KONTEN INI AREA DEWASA‼️
Lima tahun cinta Shannara dan Sergio hancur karena penolakan lamaran dan kesalah pahaman fatal. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di atas kapal pesiar. Sebuah insiden tak terduga memaksa mereka berhubungan kembali. Masalahnya, Sergio kini sudah beristri, namun hatinya masih mencintai Shannara. Pertemuan di tengah laut lepas ini menguji batas janji pernikahan, cinta lama, dan dilema antara masa lalu dan kenyataan pahit.
Kisah tentang kesempatan kedua, cinta terlarang, dan perjuangan melawan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RYN♉, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GTTS chapter 14
Tentu, ini dia teks yang sudah diperbaiki dengan tanda kutip dialog yang sesuai:
Mentari pagi menyelinap melalui celah tirai usang kamar Shannara, menyinari wajahnya yang tampak kelelahan. Matanya baru saja terbuka saat aroma udang goreng menusuk hidungnya, aroma yang langsung menghadirkan sesak di dadanya.
Udang.
Makanan kesukaan Aldi.
Dan alergi terburuk bagi Shannara sejak masa kecil.
Dulu, setiap kali bibir dan kulitnya membengkak akibat alergi itu, ibunya hanya berkomentar singkat, “Jangan terlalu manja. Hanya karena udang? Udang itu enak, tahu.” Kata-kata itu terpatri dalam benak Shannara hingga kini.
Dengan langkah perlahan, Shannara menuju dapur dengan rambut kusut dan mata sembap. Ia bangun kesiangan, saat matahari sudah tinggi. Ibunya menoleh sekilas, dahinya langsung berkerut.
“Baru bangun jam segini?”
Nada suara itu dingin, bukan sekadar heran, melainkan sindiran. Shannara menarik napas dalam, berusaha tersenyum meski hatinya terasa perih.
“Iya, Bu. Semalam susah tidur.”
Hilda tak menjawab. Ia melanjutkan menata udang goreng ke piring besar, menambahkan sambal di sisi piring, lalu meletakkannya di meja makan.
“Ibu masak udang?” tanya Shannara lirih, meski sudah tahu jawabannya.
“Iya,” jawab Hilda tanpa menoleh. “Aldi yang minta.”
Shannara terpaku menatap piring itu.
Tangannya tanpa sadar menyentuh lehernya, mengingat rasa gatal yang selalu muncul setiap kali ia tak sengaja memakan udang saat kecil.
“Tapi Ibu tahu kan, aku alergi udang?” suaranya hampir tak terdengar.
Hilda menoleh sekilas, lalu mengangkat bahu dengan dingin. “Ini bukan untukmu.”
Sunyi.
Seolah semua suara di rumah itu lenyap, hanya detak jam dinding yang terdengar pelan namun menyayat hati.
Shannara berusaha menahan nyeri di dadanya. Ia sadar, sejak dulu Aldi selalu menjadi anak kesayangan. Dan setiap kali Hilda memasak udang, itu berarti: hari ini bukan harinya Shannara.
Ia menarik kursi, duduk perlahan.
“Ada yang bisa Nara bantu, Bu?”
“Tidak usah,” jawab Hilda cepat. “Nanti malah salah lagi.”
Nada itu seperti tamparan halus. Namun Shannara hanya menunduk, memilin ujung baju tidurnya, mencoba menahan getar di bibirnya.
Beberapa menit berlalu tanpa suara. Hanya bunyi piring, sendok, dan wajan.
Kemudian, tiba-tiba Hilda bersuara dari arah kompor.
“Kapan kamu berlayar lagi?”
Shannara mendongak, terkejut.
“Kapan kapalmu berangkat lagi? Berapa lama kamu mau di rumah ini?” Nada suaranya datar, namun jelas bukan pertanyaan biasa. Lebih seperti sindiran halus yang menusuk dada.
Shannara terdiam.
Lalu, dengan napas berat, ia memilih jujur.
“Aku … tidak berlayar lagi, Bu.”
“Maksudmu?”
“Aku sudah berhenti kerja.”
Seketika dapur itu hening. Hilda berbalik cepat, menatap putrinya dengan mata membulat tak percaya.
“Berhenti?” ulangnya pelan, namun dengan nada berbahaya.
Shannara mengangguk lirih. “Iya. Aku sudah mengajukan pengunduran diri.”
“Kamu pikir hidup ini lelucon, hah?!”
Suara panci dibanting ke meja. Bunyi logam bergema di ruangan, memecah keheningan.
“Itu pekerjaan bagus, Nara! Gaji besar, tempat tinggal terjamin, makan enak! Banyak orang yang melamar tapi tidak diterima, kamu malah seenaknya berhenti?!”
Shannara mencoba menjelaskan. “Aku tidak sanggup lagi, Bu. Banyak hal yang—”
“Banyak hal apa?!” bentaknya. “Drama pribadi? Baru sedikit lelah saja sudah menyerah?! Kamu pikir hidup di darat lebih mudah?! Dasar anak manja!”
“Bu, tolong dengarkan dulu—”
“Tidak perlu! Aku hanya ingin tahu satu hal,” suaranya mulai bergetar. “Kalau kamu berhenti kerja, siapa yang akan membayar listrik, air, cicilan, dan—” Ia terdiam, wajahnya menegang.
Shannara mengerutkan kening. “Dan apa, Bu?”
Ibunya menghela napas berat, namun kata-kata selanjutnya meluncur tanpa terkendali. “Rumah ini ... sudah kugadaikan.”
Shannara membeku. “Apa?”
“Rumah ini sudah kugadaikan ke bank!” teriak ibunya akhirnya. “Bank ilegal, Nara! Aku tidak punya pilihan! Aku butuh uang untuk membebaskan adikmu dari penjara!”
Langit-langit seolah runtuh menimpa Shannara. “Bu...” suaranya bergetar. “Ibu ... menggadaikan rumah ini? Rumah peninggalan Nenek?!”
“Kalau tidak, adikmu akan membusuk di sana! Aku tidak bisa membiarkannya!” Ibunya menatap tajam, matanya basah namun penuh amarah. “Tiga ratus juta, Nara. Tahun depan harus lunas. Jika tidak, rumah ini akan disita!”
Shannara menatap lantai, tubuhnya terasa lemas. “Bu, kenapa tidak bilang dari awal? Aku bisa—”
“Bisa apa kamu?!” potong ibunya cepat. “Dua tahun bekerja di kapal, tapi tidak punya tabungan sepeser pun! Seharusnya kamu membantu adikmu, bukan malah pulang membawa kabar pengunduran diri!”
“Bu, selama ini gajiku selalu Ibu ambil! Aku hanya menyisakan tiga puluh persen untuk diriku sendiri! Semuanya untuk membayar utang, untuk rumah, untuk Aldi juga!”
“Ya, karena kamu anak pertama!” teriak ibunya lagi. “Kamu harus bertanggung jawab, bukan mengeluh seperti anak kecil!”
Shannara menatap ibunya dalam-dalam, matanya berkaca-kaca. “Bertanggung jawab?” Ia tersenyum getir. “Sejak kecil aku selalu bertanggung jawab, Bu. Bahkan saat aku sakit karena alergi udang pun, Ibu bilang aku manja. Aku belajar kuat sendirian. Tapi sampai sekarang, Ibu tidak pernah benar-benar melihatku...”
Ibunya terdiam sejenak, namun egonya lebih kuat dari rasa bersalah yang mungkin sempat muncul. “Jangan ungkit masa lalu! Kamu hanya mencari alasan untuk lari dari kewajiban!”
“Tidak, Bu,” jawab Shannara lirih, namun tatapannya tajam. “Aku hanya lelah disalahkan terus-menerus. Aku bekerja keras, tapi tetap saja salah.”
Hening. Hanya terdengar desis minyak di wajan yang mulai gosong. Ibunya berbalik, mematikan kompor dengan kasar, lalu berkata tanpa menatap, “Kalau kamu tidak mau membantu keluarga ini, jangan harap bisa tenang di rumah ini. Apa artinya pulang-pulang malah jadi pengangguran, mau jadi beban lagi?”
Shannara menatap punggung ibunya, sosok yang dulu ia kira akan melindunginya, namun kini hanya memberikan luka. Ia mundur perlahan, meraih tas kecilnya, dan meninggalkan dapur dengan langkah gemetar.
Udang di meja masih mengepul, namun rasanya sudah seperti racun.
Dan pagi itu, untuk pertama kalinya, Shannara sadar: mungkin rumah ini memang bukan lagi tempat untuk pulang.
BACA GUYS GAK BAKAL NYESELLLL
makin d baca makin candu pas awal awal kek bakal boring ternyata pertengahan baru ah i see
semangat author aku 🫶
ada aja kelakuan bapak ini gmesss🤭