Sepuluh mahasiswa mengalami kecelakaan dan terjebak di sebuah desa terpencil yang sangat menjunjung tinggi adat dan budaya. Dari sepuluh orang tersebut, empat diantaranya menghilang. Hanya satu orang saja yang ditemukan, namun, ia sudah lupa siapa dirinya. Ia berubah menjadi orang lain. Liar, gila dan aneh. Ternyata, dibalik keramah tambahan penduduk setempat, tersimpan sesuatu yang mengerikan dan tidak wajar.
Di tempat lain, Arimbi selalu mengenakan masker. Ia memiliki alasan tersendiri mengapa masker selalu menutupi hidung dan mulutnya. Jika sampai masker itu dilepas maka, dunia akan mengalami perubahan besar, makhluk-makhluk atau sosok-sosok dari dunia lain akan menyeberang ke dunia manusia, untuk itulah Arimbi harus mencegah agar mereka tidak bisa menyeberang dan harus rela menerima apapun konsekuensinya.
Masker adalah salah satu dari sepuluh kisah mistis yang akan membawa Anda berpetualang melintasi lorong ruang dan waktu. Semoga para pembaca yang budiman terhibur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 - Michikko - Bagian Keempat
Matahari tepat berada di atas kepala. Bangunan yang dulunya bekas sekolah itu masih berdiri kokoh sekalipun terdapat kerusakan di sana-sini. Beberapa tanaman liar yang tumbuh di atas puing-puing bangunan tersebut sebagian menghitam seperti bekas terbakar. Tapi, mereka tetap bercokol di tempatnya semula seakan akar-akar yang tertanam pada puing-puing tersebut telah menyatu dengan sejarah kelam yang tersimpan di tempat itu, enggan meninggalkannya. Sekalipun hari masih terang, serangga-serangga malam masih bersuara seakan tak peduli dengan keadaan di sekitar, tak peduli dengan langkah-langkah kaki kami yang menginjak dahan ataupun ranting-ranting kering.
Kami berjalan menyusuri setiap sudut bangunan dan sampai halaman belakang.
Yah, halaman itu yang muncul dalam mimpi burukku. Kami merasakan adanya hawa aneh di sekitar tempat itu, begitu panas sekalipun bayangan tanaman-tanaman merambat dan ilalang menutupi halamannya. Sekalipun angin semilir berhembus perlahan, tapi, suhu di sekitar tempat itu tak berubah. Sepasang mataku juga mata teman-teman bergerak menyapu ke segala penjuru, sementara, indera penciumanku bekerja keras mencari darimana hawa panas itu berasal. Berbagai peristiwa di masa lalu satu persatu mulai tergambar di benakku.
Tanah pemakaman. Yah, sebelum berdiri SMA Tidar I, itu adalah lokasi pemakaman yang kemudian dipindahkan dan berulang kali beralih fungsi mulai dari kantor pemerintahan, rumah, hingga Cafe. Tempat peristirahatan akhir dijadikan lokasi bisnis, bisa dibayangkan berapa banyak jiwa-jiwa yang tidak terima makamnya dipindahkan begitu saja. Tak terhitung pula berapa banyak developer yang menanggung kerugian, bangkrut karena alasan yang tak jelas juga banyaknya kejadian aneh. Salah satunya kebakaran hebat yang menewaskan hampir seluruh penghuni SMA Tidar I. Penduduk sekitar meyakini bahwa tempat itu telah dikutuk, tak ada seorang pun yang berani datang ke lokasi tersebut.
Sesosok wanita berpakaian coklat tua, berambut panjang tergerai mendadak muncul di hadapanku. Aku melompat ke belakang beberapa tindak saat telunjuk kanannya menuding lurus-lurus ke wajahku. Jantungku serasa berhenti berdetak tanpa sadar aku berseru tertahan. Baik Cindy dan yang lain terkejut buru-buru mereka menghampiriku.
“Michikko, akhirnya kau menampakkan diri,” ujar Miwako. Sekalipun aku sudah berulang kali bertemu dengan sosok ini, tapi, aku tak mampu mengendalikan rasa takut yang menjalari tubuhku. Terlebih di saat-saat seperti ini. Ia tiba-tiba muncul dan berjalan menghampiriku.
Langkahnya terhenti saat Miwako menghadang, “Sepertinya kau sama sekali tak ingin melepaskan wanita ini. Mundurlah, jangan sampai aku turun tangan,” katanya. Michikko tak menjawab, tangan kanannya terangkat. Saat itulah aku merasakan adanya terpaan angin yang cukup keras ke arahku. Miwako mencoba untuk menghadang tapi sedikit terlambat, tubuhku terpental keras ke belakang dan membentur dinding yang berselimutkan semak belukar di belakangku.
Semula aku berharap dinding itu bisa menahan tubuhku, tapi, di luar dugaan dinding itu jebol dan tubuhku melayang turun di tengah udara. “Byur!” tubuhku tenggelam, untuk sesaat aku mencoba untuk menenangkan diri sekalipun hawa dingin menusuk-nusuk tulangku. Saat aku mulai tenang dan mampu menyesuaikan diri dengan tekanan air, barulah berenang ke permukaan. Aku menarik nafas lega manakala tahu bahwa kedalaman air hanya sebatas perut. Tapi, dinginnya air membuat tubuhku menggigil hebat, “Aku harus segera keluar dari sini sebelum darahku membeku,” kataku seorang diri.
Tempat ini begitu gelap, aku harus mengandalkan seluruh inderaku untuk mengetahui dimana sebenarnya aku berada. Tapi, tanpa masker yang menutupi hidung dan mulutku, indera penciumanku lebih peka daripada indera pendengaranku. Air, dinding-dinding bata, udara lembab dan bau lumut, tercium di sekelilingku. Aku berada di dalam sebuah sumur. Untuk kesekian kalinya, indera penciuman membawaku melintasi dimensi waktu masa lampau.
_____
Wanita berambut hitam panjang tergerai itu menatap ke sekeliling, mayat-mayat bergelimpangan tak tentu arah dalam keadaan terpanggang. Kepulan asap hitam diantara jilatan lidah si jago merah yang membakar seluruh bangunan, terbawa angin menyatu dengan awan hitam yang menyelimuti SMA Tidar I dan sekitarnya.
“Kebakaran ... Kebakaran ...” dari kejauhan terdengar teriakan orang-orang diiringi dengan guyuran air dalam skala yang cukup besar. Perlahan-lahan nyala api mengecil untuk kemudian padam. Bersamaan dengan itu massa berdatangan memasuki halaman sekolah mereka tampak ngeri bercampur iba melihat mayat-mayat bergelimpangan tak tentu arah. “Lihat, tampaknya ada yang selamat,” seru salah seorang dari massa yang kebetulan sempat melihat wanita yang berdiri di tengah halaman.
“Dia ... aku kenal wanita ini,” sahut salah seorang dari massa tersebut. Beberapa orang berjalan menghampiri, “Yah, aku juga kenal. Dia adalah salah seorang siswa pindahan dari sekolah Okinawa Jepang,”
“Benar. Apa kalian masih ingat kebakaran yang terjadi di jalan Letjend Suprapto ? Banyak ruko dan kios terbakar menewaskan hampir seluruh penghuninya, dia juga ada di sana,”
“Benar, dari sekian banyak kebakaran yang terjadi di kota ini, dia selalu ada di TKP. Bagaimana menurut kalian ?”
“Dialah penyebab kebakaran itu,”
“Kalau begitu bunuh dia agar tidak lagi jatuh korban akibat kebakaran,”
Setelah berkata demikian, warga berjalan menghampiri wanita itu sambil berteriak-teriak “Bunuh dia ! Dia adalah penyihir !” niat mereka adalah untuk menghakimi wanita tersebut, mendadak, seorang wanita keluar dari salah satu lokasi kebakaran, “Michikko tidak salah !! Jangan berbuat seenaknya, biar pihak berwajib mengusutnya dengan tuntas !! Michikko tidak bersalah,” teriaknya untuk kemudian berdiri di depan wanita itu sambil merentangkan kedua tangannya.
“Siapa kamu ? Apa hubungannya dengan wanita ini ?”
“Namaku, Thalia. Puteri Raden Mas Cokrodiningrat. Dia adalah sahabat karibku, namanya Michikko. Dia tidak bersalah !”
Mendengar nama Raden Mas Cokrodiningrat, massa menghentikan langkahnya. Sebuah nama yang cukup disegani oleh para penduduk kota Malang dan sekitarnya. Salah seorang pria berambut kelabu keluar dari kerumunan massa dan menghampiri wanita yang bernama Thalia itu.
“Nduk... kami semua mengenal Ayahmu. Tapi, dia, wanita di belakangmu itu, sudah banyak menyebabkan kebakaran di berbagai tempat. Termasuk sekolahmu ini, hampir seluruh penduduk Tidar dan sekitarnya, menyekolahkan anak mereka disini. Lihatlah di sekitarmu, mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan hangus, dan lihatlah ibu-ibu yang tengah kebingungan mencari anak-anaknya itu. Kalau bukan dia penyebab tragedi ini, siapa lagi ?” tanyanya, “Kini minggirlah, atau kaupun turut menjadi korban. Sekalipun ayahmu adalah orang yang kami segani, kami bisa menjelaskannya pada beliau duduk perkaranya,”
“Auw !!” mendadak Thalia berteriak keras, tubuhnya ditarik ke belakang, jatuh terduduk, tiba-tiba saja Michikko sudah berada di depannya, “Pergilah ! Terima kasih telah membelaku ! Takkan kulupa budimu,” setelah berkata demikian tubuh Michikko mengejang hebat. Perlahan-lahan terdengar suara tawa yang mengerikan, dari dalam tubuh Michikko mendadak keluar sesosok wanita menyerupai Michikko. Sosok itu mengenakan pakaian hitam. Suara tawa makin terdengar di segala penjuru, bergema dan membuat semua orang menutup telinga. Tak lama kemudian, sosok-sosok serupa bermunculan entah darimana datangnya. Jumlah mereka lebih banyak dari massa yang memenuhi sekolah SMA Tidar I, semua berdiri mengelilinginya, diam tak bergerak sesekali kepala mereka menyentak ke kiri. Pemandangan itu membuat wajah semua orang memucat.
“Lihatlah !” kata seseorang, “Dia menunjukkan sihirnya. Apalagi yang kita tunggu ? Mari kita bunuh gadis bernama Michikko itu, apabila puteri bungsu RM. Cokro menghalangi, bunuh sekalian !” sambil berkata demikian ia melangkah maju dan hendak memukuli Michikko juga Thalia. Tapi, sosok-sosok wanita itu sudah menghadang dan “Krek !” tangan salah seorang sosok wanita itu bergerak menyambar leher orang itu “Krek !” bunyi kedua adalah bunyi tulang leher patah, “Bruk” orang itu roboh dan tidak bergerak-gerak lagi.
Bukannya merasa jeri, tapi, massa terpecah menjadi dua bagian, satu menyerang Michikko dan Thalia sedang yang lain menyerang sosok-sosok wanita berbaju hitam itu. Halaman sekolah yang sudah penuh dengan mayat-mayat hangus berubah menjadi ajang pertumpahan darah.
“Hentikan !” mendadak Michikko berteriak keras tapi, teriakannya seakan tak ada yang mendengar, dikalahkan dengan suara hiruk pikuk. Untuk kesekian kalinya Michikko berteriak dan dari tempatnya berdiri memercik bunga-bunga api yang kemudian menyambar ke segala penjuru. Untuk kesekian kalinya, api membakar memanggang semua orang dan keributan tersebut berakhir saat sosok-sosok wanita berpakaian ungu yang berjumlah 10 orang menyambar tubuh Michikko, menyeret dan memasukkannya ke dalam lubang berdiameter lebih kurang 2 meter tak jauh dari toilet wanita.
“Modotte Kite Ne !!” teriak mereka diiringi dengan bunyi deburan air, diiringi dengan jeritan keras dari dalam, “TTIIDDAAKK !!”
Yah, aku mendengarnya dan aku bisa melihat sebuah benda berat tercebur ke dalam sumur. Aku bisa melihat percikan air dan mendarat di wajahku.
_____
Perlahan-lahan aku membuka pelupuk mataku, kutempelkan punggungku ke dinding-dinding batu dan jari-jemariku meraih batu-batuan untuk pegangan ataupun pijakan, aku harus segera keluar dari tempat ini. Aku merayap naik dan terus naik, aku lega mimpiku beberapa waktu yang lalu tidak menjadi kenyataan.
Aku terus merayap dan merayap, mulut sumur sudah kelihatan. Tapi, mendadak pergelangan kaki kananku seperti tersangkut sesuatu. Kualihkan pandanganku bermaksud melihat benda apa yang menahanku.
Sepasang mata ini terbelalak manakala, melihat rambut hitam panjang dan basah melingkari pergelangan kaki kananku, rambut itu menarik kakiku. “Lepaskan aku !” teriakku berusaha melepaskan diri, aku meronta, menjerit sekuat tenaga manakala tubuhku melorot ke bawah beberapa meter. Rambut itu begitu kencang mengikat kakiku, menarikku. Aku terus berusaha merayap, tapi, tertahan. Aku putus asa.
Di tengah keputusasaan, sebuah tali mendarat tepat di kepalaku. Kucengkeram tali itu kuat-kuat dan aku merasakan tubuhku terangkat ke atas. Aku menarik nafas lega saat keluar dari sumur. Rambut yang mengikatku hilang entah kemana dan aku melihat Miwako, Cindy dan Maribeth menatapku dengan perasaan khawatir bercampur lega.
______
Lingkaran merah kehitaman pada pergelangan kaki kananku tidak juga menghilang sekalipun kugosok berulang-ulang. Bekas ikatan rambut itu seakan menyatu dengan kulit, bahkan kian merembet hingga ke betis. Aku selalu menjaga kebersihan kulitku sepanjang waktu, merasa ngeri memandangnya. Kering dan terlihat seperti bersisik, sisik ular serta menebarkan aroma amis dan busuk. Entah sudah berapa kali pengharum ruangan kusemprotkan, bau itu tak kunjung hilang malah makin menyengat. Bau itu seakan membawaku menuju ke tempat asing dan tidak membiarkanku keluar dari sana. Masker kembali kugunakan. Aku tak ingin jiwaku keluar dari ragaku untuk kemudian tersesat.
Saat aku bertanya pada Cindy, Maribeth dan Miwako, apakah mereka mencium aroma tidak sedap di kamarku ... mereka menggeleng-gelengkan kepala. Aroma itu hanya tercium olehku seorang. MUNGKIN ? Itu membuatku frustasi. Yah, Michikko telah membuat jati diriku yang sebenarnya hilang. Tersinggung, marah tanpa alasan yang jelas, dan parahnya selera makanku hilang. Bobotku menurun drastis dan membuat kawan-kawanku merasa iba.
“Ini tidak bisa dibiarkan,” ujar Miwako, “Ini sudah hari keenam, jika Arimbi terus-menerus seperti ini, maka, Michikko akan dengan mudah menguasainya dan Arimbi menjadi orang yang berbeda,”
“Apa yang harus kita lakukan, Nona Miwako ?” tanya Maribeth.
“Ajak dia ke sumur,” mendadak terdengar suara dan Jen-Shen hadir di tengah-tengah Cindy, Maribeth dan Miwako. Buru-buru Cindy dan yang lainnya menatap ke arah Jen-Shen.
“Seharusnya kalian tahu, bau amis dan busuk memenuhi kamarnya,” jelas Jen-Shen.
“Yah, sebenarnya kamipun sudah tahu itu. Tapi, mencoba untuk bersikap biasa-biasa saja,” ujar Miwako.
“Kita memang harus segera mengakhiri penderitaan Kak Arimbi. Mengapa harus dibawa ke sumur Jen-Shen ?” tanya Cindy.
“Menurut perkiraanku ...” Maribeth menyahut,
“Michikko ada di dalam sumur tempat Arimbi terperosok kemarin,”
“Kalau memang demikian, akulah yang harus turun untuk mengambilnya,” tandas Miwako.
“Kalau bukan Arimbi yang datang, dia takkan menampakkan dirinya,” sahut Jen-Shen.
Miwako tersenyum, “Jen-Shen ... apa kau tahu, bahwa aku datang ke Indonesia ini sambil membawa teman-temanku. Merekalah yang menarik Michikko masuk ke dalam sumur itu, mereka pulalah yang akan mengeluarkannya,”
“Saya tahu, Nona Miwako ... tapi, Michikko yang sekarang, bukanlah Michikko yang dulu. Kekuatannya lebih besar daripada dulu sewaktu kalian menundukkannya,” jawab Jen-Shen, “Dalam hal ini kita membutuhkan ketegaran hati Arimbi juga keberaniannya, jika tidak, mustahil Michikko bisa ditundukkan,”
“Kalau begitu, kalian pergilah ke sumur itu. Biar aku yang menjelaskannya pada Arimbi,” usul Maribeth.
“Kak Maribeth,” sapa Cindy, “Kakak yakin bisa mengatasi Kak Arimbi ? Berhati-hatilah. Mungkin kakak tidak tahu, bahwa sebenarnya Kak Arimbi memiliki kemampuan bisa melukai orang sekalipun tidak menyentuhnya ?”
“Aku tahu dan akan berhati-hati,”
_____