Suara Raja Bramasta terdengar tegas, namun ada nada putus asa di dalamnya
Raja Bramasta: "Sekar, apa yang kau lakukan di sini? Aku sudah bilang, jangan pernah menampakkan diri di hadapanku lagi!"
Suara Dayang Sekar terdengar lirih, penuh air mata
Dayang Sekar: "Yang Mulia, hamba mohon ampun. Hamba hanya ingin menjelaskan semuanya. Hamba tidak bermaksud menyakiti hati Yang Mulia."
Raja Bramasta: "Menjelaskan apa? Bahwa kau telah menghancurkan hidupku, menghancurkan keluargaku? Pergi! Jangan pernah kembali!"
Suara Ibu Suri terdengar dingin, penuh amarah
Ibu Suri: "Cukup, Bramasta! Cukup sandiwara ini! Aku sudah tahu semuanya. Aku tahu tentang hubunganmu dengan wanita ini!"
Bintang Senja terkejut mendengar suara ibunya. Ia tidak pernah melihat ibunya semarah ini sebelumnya.
Raja Bramasta: "Kandahar... dengarkan aku. Ini tidak seperti yang kau pikirkan."
Ibu Suri: "Tidak seperti yang kupikirkan? Jadi, apa? Kau ingin mengatakan bahwa kau tidak berselingkuh dengan dayangmu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ainul hasmirati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Surat untuk Ayahanda Raja
Mentari pagi merayap masuk melalui jendela-jendela besar Istana Senja, menyinari wajah Bintang yang tengah menekuk di meja kerjanya. Tumpukan perkamen berserakan, pena bulu angsa menari-nari di atasnya, menghasilkan barisan kata yang membentuk sebuah surat. Surat untuk Ayahandanya, Raja Bramasta Surya.
Bintang menghela napas. Sudah berhari-hari ia berkutat dengan surat ini, mencari kata-kata yang tepat untuk menyampaikan isi hatinya. Bukan perkara mudah menulis kepada seorang raja, apalagi seorang ayah yang selama ini ia kagumi sekaligus takuti.
"Yang Mulia Putri," suara lembut memasuki ruangan. Embok Darmi, pengasuh Bintang sejak kecil, berdiri di ambang pintu dengan senyum teduh. "Sarapan sudah siap. Jangan sampai lupa mengisi perut, Nduk."
Bintang mendongak, membalas senyum Embok Darmi. "Terima kasih, Embok. Sebentar lagi saya menyusul."
Embok Darmi mengangguk, lalu menghilang di balik pintu. Bintang kembali menatap suratnya. Ia harus segera menyelesaikan ini. Semakin cepat surat ini sampai ke tangan Ayahandanya, semakin cepat pula ia mendapatkan jawaban atas kegelisahannya.
Ruang makan Istana Kencana Loka pagi itu terasa sepi. Hanya ada Bintang dan Pangeran Aldguer yang duduk di meja panjang yang biasanya dipenuhi oleh anggota keluarga kerajaan. Raja Bramasta Surya sedang berada di wilayah perbatasan, meninjau kesiapan pasukan. Ratu Kandahar mendampingi suaminya, memberikan dukungan moral kepada para prajurit.
"Kau tampak serius sekali, Bintang," tegur Aldguer sambil mengoleskan selai di atas roti. "Sedang menulis surat cinta?"
Bintang mendengus. "Bukan urusanmu, Aldguer."
Aldguer terkekeh. "Ayolah, cerita padaku. Siapa tahu aku bisa membantu."
Bintang menimbang-nimbang sejenak. Ia tahu, Aldguer memang suka ikut campur urusan orang lain. Tapi, di sisi lain, ia juga tahu bahwa adiknya itu memiliki kecerdasan dan wawasan yang luas. Mungkin, Aldguer bisa memberikan saran yang berguna.
"Aku sedang menulis surat untuk Ayahanda," jawab Bintang akhirnya.
"Oh ya? Surat tentang apa?"
"Tentang... banyak hal," Bintang menjawab dengan ragu. "Tentang perasaanku, tentang masa depanku, tentang kerajaan ini."
Aldguer mengernyit. "Kau terdengar seperti sedang memberontak, Bintang."
"Bukan begitu," sanggah Bintang. "Aku hanya ingin Ayahanda tahu apa yang ada di pikiranku. Aku ingin dia mengerti bahwa aku juga punya mimpi dan harapan."
"Mimpi dan harapan seperti apa?"
Bintang terdiam. Ia tidak yakin apakah ia siap untuk mengungkapkan semuanya kepada Aldguer. Tapi, ia sudah memulai percakapan ini, dan ia merasa harus menyelesaikannya.
"Aku ingin menjadi lebih dari sekadar seorang putri," kata Bintang akhirnya. "Aku ingin berkontribusi untuk kerajaan ini, bukan hanya menjadi pajangan di istana."
Aldguer menatap Bintang dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kau tahu, kan, apa yang Ayahanda inginkan untukmu?"
Bintang mengangguk. Ia tahu betul apa yang diinginkan Ayahandanya. Menikah dengan pangeran dari kerajaan lain, memperkuat aliansi, dan menghasilkan pewaris tahta. Sebuah tugas mulia, memang. Tapi, bukan itu yang ia inginkan.
"Aku tahu," jawab Bintang lirih. "Tapi, aku tidak yakin apakah aku bisa melakukannya."
Setelah sarapan, Bintang kembali ke ruang kerjanya. Ia duduk di depan meja, menatap surat yang belum selesai. Kata-kata yang tadi mengalir deras, kini terasa membeku di ujung pena. Ia merasa bimbang, takut, dan tidak yakin dengan apa yang harus ia lakukan.
Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benaknya. Ia akan menulis surat ini dengan jujur, apa adanya. Ia akan mengungkapkan semua keraguan, ketakutan, dan harapan yang selama ini ia pendam. Ia akan biarkan Ayahandanya tahu siapa dirinya yang sebenarnya.
Dengan tekad yang baru, Bintang mulai menulis. Ia menulis tentang perasaannya yang tertekan dengan aturan dan tradisi kerajaan. Ia menulis tentang mimpinya untuk melihat rakyatnya hidup sejahtera dan bahagia. Ia menulis tentang ketakutannya untuk mengecewakan Ayahandanya.
Kata-kata itu mengalir begitu saja, memenuhi lembar demi lembar perkamen. Ia tidak peduli lagi dengan tata bahasa atau gaya penulisan yang baku. Ia hanya ingin jujur, sepenuh hati.
Ayahanda Raja Bramasta Surya yang ananda hormati,
Surat ini ananda tulis dengan hati yang berdebar, penuh keraguan, namun juga dengan harapan besar. Mungkin Ayahanda terkejut membaca surat dari ananda, seorang putri yang telah meninggalkan istana dan segala kemewahannya. Namun, percayalah, Ayahanda, ananda menulis ini karena ananda ingin Ayahanda tahu siapa diri ananda sebenarnya.
Selama ini, ananda merasa tertekan dengan aturan dan tradisi kerajaan yang begitu ketat. Ananda merasa terkekang, seolah-olah ananda hanya boneka yang harus mengikuti semua perintah. Ananda tahu, Ayahanda menginginkan ananda menjadi putri yang anggun, bijaksana, dan patuh. Namun, jauh di lubuk hati ananda, ada keinginan yang membara untuk melakukan sesuatu yang lebih berarti.
Ananda bermimpi melihat rakyat Kerajaan Kencana Loka hidup sejahtera dan bahagia. Ananda ingin melihat anak-anak bisa bersekolah, para petani bisa panen dengan melimpah, dan semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk meraih impian mereka. Ananda tahu, Ayahanda telah melakukan banyak hal untuk kemajuan kerajaan. Namun, ananda merasa masih banyak yang bisa dilakukan, dan ananda ingin menjadi bagian dari perubahan itu.
Namun, Ayahanda, ananda juga takut. Ananda takut mengecewakan Ayahanda, membuat Ayahanda malu, dan merusak nama baik keluarga kerajaan. Ananda tahu, keputusan ananda untuk meninggalkan istana mungkin telah membuat Ayahanda marah dan kecewa. Ananda mohon maaf atas segala kesalahan yang telah ananda perbuat.
Ananda tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Ananda tidak tahu apakah ananda mampu mewujudkan impian ananda. Namun, satu hal yang pasti, Ayahanda, ananda akan berusaha sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik bagi Kerajaan Surya. Ananda akan menggunakan segala kemampuan dan pengetahuan yang ananda miliki untuk membantu rakyat yang membutuhkan.
Ananda berharap, Ayahanda bisa mengerti dan menerima keputusan ananda. Ananda berharap, Ayahanda bisa melihat bahwa di balik semua kesalahan dan kekurangan ananda, ada hati yang tulus dan niat yang baik. Ananda berharap, Ayahanda bisa memberikan restu kepada ananda untuk menjalani jalan hidup yang telah ananda pilih.
Ananda akan selalu mencintai dan menghormati Ayahanda. Semoga Dewata senantiasa melindungi dan memberkati Ayahanda.
Dengan cinta dan hormat,
Putri Bintang
Malam harinya, Bintang memanggil seorang utusan kerajaan. Ia menyerahkan surat yang sudah selesai ditulis, dengan pesan agar surat itu segera disampaikan kepada Raja Bramasta Surya.
"Pastikan surat ini sampai ke tangan Ayahanda secepat mungkin," pesan Bintang kepada sang utusan.
Utusan itu mengangguk hormat, lalu bergegas pergi. Bintang menatap kepergiannya dengan perasaan campur aduk. Ia merasa lega karena sudah menyampaikan isi hatinya. Tapi, ia juga merasa cemas dengan reaksi Ayahandanya.
Beberapa hari kemudian, sebuah balasan tiba dari Raja Bramasta. Bintang menerima surat itu dengan tangan gemetar. Ia membuka segel kerajaan dengan hati-hati, lalu mulai membaca.
Putriku Bintang yang tercinta,
Ayahanda menerima suratmu dengan hati yang terbuka. Ayahanda mengerti apa yang kau rasakan. Ayahanda tahu bahwa kau memiliki mimpi dan harapan yang berbeda dengan apa yang Ayahanda inginkan.
Ayahanda tidak akan memaksamu untuk mengikuti jalan yang tidak kau inginkan. Ayahanda ingin kau bahagia, dan Ayahanda percaya bahwa kau akan membuat keputusan yang terbaik untuk dirimu sendiri.
Tapi, ketahuilah, Putriku, bahwa menjadi seorang putri bukanlah sebuah kutukan. Kau memiliki kekuatan untuk mengubah dunia, untuk membuat perbedaan. Gunakanlah kekuatanmu itu untuk kebaikan.
Ayahanda selalu menyayangimu, dan Ayahanda akan selalu mendukungmu.
Hormat Ayahanda,
Raja Bramasta Surya
Kamar Bintang setelah membaca surat.
Bintang mengusap air mata "Ayah... akhirnya aku mengerti." (Memeluk surat itu erat)
Pelayan Ratih, masuk dengan membawa teh hangat
"Putri, ada apa? Mengapa Anda menangis?"
Bintang tersenyum "Bukan tangis sedih, Ratih. Ini tangis bahagia. Ayah mengizinkanku memilih jalanku sendiri."
Ratih terkejut "Benarkah? Lalu, apa yang akan Putri lakukan?"
Bintang menatap keluar jendela "Aku akan melakukan sesuatu yang berarti. Sesuatu yang bisa membuat perbedaan."
Akhirnya, ia mendapatkan jawaban yang selama ini ia cari. Ia bebas untuk memilih jalannya sendiri.
Beberapa minggu kemudian, sebuah pengumuman mengejutkan mengguncang seluruh kerajaan. Putri Bintang, putri Kerajaan Kencana Loka, memutuskan untuk mengundurkan diri dari posisinya. Ia ingin mengabdikan dirinya untuk membantu rakyat miskin dan membutuhkan.
Ruang Tahta, pengumuman pengunduran diri
Raja Kencana Loka, dengan wajah sedih namun tegar, berdiri di samping Bintang
"Rakyatku, hari ini adalah hari yang berat. Putri Bintang telah memutuskan untuk mengundurkan diri dari posisinya sebagai Putri Kerajaan."
Bisik-bisik terdengar di antara para hadirin
Bintang (maju ke depan) "Aku tahu ini mengejutkan. Tapi, hatiku terpanggil untuk melayani dengan cara yang berbeda. Aku ingin berada di antara kalian, membantu mereka yang membutuhkan."
Seorang bangsawan tua, dan sekaligus guru Putri Bintang Raden , maju
"Putri, ini tidak masuk akal! Anda adalah harapan kerajaan! Mengapa Anda memilih jalan yang sulit?"
"Karena kebahagiaan sejati ada dalam memberi, Raden. Bukan dalam menerima."
Bintang memulai perjalanannya dengan mengunjungi desa-desa terpencil di seluruh kerajaan. Ia membantu membangun sekolah, rumah sakit, dan fasilitas umum lainnya. Ia memberikan pelatihan keterampilan kepada para pemuda, agar mereka bisa mandiri dan sejahtera.
Desa terpencil, beberapa bulan kemudian
Bintang, berpakaian sederhana, membantu membangun sekolah bersama warga desa
Seorang anak kecil "Putri, mengapa Anda mau melakukan ini? Ini pekerjaan kasar."
Bintang tersenyum, mengusap kepala anak itu
"Karena kalian adalah masa depan, Nak. Dan aku ingin masa depan kalian cerah."
Seorang ibu, menghampiri Bintang
"Dulu, kami hanya bisa bermimpi tentang sekolah. Sekarang, berkat Putri, anak-anak kami bisa belajar."
Bintang memegang tangan ibu itu
"Ini adalah kekuatan kita bersama. Kita bisa mengubah dunia, sedikit demi sedikit."
Puncak bukit saat senja
Bintang berdiri, menatap matahari terbenam. Ratih menghampirinya
"Putri, Anda terlihat bahagia. Apakah ini benar-benar jalan yang Anda inginkan?"
Bintang mengangguk "Ya, Ratih. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Aku telah menemukan bintang senjaku."
"Bintang senja?"
"Ya. Cahaya yang membimbingku, mengingatkanku bahwa bahkan dalam kegelapan, selalu ada harapan."
Perlahan tapi pasti, kehidupan rakyat Kerajaan Senja mulai membaik. Kemiskinan berkurang, kesehatan meningkat, dan pendidikan semakin merata. Bintang menjadi pahlawan bagi rakyatnya, seorang putri yang rela berkorban demi kebaikan bersama.