Di Benua Timur Naga Langit sebuah dunia di mana sekte-sekte besar dan kultivator bersaing untuk menaklukkan langit, hidup seorang pemuda desa bernama Tian Long.
Tak diketahui asal-usulnya, ia tumbuh di Desa Longyuan, tempat yang ditakuti iblis dan dihindari dewa, sebuah desa yang konon merupakan kuburan para pahlawan zaman kuno.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ar wahyudie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30
Di lapangan upacara Akademi, lingkaran batu disusun menutup jalan udara. Kabut sisa pagi masih menggantung, tetapi di antara kursi-kursi giok kini dipenuhi wajah-wajah tegang: murid, tetua, utusan sekte. Berita duel sudah menyebar — Elder Mo menuntut konfrontasi terbuka. Ia tidak mau lagi permainan bayangan atau operasi rahasia; ia ingin semua orang melihat “apa yang harus dibasmi.”
Elder Mo berdiri di atas podium batu, seolah menegakkan hukum. Api merah membungkus jubahnya, namun matanya lebih dingin dari bara. Di sisi lain, Elder Hua, Elder Ming, dan Elder Fang hadir sebagai pemirsa, mereka menolak eksekusi diam-diam, namun tidak bisa menggagalkan sidang. Atmosfer tegang; suara langkah seorang penjaga saja terasa keras.
Di antara kerumunan, Zhao Wen duduk terpaku, masih menahan sakit di pelipisnya. Ia sudah mendapat “hadiah” karena berani memancing. Di balik itu semua, Elder Mo ingin satu hal: tunjukkan jika Tian Long harus dipatahkan secara publik, agar tidak ada lagi yang berharap.
Tian Long berdiri di tengah lingkaran batu, tubuhnya belum pulih penuh. Bekas-bekas pertempuran masih tampak pada pakaian—sehelai kain compang-camping menempel pada pinggangnya. Namun pandangannya tajam. Di dalam, Long Zhen Tian berbisik seperti biasa, tetap ada, tetap mengamati.
Elder Mo mengangkat tangan. “Pertarungan ini bukan soal kemenangan pribadi,” suaranya bergema. “Ini soal tatanan. Jika kau menang, Akademi akan mempertimbangkan kembali kata-kata kami. Jika kau kalah—” ia berhenti sejenak, menatap langsung ke mata Tian Long, “—kau dikurung, demi keselamatan banyak jiwa.”
Kalimat itu seperti pisau. Tidak perlu kata-kata manis. Tian Long mengetahui aturannya: ia tidak ditantang untuk dipuji, melainkan untuk dilenyapkan bila kalah.
Zhao Wen maju sebagai perwakilan Bara Langit—ia bukan lagi pemuda yang dulu; aura api di tubuhnya berputar liar. Elder Mo memberi izin. Pertarungan dimulai.
Deng… gong kecil dipukul. Udara menegang.
Zhao Wen membuka serangan dengan tombak lidah-api, teknik yang dipoles untuk menembus pertahanan chi. Api hitam mengelupas udara, panasnya membuat beberapa penonton mundur. Tian Long mundur dua langkah, menilai. Tidak ada kata-kata manis dari dia—hanya posisi, napas, dan centang waktu.
Serangan kedua datang, lebih cepat; Zhao Wen memadukan gerakan pedang dan mantra Bara Dewa yang melilit jurusnya. Bunyi benturan kali pertama: denting tajam seperti pukulan logam ke logam. Bahu Tian Long terkena—robek tipis pada kain, darah menyembul di bibirnya. Penonton terkejut—mereka melihat darah pertama dari sang pewaris.
Tian Long menciutkan kening, mengingat pesan gurunya. Long Zhen Tian, dari dalam, menuntun: tidak memadamkan api dengan air, melainkan mengembalikannya pada asal. Bukan padam, melainkan arah.
Ia bergerak. Langkahnya bukan sekadar membalas; ia membentuk ritme. Satu gerakan mengalihkan hembusan, dua gerakan memaksa Zhao Wen kehilangan postur, tiga gerakan menekan titik keseimbangan lawan. Zhao Wen jatuh, tapi bangkit lagi—amat keras kepala.
Pertarungan itu cepat, tak ada jeda longgar. Setiap pukulan Tian Long bukan hanya untuk menggagalkan, melainkan memberi pelajaran. Ia menendang—bukan untuk meremukkan tulang, melainkan membuat lawan kehilangan tumpu. Ia menebas—bukan untuk membunuh, melainkan menyingkir.
Lantas Elder Mo mengangkat tangan, memutuskan duel meluas: ritual “Api Langit” harus dikeluarkan. Ia memanggil dukungan formasi—tiga tiang ukhuwah Bara bangkit, menghubungkan langit ke tanah. Energi menurun, terasa seperti belenggu yang ingin merenggut napas.
Para tetua lain bereaksi. Elder Hua segera menciptakan perisai air untuk melindungi penonton, tapi formasi Elder Mo telah selesai. Sekarang bukan lagi duel dua orang—ini adu kehendak. Api dari ritus Elder Mo menyerang bukan sekadar badan, tetapi dantian, akar qi.
Zhao Wen, terbakar dengan semangat perintah, melepaskan satu jurus pamungkas—“Lidah Bara Penghabisan”. Api melesat, panasnya memecah batu, menimbulkan gelombang hangat yang hampir menyengat udara.
Tian Long menahan serangan itu dengan tubuhnya sendiri. Ia menggenggam napas, memusatkan harmonisasi. Di saat-saat itu, aura di tubuhnya mengeras—setengah biru, setengah emas—dan dari matanya keluar kilat kecil. Dia melawan bukan demi kemenangan, tetapi demi mencegah formasi itu merusak jiwa para murid.
Api Elder Mo menghantam dada Tian Long. Ada ledakan—“Dhuar!”—suara keras, dan dentuman itu bergema. Tian Long terpental, mendarat dengan punggung menghempas tanah. Suasana hening; beberapa penonton menutup mulut karena ngeri melihat bekas luka yang muncul di dada Tian Long—bukan luka kecil; bekasnya seperti terbakar radikal pada permukaan daging, darah meleleh dan menghitam sebelum menguap. Itu bukan tontonan manis.
Long Zhen Tian berbisik, suaranya bergetar: “Jika kau ingin bertahan, jadilah yang memaknai api. Jangan gaungkan kemarahan mereka; belai asal api itu.”
Tian Long menahan nyeri. Tangan gemetar. Ia tidak segera bangkit. Di matanya ada keputusan refleks: jika ia menggunakan seluruh kekuatan sekarang, ia bisa menghancurkan Elder Mo. Tetapi harga dari itu? Meruntuhkan sisi kemanusiaannya, menimbulkan kengerian yang dicari Elder Mo untuk membenarkan aksi pembasmian berikutnya. Harga itu ia belum siap bayar.
Ia memilih jalan lain—yang lebih brutal pada lawan, tetapi lebih menjaga kursi moral dirinya: ia membiarkan sedikit darah mengalir, membuat lawan percaya ia terluka parah, lalu menyerang balik dengan akurasi mematikan.
Ia bangkit menyerang. Langkahnya padat, tegas. Serangan-serangan itu merobek tubuh perisai Elder Mo, memaksa ritual itu goyah. Dengan teknik “Harmoni Bumi-Langit” yang dipelajarinya, Tian Long menyalurkan energi yang bukan semata untuk mematikan api, melainkan mengubah medan. Api Elder Mo bukan lagi bulat mengamuk; ia berubah menjadi pilar cahaya yang menahan nyala. Pilar-pilar itu patah satu persatu—suara retak dan pecah memenuhi udara.
Ketika dusta formasi mulai runtuh, Elder Mo mengerahkan sisa kekuatannya—sebuah gelombang panas yang menjerumuskan hampir setengah dari lapangan ke dalam lingkaran kobaran. Banyak murid menjerit, beberapa terhuyung. Darah terpancar di lantai batu dari beberapa penonton yang terluka terkena percikan—itu bukan adegan romantis; itu kekerasan nyata.
Di titik puncak, Tian Long mengeksekusi sebuah gerakan yang tajam: ia mengunci momen dan melancarkan “Pukulan Cakra Bumi”—pukulan yang bukan sekadar fisik, melainkan hantaman qi terpadat yang pernah tampak di lembah pelatihan. Dentingnya galak; gelombang itu melenyapkan proyektil api yang tersisa, dan menabrak Elder Mo sendiri.
Elder Mo melangkah mundur beberapa langkah. Jubahnya koyak, wajahnya memerah, ia tersentak karena rasa sakit. Para tetua tercengang. Di matanya ada kekesalan menjadi kebingungan: strategi yang ia percaya runtuh di hadapan seluruh saksi.
Namun kemenangan Tian Long bukanlah kemenangan tanpa konsekuensi. Ia menagih harga: setiap dusun nyeri yang ditebusnya terasa seperti rantai pada dadanya. Ia menelan ludah, darah menetes di bibir. Ada retakan di sudut bibirnya; ia merasakan sesuatu di dada yang belum pernah ada—kadar panas yang berbeda. Long Zhen Tian menahan nada prihatin di dalamnya: “Kau menyalin jalan naga, tapi belum utuh. Hati manusia masih mencabut luka.”
Elder Mo menyeringai getir. Ia tidak mengeluarkan lagi mantra. Alih-alih menyerang, ia memutuskan langkah lain: “Kamu telah menunjukkan kekuatanmu di depan semua orang. Lain kali, tidak ada hukuman simbolis. Dewan akan memutuskan. Untuk sekarang… tetap di pengawasan.” Suara itu tegas, namun pandangannya menaruh benih dendam yang lebih dalam.
Pertarungan itu selesai; orang-orang menilai, berbisik, mengukur ulang posisi mereka. Ada yang melihat Tian Long sebagai penyelamat; ada yang melihatnya sekadar ancaman besar. Liu Yuer mendekat, tangan gemetar memegang lengan Tian Long—ia berdarah, tetapi tatapannya keras sekaligus ada permintaan maaf.
Tian Long menatap lurus. “Lihatlah saja,” suaranya rendah. “Jangan beri mereka alasan untuk datang lagi.”
Di tengah kerumunan, sosok berjubah hitam menghilang dari tempatnya. Di kejauhan, suara bisik memberi tahu: ada pasukan yang sedang disiapkan—bukan hanya dari Akademi. Elder Mo takkan berhenti sampai ancaman ini dihilangkan. Dunia di luar kini tahu ada sesuatu yang harus ia atur.
Malam itu, ketika lampu giok dinyalakan dan pembicaraan semakin sengit, Tian Long duduk terasing di tepi kolam. Darah masih mengering di bahunya. Long Zhen Tian menyentuhnya dari dalam, lembut: “Kau menahan diri. Itu baik. Tapi bersiaplah; dunia takkan berhenti menguji.”
Dia mengangguk, bukan karena takut, tapi karena memahami syarat baru. Jalan yang dipilihnya adalah jalan yang berduri; ia harus melukakan diri sendiri agar orang lain tidak lebih terluka. Itu tegas, itu brutal—tapi nyata.