mental dan legal.
©isaalyn
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon isagoingon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permainan Kucing dan Tikus
Liontin ular itu tergeletak di lantai kayu apartemen kecil Hayeon, seolah memancarkan aura jahat yang membuatnya merinding. Tak berani menyentuhnya lagi—apalagi memakainya—seolah itu adalah sebuah pernyataan: "Aku tahu di mana kau berada. Aku tahu segalanya tentangmu."
Malam itu, Hayeon terjaga, matanya terbuka lebar, mendengarkan setiap derit dan suara di gedung tua itu. Setiap langkah di lorong membuat jantungnya berdegup kencang—seolah ada mata yang mengawasinya. Seoul, yang biasanya luas dan ramai, tiba-tiba terasa sempit dan pengap, seperti terkurung dalam kegelapan.
Pagi harinya, ia memutuskan untuk tidak pergi kerja. Telepon berdering, dan dengan suara bergetar, ia berbohong kepada Nyonya Lee, mengklaim bahwa ia tidak enak badan. Suara tuannya di telepon terdengar khawatir, namun ada nada aneh—seolah ada sesuatu yang tak terucapkan.
"Yah, istirahatlah yang cukup, Hayeon-ah," kata Nyonya Lee, nada suaranya mengingatkan Hayeon pada sesuatu yang lebih dalam sesuatu yang membuat Hayeon bingung.
"Dan... hati-hati, ya."
Hati-hati? Kenapa dia mengatakannya? Apakah itu hanya ucapan biasa, atau ada makna tersembunyi di baliknya? Paranoia mulai menggerogoti pikirannya, seperti tikus yang menggerogoti keheningan.
Sore itu, saat langit berwarna jingga, ketukan terdengar di pintunya—sebuah suara yang membuat Hayeon membeku dan matanya mengawasi sekeliling dengan perasaan takut. Siapa? Bukan Seung Jo, dia bukan tipe yang mengetuk dengan sopan.
Dengan hati-hati, ia mengintip melalui lubang pengintip. Seorang wanita paruh baya dengan seragam kurir berdiri di luar.
"Paket untuk Jeong Hayeon-ssi!" teriaknya, suaranya mengganggu ketenangan yang sudah rapuh itu.
Hayeon menghela nafas pelan, merasa lega sesaat—mungkin ini pesanan online-nya yang tertunda. Dengan hati-hati, ia membuka pintu, cukup untuk menerima paket datar berbentuk amplop cokelat.
"Tanda tangan di sini, ya," kata wanita itu seraya menunjuk tempat yang harus di tanda tangan.
Begitu Hayeon menandatangani dokumen digital dan wanita kurir itu pergi, ia segera mengunci pintunya kembali. Dengan tangan bergetar dan berkeringat, ia merobek amplop itu. Isinya bukan baju atau buku yang diharapkannya. Nafasnya tercekat.
Itu adalah foto.
Foto hitam-putih yang diambil dari kejauhan—dirinya, kemarin sore, berjalan pulang dari toko roti, mengenakan jaket hoodie abu-abu yang sama. Di foto lain, ia terlihat sedang membeli kimchi di toko kelontong dekat apartemen.
Dia benar-benar sedang diawasi.
Hayeon merasakan jantungnya berdegup semakin cepat saat ia membalik foto terakhir, rasanya ingin menangis karena ia tidak dibiarkan tenang. Kertasnya sedikit menguning, dan itu adalah foto keluarganya—ayah, ibu, dan dirinya yang masih kecil—berdiri di depan rumah lama mereka di Jeju, tersenyum bahagia. Namun, sebuah 'X' merah besar mencoret wajah kedua orangtuanya.
Di bagian belakang foto, dengan tulisan tangan tajam dan anggun, tertulis pesan: "Kenangan bisa menyakitkan. Jangan buat kenangan barumu lebih menyakitkan."
Suara mesin mobil di luar jendela mengalihkan perhatian Hayeon. Ia bergegas mendekat dan mengintip melalui tirai. Sebuah sedan hitam yang mewah dan familiar berhenti tepat di seberang jalan. Jendela depan sisi penumpang terbuka, dan di dalamnya, ia bisa melihat sosok Seung Jo dengan kacamata hitam, menatap lurus ke arahnya. Senyum tipis, dingin, dan penuh kemenangan menghiasi bibirnya.
Dia tidak hanya mengirim pesan. Dia datang untuk menunjukkan bahwa dia adalah dalang di balik semua teror ini. Dia ingin Hayeon tahu bahwa dia yang berkuasa.
Hayeon jatuh ke lantai, punggungnya menempel di dinginnya dinding. Air mata panas mengalir deras di pipinya, tetapi tidak ada suara yang keluar. Jeritannya terperangkap di tenggorokan. Ia memejam kan matanya seolah membayangkan ini semua hanya mimpi, tapi mengapa begitu nyata?
Ini bukan lagi tentang masa lalu. Ini tentang bertahan hidup. Jin Seung Jo bukan hanya ingin dia diam. Dia sedang bersenang-senang, seperti kucing yang mempermainkan tikus yang terluka sebelum akhirnya menerkam.
Dan Hayeon merasa kakinya sudah terikat—terjebak dalam permainan yang tidak ingin ia mainkan.