GUBRAAKK !! Suara itu menyerupai nangka berukuran 'babon' jatuh dari pohon yang tinggi. Xavier (Zac) segera berlari meloncati semak-semak untuk segera mengambil nangka yang jatuh. Sesampainya di bawah pohon nangka, Xavier tidak melihat satu pun nangka yang jatuh. Tiba-tiba...
"Siapapun di sana tolong aku, pangeran berkuda putih, pangeran kodok pun tidak apa-apa, tolong akuu ... "
Di sanalah awal pertemuan dan persahabatan mereka.
***
Xavier Barrack Dwipangga, siswa SMA yang memiliki wajah rusak karena luka bakar.
Aluna Senja Prawiranegara, siswi kelas 1 SMP bertubuh gemoy, namun memiliki wajah rupawan.
Dua orang yang selalu jadi bahan bullyan di sekolah.
Akankah persahabatan mereka abadi saat salahsatu dari mereka menjadi orang terkenal di dunia...
Yuks ikuti kisah Zac dan Senja 🩷🩷
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 : Zac Sebenarnya
"Ma, Zac pulang!" teriak Zac dengan wajah sumringah saat masuk melewati pintu. Penthouse itu terasa hening, tidak ada senyum dan tatapan teduh mama yang menyambut kepulangannya.
"Ma... Mama dimana?" terakhir Zac berjalan ke arah kamar tamu yang pintunya terbuka.
Kanaya tidak ada dimanapun.
Zac mencoba menghubungi nomer telepon mamanya, namun hanya suara operator yang menyambutnya. "Mama tidak seperti biasanya begini," keluh Zac dengan pikiran dan perasaan berkecamuk.
Ia menghubungi Uncle Milo, mbok Darmi, mas Jo dan beberapa kontak sahabat mamanya tapi semua tidak ada yang tahu keberadaan Kanaya. Di tengah kegelisahan yang melanda, sempat terpikir ingin menelpon papanya. Akan tetapi rasa sakit akan tamparan dan tatapan marah papanya masih membekas dalam ingatan Zac.
Jarinya nyaris membuka blokiran kontak papanya saat itu terdengar suara password pada handle pintu ditekan dengan tergesa. Suara smart door lock terbuka membuat Zac menoleh dengan cepat dan melemparkan ponselnya ke sofa.
"Mama dari mana? Kenapa ponsel mama mati." sorot mata Zac penuh rasa khawatir apalagi melihat wajah mamanya pucat pasi dan berjalan dengan sempoyongan. "Mama!" Zac lekas menangkap tubuh mamanya yang limbung.
Zac mengangkat tubuh kurus mamanya dan merebahkan di atas kasur. Ia langsung menghubungi dokter khusus yang menangani mamanya.
"Om Rafael, mama pingsan om. Apa yang harus aku lakukan?!" tanyanya panik.
"Zac, kamu tenang. Lima belas menit lagi om akan sampai ke apartemen mu."
Menunggu satu menit terasa satu abad, Zac mondar mandir di kamar mamanya sambil terus berdoa akan keselamatan mamanya. Sesuai janji Rafael, lima belas setelahnya bel berbunyi. Rafael sudah berada di depan pintu lift di lantai paling bawah. Zac membuka akses lift agar Rafael bisa naik ke lantai paling atas dimana penthouse berada.
Rafael tidak sendiri, ia bersama dua nakes lainnya yang bertugas memasangkan infus dan mengambil sampel darah Kanaya.
Satu jam berlalu, Kanaya akhirnya siuman. Tatapan matanya tersirat kelelahan yang teramat sangat, kesedihan yang mendalam dan kemarahan yang membeku. Hati Zac terasa diremas, lebih perih melihat kondisi mamanya seperti ini daripada ucapan dan penolakan Sebastian.
Bagi Zac penolakan Sebastian tidak se-menyakitkan tatapan mamanya saat ini. Zac terbiasa menerima penolakan dan hinaan karena keburukan sebagian wajahnya. Tapi ia belum siap menerima sebuah kehilangan, apalagi kehilangan orang yang sangat berarti baginya.
"Apa yang terjadi dengan mama, kenapa mama mematikan handphone. Bagaimana jika mama kenapa-kenapa di jalan dan aku tidak tahu. Mama bikin aku panik setengah mati." Zac tersedu di depan mamanya.
"Sayang... Maafkan mama ya."
"Naya, kamu juga mematikan alarm mu untukku. Aku kehilangan signal gelang kesehatanmu dua hari ini. Kenapa Naya?" tanya Rafael.
"Zac, bisa keluar sebentar. Mama ingin bicara pada om Rafael. Sebentar ya sayang... " pinta Kanaya.
Zac menurut. Ia keluar kamar bersama dua orang nakes, lalu menutup pintu kamar dengan perlahan.
Setelah memastikan putranya keluar kamar. Kanaya menarik napas dalam, lalu menatap Rafael dengan lekat.
"Raf, apa sebenarnya yang kamu katakan terakhir kali pada Reno? Kenapa dia menganggap kita memiliki hubungan spesial?!" tanya Kanaya dengan suara lemah.
Rafael salah tingkah. Pada akhirnya ia akan berhadapan dengan pertanyaan dan keraguan Kanaya.
"Aku bilang padanya, aku menyukaimu... Hanya ingin memprovokasinya agar dia menyesal telah menyelingkuhi kamu."
"Untuk apa?! Kita tidak apa-apa, kan?" desak Kanaya.
Rafael menunduk, jerit hatinya ingin meneriakkan. "Ada, aku ada rasa padamu" tapi ia urungkan, ia ingin Kanaya fokus untuk sembuh.
"Naya, aku tidak suka dia terus mengabaikan mu. Kamu berhak dicintainya secara utuh, bukan sebagian atau sisi kekosongan waktunya. Kamu layak dicintainya dengan jelas, bukan karena kamu bisa melayani segala kebutuhannya dan diabaikan setelah salahsatu fungsimu tidak lagi memenuhi kepuasannya—"
"Raf, cukup! Aku tahu itu, aku tahu dimana posisiku seharusnya, saat ini. Aku tidak berharap banyak dari cintanya lagi. Tapi aku ingin dia tahu, aku adalah perempuan yang selalu mencintainya sampai aku mati. Aku tidak ingin tujuanku melayangkan gugatan ceraiku menjadi rancu," sela Kanaya.
"Naya, kamu terlalu berharga untuk dicampakkan seperti ini. Sebagai sahabat aku tidak bisa menerimanya."
"Raf, sekali lagi kukatakan, aku ikhlas menerima ujian ini. Aku sedang berjuang untuk lepas darinya dan hidup berbahagia dengan ketiga anakku."
"Naya, aku mendoakan yang terbaik untukmu. Fokuslah pada kesehatan mu saat ini."
"Rafael, aku ingin pindah ke U.K menemani ketiga anakku yang akan bersekolah di sana. Bisakah kamu rekomendasikan dokter Onkologi Ginekologi terbaik di sana?"
"Kamu ingin pindah ke sana?" tanya Rafael.
Kanaya mengangguk. "Zac, akan masuk Manchester United Academy, Lona dan Loni bulan depan lulus boarding school tingkat pertama. Untuk sekolah lanjutannya akan ku daftarkan sekolah di U.K."
"Keputusan terbaik, kamu lebih baik menjauh dari kekacauan di sini sementara. Aku akan tanyakan Caterina rumah sakit dan dokter terbaik di sana, Naya." Rafael bangkit dari duduknya lalu berpamitan pada Kanaya.
Zac masuk kamar mamanya setelah mengantarkan Rafael masuk ke dalam lift. Wajah dan tatapannya sendu, ia memeluk mamanya dengan erat.
"Ma, jangan seperti itu lagi." suara itu bergetar, ada luka di dalamnya.
"Hari ini sidang perceraian secara militer, keputusan hakim... Gugatan mama di tolak. Papa masih ingin memperjuangkan pernikahan ini. Tapi mama nggak mau nak, mama lelah," lirih Kanaya, menyimpan sejarah luka di dadanya.
"Haruskan aku bicarakan ini pada papa, biar aku memohon di bawah kakinya."
"Tidak perlu. Mama hanya ingin pergi menjauh darinya. Biar dia merasakan kebahagian bersama kekasihnya tanpa bayang-bayang kita. Ini hadiah terbaik untuknya." Kanaya kembali menitikkan airmata. "Mama ingin ikut kamu ke london," ucapnya seraya tersenyum tulus.
"Mama sudah tahu berita gembira ini? Om Bimo yang mengatakannya?" tanya Zac.
Kanaya menggeleng, "Om Ale, sahabat Uncle Milo. Ternyata dia sudah mengincar bakatmu sejak kamu ikut pertandingan di Malaysia."
"Aku tidak mengenalnya Ma,"
"Uncle Milo berjanji akan mengenalkan kita padanya, setelah kita pindah ke sana."
...***...
"Nja, buka pintunya. Ini mama nak. Sudah dua hari kamu tidak keluar kamar," panggil Monica
Senja bergeming. Ia hanya menatap jendela besar di kamarnya yang menghadap halaman depan rumah. Berharap Zac datang dan berusaha menemuinya kembali.
"Kamu pikir dia akan datang dan mengatakan aku merindukanmu, Senja yang gemoy." Sam tiba-tiba nongol dari pintu penghubung kamar mereka.
"Ngapain kaka ke sini! Keluar... Aku benci kaka, benci papa!" jerit Senja sambil mendorong dada Sam untuk kembali ke pintu penghubung itu.
Sam memeluk tubuh adiknya yang gemoy dengan gemas sambil mencubit pipinya. "Baru diajak makan malam langsung bucin begini sih! Kamu kena pelet deh kayaknya."
"Pergi! Sana pergi... " usirnya lagi.
"Kamu harus lihat dulu foto-foto ini biar matamu melek dan jangan keburu jatuh hati pada lelaki pembohong ini!" desak Sam
"Aku tidak perlu tahu, karena semua bohong. Apa yang Gavin ucapkan semua kebohongan. Kaka yang seharusnya buka mata, siapa orang yang tulus dan tidak. Kaka salah paham!"
"Bagaimana jika kaka benar, feeling kaka tidak pernah salah"
"Kali ini feeling aku yang benar," balas Senja
"Ok, lupakan tentang feeling siapa yang benar dan salah. Kita pakai logika. Kenapa sejak awal dia menyembunyikan jatidirinya. Kita tidak tahu dimana rumahnya, yang kita tahu dia hidup menumpang pada mas Jo, darimana dia mempunyai motor sport itu yang kita tahu harganya ratusan juta, sepatu branded dan ia pernah memakai sepatu limited edition untuk pertandingan di Solo. Itu yang membuat kecurigaan kaka make sense dengan laporan Gavin."
"Ka Zac begitu karena dia memang rendah hati ka. Papanya pilot pesawat tempur dan terkadang mengawaki pesawat komersil hanya untuk menambah pengalaman jam terbangnya. Mamanya seorang dokter spesialis anak yang terkenal di Jakarta dan Surabaya, wajar sekali dengan barang-barang branded yang dia miliki," jawab Senja, wajahnya memerah menahan tangis.
"Darimana kamu tahu itu semua? Zac yang bilang?" suaranya tidak lantang dan seyakin tadi, ada tusukan kecil di dadanya saat menyadari jika ia mungkin saja keliru.
"Mbok Darmi yang bilang, tapi mbok bilang jangan cerita pada siapapun kuatir ka Zac marah. Tapi aku nggak bisa tinggal diam dengan ketidakadilan ini. Dia tidak pantas dihina, Ka Sam!"
Sam menghempaskan bokongnya di tepi kasur Senja. Tatapannya kosong, masih tidak percaya dengan kenyataan yang baru saja Senja katakan.
Sorot mata Sam menempel pada wajah Senja yang sembab, berusaha menelan logika itu, "cerita itu pasti salah!" gumamnya masih denial dengan informasi yang Senja berikan. "Mas Jo, aku harus tanya pada mas Jo kebenarannya," gumamnya untuk dirinya sendiri.
"This is the reality! And you're not always right. Oke?!" jawab Senja sambil menekan dada Sam dengan telunjuknya.
,, perbedaan usia itu jauh lebh bagus dn lebh matang dan dewasa 😌
tapi berdua 😚
kekny harusny Zac ya 🤔
,, selamat k Dee,, semoga kontrakny lulus 🤗