NovelToon NovelToon
Sisa-Sisa Peradaban

Sisa-Sisa Peradaban

Status: tamat
Genre:TimeTravel / Misteri / Zombie / Tamat
Popularitas:397
Nilai: 5
Nama Author: Awanbulan

“Dulu masalah terbesarku cuma jadi pengangguran. Sekarang? Jalanan Jakarta dipenuhi zombi haus darah… dan aku harus bertahan hidup, atau ikut jadi santapan mereka.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Awanbulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

2

Tentang Hari Itu…

Hmm, sampai mana tadi aku bercerita?

Ah, ya, begitulah akhirnya aku menjadi pengangguran.

Yang tersisa setelah semua keributan itu hanyalah uang pesangon yang lumayan besar, ditambah tabungan yang hampir tidak tersentuh berkat kerja keras bertahun-tahun. Jumlahnya cukup untuk membuatku bisa hidup sendirian selama beberapa tahun ke depan tanpa khawatir.

Begitu keluar dari mess perusahaan, aku memutuskan untuk kembali tinggal bersama orang tuaku. Sempat terlintas untuk hidup sendiri, tapi aku ingin segera pergi sejauh mungkin dari Jakarta. Rasanya akan sangat memalukan jika sampai berpapasan dengan mantan rekan kerja di jalan. Apalagi, aku pasti sudah menjadi musuh bebuyutan geng si Bos Musang menyebalkan itu. Kalau sampai mereka memancing keributan, bukan tidak mungkin polisi harus turun tangan lagi.

Bukan berarti aku suka cari masalah, tapi kalau ada yang mulai memukul lebih dulu… ya, aku tidak akan tinggal diam.

Akhirnya, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku pulang ke kampung halaman, sebuah kota kecil di Banyuwangi. Niatku sederhana: istirahat sebentar, lalu mulai mencari pekerjaan baru. Aku punya kualifikasi yang cukup, dan di atas kertas, status “mengundurkan diri” membuatku tampak baik-baik saja. Harusnya tak ada masalah.

Ibu memang sering memarahi karena aku berhenti kerja, tapi anehnya ia memujiku karena “menyelamatkan seorang wanita” (padahal sebenarnya, aku tidak merasa melakukan itu). Ayah, yang sama santainya denganku, justru senang karena sekarang ia punya teman memancing dan sopir pribadi.

Adik perempuanku, yang sudah bekerja dan tinggal terpisah, hanya bisa menghela napas panjang. Tapi ia tetap memintaku menjaga orang tua, katanya ini kesempatan bagus untuk membalas budi.

Sekarang, setelah menjadi pengangguran… entah kenapa aku malah jadi sibuk.

Jujur saja, keinginanku hanya satu: berbaring seharian, malas-malasan. Tapi rupanya itu mustahil.

Meski aku rutin memberi uang untuk biaya rumah, tetap saja status “pengangguran” mengundang komentar miring. Jadi, untuk meredam gosip, aku mulai rajin keluar rumah membersihkan halaman, ngobrol dengan tetangga, bahkan kadang membantu belanja untuk mereka.

Aku juga ikut kegiatan bersih-bersih selokan yang diadakan RT, dan pernah memasang jaring anti-burung di tempat sampah umum.

Berkat semua itu, citraku di mata warga pun berubah. Aku yang dulu dikenal sebagai:

> “Anak Pak/Bu Surya yang menganggur, entah kerja apa”

kini mendapat gelar baru:

> “Putra Pak/Bu Surya yang rajin, ramah, dan sedang cuti kerja”

Naik kasta sosial seperti ini ternyata bukan hal mudah di dunia yang penuh prasangka ini.

Dua bulan berlalu tanpa insiden berarti. Aku berhasil membangun reputasi cukup baik di lingkungan, meski masih ada segelintir orang yang sinis.

Sementara itu, kabar besar datang dari keluarga: adik perempuanku akhirnya menikah dengan rekan kerjanya seorang pria muda tampan yang diam-diam sudah lama ia kencani.

Aku pernah bertemu beberapa kali dengannya. Orangnya sopan, ramah, dan yang paling penting: tidak pernah menyinggung status pengangguranku. Rasanya menyenangkan bisa berdiri di hadapan adik yang keras kepala itu tanpa merasa kalah.

Semoga saja mereka bisa hidup bahagia selamanya…

Setelah pernikahan, adik perempuanku dan suaminya berangkat bulan madu selama dua minggu ke beberapa pulau di Bali dan Lombok.

Sebagai bonus, mereka bahkan mengajak orang tua masing-masing ikut serta.

Sempat terlintas di kepalaku: Memangnya pantas menghamburkan uang sebanyak itu untuk pesta pernikahan dan bulan madu sekaligus?

Tapi, gaji mereka berdua tinggi jujur saja, sepertinya jauh di atas gaji yang pernah kudapat ketika masih di perusahaan.

Dunia memang tidak adil.

Setelah itu, hari-hariku di rumah orang tua berjalan santai.

Ya, aku masih harus berinteraksi dengan tetangga, tapi di dalam rumah, aku bebas melakukan apa saja tanpa memikirkan pendapat orang lain.

Pagi-pagi bisa sarapan sambil masih pakai sarung.

Di meja besar ruang tamu, aku bisa merakit model plastik sepuasnya.

Bisa main game sambil memesan pecel lele, atau menonton tumpukan DVD yang belum sempat kutonton.

Tidur saat mengantuk, bangun saat mau, semuanya terserah aku.

Indah.

Momen-momen seperti itu membuatku sadar, keluarga memang hal yang baik.

Kalau aku hidup sendiri di kota ini, kemungkinan besar aku sudah terjebak dalam pola malas yang sama… tapi tanpa orang tua yang kadang memaksaku bergerak.

Sehari berlalu, lalu dua hari, lalu seminggu.

Hari itu datang begitu saja, tanpa peringatan.

Aku sedang duduk di teras, rokok terselip di jari, pikiran melayang entah ke mana.

Lalu, di tengah keheningan siang itu, telingaku menangkap suara aneh mirip suara binatang.

Jam sudah lewat tengah hari. Lingkungan terasa sunyi; sebagian besar penduduk sedang bekerja atau berbelanja.

Bahkan para lansia, yang biasanya duduk santai di teras rumah, hari ini keluar menghadiri acara lokal sepertinya perayaan Hari Lansia.

Anehnya, di daerah ini hampir tidak ada anjing, apalagi kucing.

Jadi, suara itu terasa janggal.

Aku sempat berpikir, Mungkin cuma anjing liar atau semacamnya…

Tapi sebelum aku sempat memutuskan, suara itu terdengar lagi.

Kali ini lebih jelas.

Dan entah kenapa, ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat bulu kudukku meremang.

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!”

Aku membeku.

Diam.

Apa-apaan itu? Anjing? Tapi… tidak ada anjing yang melolong seperti kiamat begini.

“Uuuuuuuuuuuuu! Uuuuuuuuuuuuuuu!!!”

Suara itu… lebih mirip teriakan orang gila daripada gonggongan hewan. Dan kali ini, terdengar jauh lebih dekat. Tepat di depan rumah tetangga.

Tetangga sebelah…

Sejujurnya, satu-satunya orang di lingkungan ini yang tidak kukenal baik, dan juga satu-satunya yang selalu menolak mengakui keberadaanku sebagai pengangguran, adalah pria yang tinggal di rumah sebelah.

Entah dia guru SMA atau apa, tapi setiap kali kami berpapasan, dia pasti dengan kasar menyuruhku “cari kerja” atau “jangan cuma keluyuran.”

Seolah keberadaanku saja sudah cukup mengganggu pernapasannya.

Anehnya, istri dan putrinya yang masih SMA justru ramah. Jadi… kenapa cuma si pria tua itu yang seperti macan kelaparan?

Pernah rasanya ingin sekali menarik kerah bajunya dan bilang, “Saya bukan muridmu, Pak!”

Tapi ya… demi menjaga hubungan bertetangga, aku hanya bisa menepisnya dengan tawa hambar, “Maaf, maaf, hahaha…”

Begitulah. Hidup sebagai pengangguran itu sudah cukup membuatku stres tanpa tambahan ceramah gratis darinya.

Tapi… bukankah dia seharusnya sedang bekerja sekarang?

Kalau kupikir-pikir, suara tadi memang mirip suaranya hanya saja penuh rasa sakit dan panik.

Mungkin dia pulang lebih awal karena sakit mendadak… lalu jatuh di depan pintu sambil menjerit.

Ya, mungkin saja. Dia memang terlihat seperti orang dengan tekanan darah tinggi… dan sifat yang gampang meledak.

Sejujurnya, aku akan sangat senang jika semua ini hanyalah keluhan tetangga yang berakhir cepat, tapi… inilah pahitnya hidup bertetangga bahkan saat tidak suka, tetap saja harus peduli.

Dengan rasa iba yang entah kenapa terasa seperti kewajiban seorang pendekar, aku memutuskan untuk memanggil ambulans.

Aku kenakan sandal rumah, melangkah keluar, dan mencari sumber teriakan itu.

Ada.

Dia.

Pak Suryo berjongkok di depan rumahnya, menggedor-gedor gerbang sambil berteriak seperti orang kehilangan akal.

“Um… Pak Suryo, Anda baik-baik saja?” tanyaku dari jarak aman.

Tiba-tiba, semua erangan itu berhenti. Sunyi.

“Hah? Pak Suryo, ini aku, Bima… tetangga sebelah. Apa Anda merasa tidak enak badan?”

Rasa gelisah mulai merayap. Aku memanggil lagi.

Dan saat itu dia mendadak berdiri, melompat seperti pegas, lalu menoleh ke arahku.

Pemandangan yang kulihat berikutnya… aku tahu akan menghantui sisa hidupku.

Kulitnya putih pucat, tidak alami seperti mayat yang baru saja diangkat dari air.

Bajunya compang-camping, robek di banyak tempat.

Tubuhnya berlumuran cairan merah tua yang menempel lengket di kain dan kulit.

Mata kanannya menonjol keluar, berdenyut seperti hendak terlepas.

Lengan kirinya jelas patah, menggantung pada sudut yang mustahil.

Dan dari sudut mulutnya, air liur bercampur darah terus menetes, membasahi dagunya.

Dari sudut pandang mana pun, pria itu… bukan lagi manusia.

Kalau ini film, aku tahu persis genrenya.

Bukan drama keluarga. Bukan dokumenter.

Ini murni film zombie jenis tontonan yang biasanya kutonton sambil makan keripik, bukan sambil jadi pemeran utamanya.

“Uuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu!!!”

Belum sempat aku menata pikiran, lelaki tua itu tiba-tiba melesat ke arahku.

Bukan lari… tapi menukik seperti binatang kelaparan.

Jauh dari gerakan orang paruh baya, ini lebih mirip atlet sprint minus kesehatan dan kewarasan.

Rumah orang tuaku berjarak sekitar 20 meter dari rumahnya. Dengan kecepatan seperti itu, aku punya… mungkin tiga detik.

Otakku tahu harus lari.

Tapi tubuhku menolak perintah.

Kakiku menempel ke tanah, seolah sedang ikut audisi jadi patung.

Tenggorokanku kering, kata-kata macet di ujung lidah.

Serius? Ini aku?

Si pengangguran yang bisa menghabiskan berjam-jam main game bertema kiamat, sekarang malah AFK di dunia nyata?

Astaga… ternyata aku memang tipe karakter bodoh di film bencana yang selalu kita hujat sambil teriak,

“Kenapa nggak lari sih, bego?!”

Orang tua itu semakin dekat.

Kurang dari sepuluh meter sekarang.

Mata kirinya satu-satunya yang tidak menonjol keluar akhirnya terlihat jelas.

Merah.

Bukan sekadar merah darah… tapi merah menyala, seperti lampu peringatan yang tak pernah berkedip.

Dan itu bukan cuma pupilnya seluruh bola matanya terbakar warna itu.

Lima meter.

Giginya tampak. Bukan karena tersenyum, tapi siap menggigit.

Air liur memercik setiap ia menggeram.

Satu meter.

Tangan kanannya yang masih utuh mengulur ke arah wajahku.

Otakku berkata, “Lari.”

Tapi tubuhku… malah memilih sesuatu yang jauh lebih gila.

Aku—

…menghentak kakiku, melancarkan tendangan depan lurus ke arah ulu hatinya.

Ada sensasi aneh di telapak kakiku.

Bukan rasa sakit, tapi seperti menekan spons keras yang tiba-tiba pecah di dalam.

Sial. Bidikannya meleset.

Bukan ulu hati, tapi tepat di dada.

Dan perasaan “tak terlukiskan” itu?

Yeah… aku cukup yakin itu suara tulang rusuk yang patah.

Tubuhnya terpental ke belakang, terhempas ke tanah, lalu jatuh terlentang dengan dentuman tumpul.

Setelah menyiapkan diri untuk mati, aku memilih melawan daripada lari.

Dia masih bergerak, meski aku tahu tubuhnya sudah rusak parah. Entah bagaimana, refleks lamaku dari latihan silat muncul begitu saja. Tubuh memang punya ingatan sendiri.

Aku sempat melirik ke bawah oh iya, aku masih pakai sandal rumah.

Lalu pertanyaan konyol melintas di kepalaku: Apakah ini benar-benar zombie?

Mayat hidup yang bangkit, menggigit, dan menulari orang lain?

Tapi memikirkannya sekarang tak akan memberi jawaban. Yang penting adalah kenyataan di depanku: pria ini berusaha memakanku. Membunuhku.

Dan aku tidak mau dimakan. Tidak mau dibunuh.

Kalau begitu…

Satu-satunya pilihan,

…adalah membunuhnya!

Menurutku cara berpikir ini memang aneh… tapi aku tak punya pilihan lain.

Tidak peduli seberapa banyak orang bicara soal kemanusiaan, semua itu tidak berguna kalau kau sedang dimakan hidup-hidup.

Kalaupun aku salah, dan pria tua ini bukan zombie, faktanya tetap sama dia berusaha menggigitku. Kami bahkan tidak bisa berkomunikasi seperti manusia normal.

Ah, tapi setidaknya aku akan memanggilnya. Kalau nanti kasus ini sampai ke pengadilan, aku bisa bilang ini murni pembelaan diri.

> “Pak Suryo, tolong berhenti,” ucapku datar.

“Aaaahhh! Uuuuuuhhh!”

“Ya, ya, aku mengerti, sialan!”

Balasannya hanya teriakan… lalu dia kembali berlari ke arahku.

Tendangan sebelumnya jelas tidak cukup. Memukul juga bukan pilihan risikonya terlalu besar kalau sampai tergigit. Kalau memang penyakitnya menular lewat air liur, itu bisa jadi akhir hidupku.

Senjata. Aku butuh senjata.

Dia kembali mendekat, dan aku mengangkat kaki, melancarkan tendangan depan kedua.

Kali ini, tubuhnya terhuyung lalu roboh.

Melihat dari caranya tak berusaha menghindar, dia bahkan tampak lebih bodoh dari binatang.

Aku segera berbalik, berlari ke taman rumah orang tuaku, lalu membuka gudang kecil di sana.

Di dalamnya, berderet peralatan berkebun milik ibu, dan alat-alat pertukangan milik ayah.

Aku meraih tongkat kayu panjang entah untuk apa aslinya dan membalikkan badan.

Begitu berputar, aku langsung mengayunkannya sekuat tenaga.

“Bugh!”

Kayu itu menghantam tepat di kepala pria tua itu. Dia terhuyung, lalu jatuh terduduk.

Namun hanya beberapa detik kemudian, tubuhnya kembali bergerak.

Sejak saat itu, semuanya menjadi pengulangan yang absurd.

Pria itu berdiri.

Aku memukul kepalanya.

Dia roboh.

Dia bangkit lagi.

Aku kembali menghantamnya.

Siklus konyol yang seakan tak pernah berakhir. Rutinitas paling sia-sia di dunia.

Aku tak tahu sudah berapa kali mengulanginya.

Yang jelas, pada akhirnya tubuhnya yang sudah tak lagi menyerupai manusia itu terjerembab di taman, jatuh dengan suara berat.

Wajahnya remuk begitu parah hingga sulit mengenali di mana letak matanya, hidungnya, atau mulutnya.

Tubuhnya hanya berkedut sekali… lalu diam selamanya.

Aku pun jatuh terduduk di tanah, napas terengah-engah.

Kedua tanganku terasa berat seperti timah, sementara tongkat kayu di genggaman kini berlumur darah merah pekat.

Itu adalah pertama kalinya aku benar-benar menggunakan kekerasan untuk membunuh berbeda dengan semua bentrokan sebelumnya, bahkan yang pernah kulakukan pada mantan Bos ku dulu.

Ini pembunuhan pertama.

Dan yang membuatnya lebih berat… korban itu adalah tetanggaku sendiri.

Semangatku yang semula terbakar dan penuh adrenalin mulai mereda. Yang tersisa hanyalah rasa lelah, bercampur sedikit rasa bersalah yang menekan di dada.

Bukan penyesalan penuh… tapi seperti ada beban yang menempel dan sulit dilepaskan.

Dengan tangan gemetar, aku merogoh saku dada, menemukan rokok terakhirku yang tersisa.

Kutarik sebatang, menyalakannya, lalu mengisapnya dalam-dalam.

Batuk pertama menyergap, persis seperti saat pertama kali aku belajar merokok dulu. Tapi aku menahan, memaksa paru-paruku menerima asap itu, lalu menghembuskannya keras-keras.

Nikmat.

Nikmat yang merayap pelan ke seluruh tubuhku, membungkus saraf-saraf yang tegang.

Entah kenapa, aku yakin, aku tak akan pernah lagi merasakan kepuasan sesederhana ini di masa depan.

“Ugh… tinggal tiga batang lagi…” gumamku lirih, menatap kotak rokok yang nyaris kosong.

Begitulah… hari pertamaku di Wabah Zombie.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!