"semua orang memiliki hak untuk memiliki cita-cita,semua orang berhak memiliki mimpi, dan semua orang berhak untuk berusaha menggapainnya."
Arina, memiliki cita-cita dan mimpi tapi tidak untuk usaha menggapainya.
Tidak ada dukungan,tidak ada kepedulian,terlebih tidak ada kepercayaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tulisan_nic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 Menahan perasaan
"Ini hari terakhir aku bareng kamu,tanganku sudah sembuh.Kamu nggak perlu repot-repot lagi jemput dan antar aku" Arina merapatkan jas almamaternya,setelah duduk di jok mobil milik Arkan.
"Aku tidak keberatan kalau setiap hari harus melakukannya untukmu " Arkan menutup pintu mobil pelan.Gerakannya lambat tidak terburu-buru.Duduk di samping Arina yang seperti biasa ada jarak di tengah.
"Aku bisa sendiri" suara Arina dingin.Sejak ia menemukan ponselnya retak seribu,hatinya di liputi mendung hitam.Tidak berselera untuk banyak bicara.
"Apa kamu terbiasa seperti ini Arina?"
"Maksudmu?"
"Apa menurutmu menerima bantuan dari orang lain suatu aib untukmu?"
"Aku hanya tidak mau merepotkan orang lain"
"Tidak ada yang merasa di repotkan,lagi pula rumahmu itu satu arah dengan rumahku.Setiap hari juga aku melewatinya."
"Dari awal kan hanya sampai tanganku sembuh saja,setelah itu kamu tidak perlu melakukannya lagi"
"Aku akan terus menjemput dan mengantarkanmu.Kamu tidak boleh menolak"
"Kamu ini...!" Suara Arina sedikit meninggi dengan mengacungkan jari telunjuk pada Arkan.Melihat wajah Arkan yang tanpa ekspresi Arina malah frustasi sendiri.Menurunkan telunjuknya,lalu menggenggam sambil mengerucutkan bibir.
"Dia itu,uh....selalu saja memaksa.Menyebalkan" hatinya menggerutu.
Arkan masih diam saja.Saat Arina menatap ke depan dengan bibir masih mengerucut ia melirik sekilas."Cewek ini imut sekali kalau lagi marah" kata-kata dari hatinya tadi membuat ujung bibirnya terangkat membentuk senyuman samar sesaat.
Mereka sampai ke gerbang sekolah dengan cepat,Arkan masih membawakan tas ransel Arina yang selalu berat menurutnya.Berbeda sekali dengan tas miliknya yang hanya berisi dua buah buku dan alat tulis saja.Arkan terbiasa menaruh buku-buku nya di loker tidak semua dia bawa pulang.Sangat berbeda dengan Arina yang tidak mau meninggalkan buku-buku nya karna dia terbiasa mengulang kembali di rumah apa yang ia pelajari di sekolah.
Arkan berjalan selalu lebih dulu dari Arina,mungkin karna kakinya yang lebih panjang jadi langkahnya lebih besar-besar.
Jalan cepat menurut Arina,bagi Arkan hanya jalan santai.
"Arkan,tunggu...sebentar"
Arkan menoleh ke belakang
"Ada apa?"
"Ini..." Arina menunjuk ke sepatunya yang ternyata talinya lepas.Tapi dia agak kesulitan karna tangannya susah untuk mengikat kembali,karna tangan satunya masih agak nyeri.
Arkan mendekat,berjongkok membantu mengikatkan tali sepatunya.Meski Arina terlihat sangat canggung karna semua mata menuju kepada mereka berdua.
"Tolong kamu ikat yang ngga sampe lepas-lepas".
"Gimana nanti kalau kamu lepas sepatu?"
"Bisa... kemarin-kemarin aku mengikatnya begitu karna aku masih kesusahan untuk mengikat kalau sudah terpasang di kaki"
"Tangan mu masih sangat sakit?"
"Tidak terlalu,cuma kalau untuk mengikat tali seperti tadi masih agak susah"
Mata Arkan meneliti tangan Arina,dia tidak mudah begitu saja percaya pada nya.Ia tahu Arina tipe yang ingin terlihat baik-baik saja dan tidak mau merepotkan orang lain.Sudah tidak ada bengkak dan memerah di sana.Sudah tampak normal."Mungkin,nyerinya masih ada.Butuh waktu untuk pulih" Arkan masih terus memperhatikan tangan itu,sambil berbicara dalam hati.
"Nanti kalau tali sepatunya lepas lagi,kamu bilang ya"
"Ehm...tapi..."
"Aku tidak merasa repot,sudah tidak usah banyak berpikir"
Arina mengangguk,matanya menatap ujung sepatunya.
***
Pelajaran pertama sudah di mulai,tapi bangku Evan masih kosong.Arina menatap ke bangku itu
"Evan tidak masuk kelas,ada apa ya sama dia.Padahal hari ini aku mau meminta maaf,karna kemarin aku terlalu sensitif"
"Apa dia sakit?"
"Tapi tidak ada keterangan sakit dari orang tuanya.Ada apa ya dengannya?"
Vivian melihat sahabatnya itu,menepuk punggung tangannya pelan.Arina langsung menoleh
"Evan kenapa nggak masuk?"
"Kamu nggak baca statusnya di sosmed?"Suara Vivian berbisik-bisik
"Apa?" Arina penasaran
"Dia,sepertinya sedang ada masalah"
"Masalah apa?"
"Dari Status yang aku baca,dia seperti sedang marah pada dua orang"
"Ha?....dua orang,siapa?"
"Kata-katanya, 'Dua orang yang mengambil paksa, satu-satunya milikku' begitu"
"Apa maksudnya ya...?"
"Aku kira kamu yang sudah tahu.Dia kan tiap istirahat bareng kamu"
"Nggak,kemarin aku malah marah-marah nggak jelas sama dia.Aku sebenarnya mau minta maaf karena kemarin aku terlalu sensitif"
"Kamu marahin dia? Kenapa?"
"Aku tersinggung pas dia bilang aku yang belum bisa membeli kabel USB seperti sangat kesulitan padahal itu hal mudah,maksud dia aku bisa minta tolong sama dia buat beliin.Tapi aku nya salah paham duluan.Aku jadi tidak enak"
"Ah...itu random banget"
Arina menatap ke papan tulis,mencoba untuk kembali fokus pada pelajaran yang di terangkan oleh guru.Namun itu hanya matanya saja,dia tidak sepenuhnya mendengar.Kata-kata dari Vivian tadi mengusik pikirannya.Ponselnya yang rusak membuatnya tidak bisa melihat status Evan,setelah tau dari Vivian...Arina merasa dia sudah tidak adil padanya.
"Selama ini Evan selalu bantuin,selalu mengerti apa saja yang kesulitan ku.Sampai dia rela masak untuk kasih aku makanan karna dia tahu aku nggak punya uang buat jajan.Tapi pas Evan sedang tidak baik-baik aku malah tidak tahu.Huh...teman seperti apa aku" Hatinya berbicara banyak,menimbang-nimbang dan menduga-duga.
***
Arina masuk ke rumah,setelah pulang sekolah di antar Arkan.
Tubuhnya jadi tidak terlalu letih,karna tidak perlu berjalan untuk sampai ke rumah
Di ruang kecil dekat meja yang biasa Mamak menerima uang dari pelanggan yang selesai makan Mie Ayam berdiri gagah motor baru. Catnya masih mengkilap,dengan ban yang masih berduri,hitam dan tampak masih sangat baru.
"Motor siapa Mak"
Mamak masih mencuci mangkok saat Arina bertanya
"Motor untuk Mas mu itu,kasihan dia teman-temannya sudah pada naik motor.Dia SMA nanti biar ke sekolah bawa motor"
"Oh...Aku boleh juga dong pakai?"
"Nggak boleh,kamu perempuan nggak boleh nanti keluyuran" Raka keluar dari kamarnya,ketika mendengar suara Arina tadi.
Arina diam saja,tidak menjawab.Ucapannya tadi tidak terlalu serius untuknya.Lagi pula Arina tidak terlalu suka bepergian dengan tujuan yang tidak jelas. Dia lebih suka di rumah membantu Mamaknya atau mengulang pelajaran,sesekali dia membaca komik atau novel online.Hal itu lebih mengasyikkan baginya.
Jarak Arina dan Mamak tidak terlalu jauh,mereka berdiri bersisian.
"Mak,ponsel Arina rusak.Layarnya retak nggak bisa hidup lagi"
"Memangnya kamu apain ponselmu kok sampai begitu?"
"Aku nggak sengaja jatuhkan.Aku kira ngga apa-apa eh tahunya mati total" Arkan ikut bicara
"Duh... ada-ada saja.Ya sudah nggak usah pake Ponsel"
"Nggak bisa Mak,Guru suka kasih tugas yang kadang harus cari jawabannya di internet"
Suara Arina lirih,dia tidak biasa merengek.
"Kamu kira gampang cari duit buat beli ponsel baru,itu motor baru saja pake duit bayar cicilan pertamanya"
Arina tahu arah pembicaraan Mamak.Bicara banyak juga akan percuma.Dia hanya berjalan pelan menahan sesak dadanya,menuju kamar dengan air mata yang di tahan.Ada banyak yang ingin ia katakan,tapi...setiap Mamaknya membahas soal kesusahan nya mencari uang membuat Arina diam...menahan segala keinginan yang tak jadi di ungkapkan.