"Itu hukuman buat kamu! Jangan sampai kau melanggar lagi aturan sudah yang aku buat. Kalau tidak …." Kalimatnya menggantung.
"Kalau tidak apa, Kak?" tanya Lyana mulai berani.
"Sesuatu yang lebih buruk dari ini akan terjadi." Anggara berlalu dari hadapan Lyana. Aliran darahnya mulai memanas.
"Hah, sesuatu yang buruk? Bahkan kakak sudah mencuri ciuman pertamaku, menyebalkan." Kini giliran Lyana yang marah. Dia membuka dan menutup pintu kamar dengan keras. Sirkuasi udara di dalam kamar seolah berhenti seketika.
"Ciuman Pertama? Hah, pandai sekali dia berbohong."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon My Starlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan diam lagi
Langit menghitam, burung-burung sudah sampai di sarangnya. Bertemu rindu dengan dengan yang disayangi. Bintang di langit mulai terlihat berkedip, walaupun teman yang lain belum terlihat banyak menghiasi malam. Cahayanya membuat terlihat terang langit malam ini, karena belum terlalu pekat gelapnya.
Baru pukul tujuh malam, namun rumah itu sudah terlihat sepi. Bi Marni dan Bi Nina terlihat sedang di dapur membereskan isi kulkas pintu dua itu. Stok sayur dan buah sudah menipis, Bi Mirna mengambil lebihan wortel dan tomat serta daun bawang juga seledri. Masih ada juga sisa stok bakso yang dia buat empat yang lalu.
Bi Nina masih menyusun kotak-kotak bening di rak bagian tengah, sementara Bi Marni ... dia sudah di depan meja dapur bersiap untuk masak makan malam.
Langkah Lyana berhenti tepat disamping dapur, anak tangga ketiga dari bawah. Posisi dapur di rumah itu ada di samping tangga. Mereka yang menyadari Lyana berdiri mematung di tangga langsung menyapa.
"Mbak Ly udah enakan?" tanya Bi Marni, tangan kananya sedang meremas-remas irisan wortel di bawah kucuran air.
"Udah bi, tadi udah minum obat kok," Sekarang kaki Lyana sudah menuruni anak tangga lagi dan berhenti di depan meja makan.
"Bibi punya stok mie instan?" tanya Lyana.
"Nggak ada Mbak, Mas Anggara kan udah lama nggak nyetok mie instan semenjak Reno bisa bicara." jawab Bi Nina.
"Selama itu?" Lyana heran.
"Iya Mbak, kenapa emang? Mbak Lyana mau?" sahut Bi Mirna.
"Iya mau, aku mau mie rebus yang pedes banyak sayurnya. Sepertinya enak," Lyana sudah membayangkan aroma kuah mie rebus rasa soto.
"Nanti kalau ketahuan Mas Anggara dimarahin Mbak," ucap Bi Nina.
"Harusnya dia nggak punya hak marah-marah sama aku bi," Lyana menundukan kepala, mata nya mulai berkaca-kaca lagi sekarang.
"Ya tetep punya hak dong, Mbak Ly kan istrinya." kata Bi Nina yang inisiatif mengambilkan minum air putih untuk Lyana. Dia menjatuhkan pantatnya ikut duduk di hadapan Lyana. Gelas di tangan Bi Nina sudah diterima Lyana, isinya hampir berkurang setengah.
"Hak suami bukanya harus ...," ucapan Lyana menggantung, menjelaskan juga tak ada artinya lagi sekarang.
"Ya udah bi, nanti kalau ada kurir datang tolong di terima ya. Aku pesen mie instan online lewat aplikasi hijau." Lyana kembali menaiki anak tangga setelah meletakan gelas di meja.
"Mbak .... " panggil Bi Nina, Lyana berbalik.
"Iya bi," Lyana maju mendekat ke arah perempuan separuh baya itu.
"Apa Mbak Lyana nggak ada sedikitpun rasa untuk Mas Anggara?"
"Maaf lancang, tapi kalian sudah menikah satu tahun lebih. Ya Walaupu Bibi juga tahu kalau kalian di jodohkan." imbuh Bi Nina.
"Biasanya cinta datang karena terbiasa loh, apa Mbak Ly ngga punya sedikitpun rasa ke Mas Anggara?" Celoteh Bi Nina belum berhenti. Lyana yang masih kesal Anggara belum juga pulang, di tambah mau makan mie instan harus nunggu pula. Tersulut emosi seketika.
"Cinta?" ucap Lyana dengan nada yang agak tinggi.
"Aku bahkan ngga tahu, kenapa pernikahan ini bisa terjadi bi." imbuhnya, Lyana yang sudah hampir menangis.
"Aku juga ngga tahu pernikahan ini sah atau tidak dimata agama." Lyana jadi ingat kan surat tentang perjanjian pranikah itu.
"Pernikahan ini cuma ... " air matanya terjatuh. Lyana terisak tak bisa menjelaskan.
Bi Nina panik, Lyana menangis. Dari ruang tamu Anggara mendengar semuanya, bahkan security yang di suruh Anggara menggendong Reno ikut mendengar dari belakang punggung majikanya itu.
"Pernikahan kita sah Ly, dimata Agama." Suara Anggara memecah tangisan Lyana. Sekuat tenaga Lyana memberanikan diri menatap Anggara sambil mengusap pipinya yang basah.
Anggara memerintahkan Darno masuk ke kamar Reno untuk membaringkan anaknya, hanya lewat kedipan mata. Setelah Darno menutup pintu kamar, dia membungkukan badan dan berlalu. Sampai suara pintu depan tertutup, Anggara baru melanjutkan pembicaraanya.
Anggara mendekati Lyana, sontak Lyana langsung mundur beberapa langkah.
"Kenapa?" Lyana tetap beringusut mundur.
"Jangan mendekat Kak," ucap Lyana, bibirnya bergetar mengatakan itu. Tatapan mata Anggara semakin menajam ingin masuk lebih jauh menyelami bola mata Lyana.
Melihat wajah Lyana yang ketakutan, membuat Anggara hanya berani menarik tanganya. Dia menggenggam tangan itu dan menariknya menyentuh dada bidang Anggara. Lyana hampir terjatuh namun dia berhasil menjaga keesimbanganya. Namun begitu matanya bertemu dengan hidung mancung dan bibir merah Anggara membuatnya langsung menelan slavinanya.
"Dari awal Lyana sudah sah jadi istriku Bi,"
"Pernikahan ini sah di mata negara dan agama."
"Dan aku punya hak penuh terhadapmu Ly," ucap Anggara kini tertuju pada Lyana.
Deg.
Lyana sedang berusaha melepas tangan yang digenggam Anggara, tapi sia-sia.
"Jangan bertanya apapun lagi tentang pernikahan ini Bi, sekalipun tentang isi hati kami. Biar kami yang menentukan kemana arah rumah tangga ini." kalimat teakhir untuk Bi Nina.
"Maafkan saya Mas sudah lancang." Anggara mengangguk dan berlalu sambil menarik tangan Lyana menaiki tangga.
Sampai di kamar, Anggara melepaskan tangan Lyana.
"Ada apa tadi menyuruhku pulang?" Anggara mengusap kening Lyana, sudah tidak demam.
"Nggak apa-apa," Lyana melangkah kakinya menjauhi Anggara dan naik ke atas ketempat tidur.
"Ly, ngomong dong. Ada apa? Tadi Reno ngajak makan dulu di sana, jadi lama. Maaf ya," ujar Anggara, dia melepaskan jam tangan dan meletakanya di atas nakas.
"Nggak ada apa-apa kak," Lyana bohong.
"Jujur ada apa?" Anggara mendekat, ikut rebahan di samping Lyana meluruskan punggung dan kedua kakinya yang terasa lelah. Lyana sudah tidak bisa menahan lagi perasaanya. Ada rindu yang dia tahan karena takut Anggara tiba-tiba berubah dingin lagi dan kembali kepada mantan istrinya.
Lyana menghambur seketika, air matanya jatuh lagi. Dia memeluk Anggara sambil terisak. Anggara mengusap rambut Lyana yang terurai, dan mencium kening perempuan dalam dekapanya itu. Kemudian tangan besarnya mengusap lengan Lyana.
"Aku kangen, Kak Gara lama banget perginya." ucap Lyana dengan manja, isak tangisnya berhenti.
"Bilang apa tadi?" Anggara menarik dagu Lyana. Mata mereka bertemu saling menyelam satu sama lain.
"Kangen," pungkas Lyana.
Dan, hemm ... hemm ... hemm
Anggara mengecup bibir Lyana dan melumatnya lembut. Mereka berpagutan lama melepas rindu, ada yang berdesir di hati Anggara ketika Lyana mengatakan itu. Membuat Anggara ingin memiliki Lyana seutuhnya tanpa embel-embel surat perjanjian pranikah sialan itu.
"Bernafas Ly," ucap Anggara di tengah-tengah aktifitasnya itu. Nafas keduanya tersengal, ada hasrat lebih yang muncul ketika bibir Anggara mulai menyusuri leher jenjang Lyana. Kecupan manis yang memabukan Lyana, dia mulai meremang mengusap leher belakang Anggara.
Dua tanda merah Anggara tinggalkan di leher sebelah kanan Lyana, tangannya mulai merayap di balik piyama. mengusap lembut punggung Lyana kemudian ke perut dan naik ke atas.
.
.
.
.
.