Kayyisa nggak pernah mimpi jadi Cinderella.
Dia cuma siswi biasa yang kerja sambilan, berjuang buat bayar SPP, dan hidup di sekolah penuh anak sultan.
Sampai Cakra Adinata Putra — pangeran sekolah paling populer — tiba-tiba datang dengan tawaran absurd:
“Jadi pacar pura-pura gue. Sebulan aja. Gue bayar.”
Awalnya cuma kesepakatan sinting. Tapi makin lama, batas antara pura-pura dan perasaan nyata mulai kabur.
Dan di balik senyum sempurna Darel, Reva pelan-pelan menemukan luka yang bahkan cinta pun sulit menyembuhkan.
Karena ini bukan dongeng tentang sepatu kaca.
Ini kisah tentang dua dunia yang bertabrakan… dan satu hati yang diam-diam jatuh di tempat yang salah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dagelan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21: Realita yang Menarik Napas Panja
Hari ini adalah pertemuan keempat kelas tambahan sultan. Harusnya aku sudah terbiasa. Harusnya aku bisa masuk ruangan dengan hati tenang, duduk, belajar, jadi murid normal yang nggak terlalu diperhatiin.
TAPI TIDAK.
Karena hidupku sekarang punya satu masalah besar bernama:
Cakra.
Begitu aku masuk, AC dinginnya langsung nusuk tulang—seperti masuk kulkas yang baru dibuka. Aku mengangkat kerah seragam seolah orang kedinginan yang baru masuk mall di musim hujan badai.
“Kay.”
Suara itu keluar dari ujung ruangan—terlalu familiar, terlalu bikin jantungku melakukan cardio harian tanpa izin. Aku langsung refleks berhenti, muka bingung campur panik.
Cakra.
Dia sudah duduk di tempat biasa: meja nomor tiga dari depan. Kursi sampingnya… kosong.
Tentu saja kosong. Karena dia sengaja ngebiarin kosong buat gue.
Aku menghela napas panjang, bicara sendiri: “Boleh nggak sih gue pura-pura nggak denger dan pindah ke planet lain sebentar? Seminggu aja?”
Tapi dia sudah melihatku. Dengan tatapan datar, pelan, stabil—tatapan “ke sini” yang nggak perlu ngomong apa-apa. Aku menyerah deh. Berjalan ke arahnya, dan baru duduk… aku langsung ingat sesuatu.
Semua anak di sini nggak nulis dibuku. Semua pake iPad. Aku sempat termenung—ya namanya juga orang miskin, gue cuma punya buku catatan kertas—sambil ngeliatin tangan ku yang kosong. Tiba-tiba, sebuah iPad putih dengan casing transparan pelan-pelan didorong ke arahku.
Dor.
“Ngapain?” kata Cakra, seolah itu hal paling wajar.
Aku menatapnya dengan muka horor. “Lo yang ngapain? Ini iPad lo kan?”
“Enggak papa, siapa tahu lo bosen. Mau nonton?”
“Dikelas begini? Nonton? Yang lain dipake nulis!”
“Yaudah, nggak mau?”
“HAH? Emang ngasih ke gue?!”
“Nggak.” Padahal aku tahu, Cakra juga sering nulis di iPad itu. “Lo nggak nulis?”
“Di memory.”
“Hm, iya deh percaya. Kaya orang yang bilang ‘gue udah belajar’ tapi nggak baca apa-apa.”
Dia menaikkan alis tipis. “Gue nggak kosong.”
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. “Tolong hargai tekanan hidup dan harga diri gue sebagai manusia. Ini kedua kali gue minjem barang lo… nanti gue bikin hutang budi sampe tua!”
“Dipinjemin. Bukan minjem.” Nada Cakra tetap datar, tapi ada sesuatu di sana—hangat, kayak sinar matahari pagi. “Gue yang kasih. lo tinggal pakai.”
Kenapa setiap kalimat dia terdengar kayak ucapan suami sabar yang ngasih coat ke istrinya saat hujan? Aku memalingkan wajah, pipi panas. “Gue jadi nggak enak.”
“Gue enak tuh.”
Sial. Kenapa itu terdengar lebih fatal dari yang dia kira? Seperti dia beneran senang ngasih apa-apa ke gue.
Setengah Jam Kemudian. Aku Sungguh Tidak Fokus
Kelas dimulai. Guru menjelaskan materi ekonomi yang bikin kepala pusing—tentang permintaan dan penawaran yang kayak teka-teki rahasia. Aku mencoba ikut mencatat di iPadnya Cakra, niat mau coba belajar kayak orang kaya tapi, masalahnya. Cakra duduk terlalu dekat.
Beneran dekat. Kayak… dekat banget. Kayak kalau aku nafas terlalu kencang, dia pasti kedengeran.
Aku menggeser kursiku sedikit ke kiri.
Dia ikut geser sedikit ke kiri.
Aku geser lagi, sampe kursi mau nempel tembok.
Dia ikutan lagi.
AKU DIPOSISI APA NIH? MAIN MUSIK KURSI YANG BERGESER-GESER?
“Lo…” bisikku pelan, matanya tetep ke depan agar guru nggak lihat, “…ngapain geser juga? Gue mau ruang buat bernapas!”
“Biar sejajar.”
“Sejajar apanya? Kita ujian nasional yang harus duduk rapi?!”
Dia mengangkat bahu tipis, seolah itu jawaban seluruh dunia. Sementara itu hatiku lagi balapan kayak motor drag di sirkuit—cepat, kencang, nggak ada jeda.
Waktu pulang pun, yang menyebalkan nya Cakra tidak bergerak
Kelas selesai. Anak-anak langsung keluar ruangan, sibuk ngobrol tentang acara akhir tahun. Aku bergegas berdiri, siap kabur sebelum dia ngajak apa-apa lagi—tapi tangan Cakra mencolek meja kecil di sampingku.
“Hm?” Aku menoleh, jantungnya lagi deg-degan.
“Ada yang mau gue kasih,” katanya singkat.
Dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah… stabilo? Pink pastel. Manis banget, kayak warna kue cupcake.
Aku berkedip berkali-kali. “Ini… buat gue?”
“Punya lo kemarin ketinggalan waktu kelas kedua,” katanya kalem, seolah itu hal yang paling penting. “Gue simpan.”
Apa-apaan sih orang ini. Kok inget hal sekecil itu? Kirain barang dia kasih pula, memang Geer. Kelewatan. Aku aja udah lupa kejadian itu woy! Aku mengambil stabilo itu pelan-pelan, jari ku gemetar. “Mak—makasih,” jawabku canggung, suaraku serak dikit. “Lo nggak harus—”
“Harus,” potongnya pelan, matanya menatapku.
Aku langsung bengong.
“Biar lo nggak hilang barang lagi.”
Tolong hentikan. Hentikan kebaikan tak terduga ini. Aku takut baca tanda yang bukan-bukan. Aku takut lupa ini cuma pura-pura.
Aku menunduk cepat, malu sampe mau menyembunyikan diri di balik kantung doraemon. “Gue… pulang dulu.”
Dia nggak menahanku. Cuma mengangguk sekali. Tapi tatapan itu mengikuti sampai aku keluar ruangan. Sebenernya itu yang bikin dada aku panas sendiri—rasanya dia beneran peduli apa yang terjadi ke gue.
Begitu keluar dari lingkungan sekolah, dunia berubah total. Nggak ada AC yang dingin. Nggak ada bangku empuk. Nggak ada aura sultan Cakra yang bikin orang lihat.
Yang ada cuma cuaca panas yang menyengat dan gerobak minuman tempat aku kerja. Aku menggulung lengan seragam, mengganti sepatu jadi sandal jepit, dan mulai nyiapin bahan: potong lemon yang segar, siapin cup plastik, masukin es batu yang dingin, nyalain lampu kecil yang bikin gerobak terang.
Pelanggan mulai berdatangan, suaranya rame dan nyaman.
“Kay! Es teh lemon satu, gula sedikit!”
“Kay, kemarin aku pesan dua tapi lupa bayar—ini ya uangnya!”
“Kayyisa, tolong refill gula cair dong! Pelangganku banyak!”
Rutin. Capek. Tapi nyaman. Di sini aku bukan rumor “pacar Cakra”. Bukan partner lomba runner team. Bukan bagian dari kelas tambahan sultan. Aku cuma… aku. Kiran yang kerja di cafe minuman buat bantuan biaya keluarga.
Sampai aku buka HP, dan lihat satu pesan masuk. Dari dia.
Cakra: Jangan lupa makan. Lo kelihatan pucat tadi.
Aku menatap layar lama. Sangat lama. Kenapa dia bisa tahu aku belum makan? Peramal?
Aku mengetik. “Terima kasih, lo juga ya”—lalu hapus. Ketik lagi. “Gue akan makan nanti”—hapus lagi. Idih, alay banget, kayak orang yang bener pacaran aja. Akhirnya aku cuma balas yang paling sederhana.
Kayyisa: Ok. Lo juga.
Dan rasanya dada aku… ya gitu. Hangat aneh. Antara nyaman, gugup, dan takut salah paham. Karena ini masih pacaran pura-pura. Dan aku masih harus jaga jarak. Harusnya begitu. Kayyisa sadar!
✨ Bersambung...