NovelToon NovelToon
Kujual Tubuhku Demi Sesuap Nasi

Kujual Tubuhku Demi Sesuap Nasi

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu / Romansa / PSK
Popularitas:5.5k
Nilai: 5
Nama Author: Qwan in

“Di balik seragam putih abu-abu, Nayla menyimpan rahasia kelam.”

Di usia yang seharusnya penuh tawa dan mimpi, Nayla justru harus berjuang melawan pahitnya kenyataan. Ibu yang sakit, ayah yang terjerat alkohol dan kekerasan, serta adik-adik yang menangis kelaparan membuatnya mengambil keputusan terberat dalam hidup: menukar masa remajanya dengan dunia malam.

Siang hari, ia hanyalah siswi SMA biasa. tersenyum, bercanda, belajar di kelas. Namun ketika malam tiba, ia berubah menjadi sosok lain, menutup luka dengan senyum palsu demi sesuap nasi dan segenggam harapan bagi keluarganya.

Sampai kapan Nayla mampu menyembunyikan luka itu? Dan adakah cahaya yang bisa menuntunnya keluar dari gelap yang menelannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

15

Langit tampak abu-abu, seakan ikut berduka bersama hati Nayla. Udara lembap menusuk hingga tulang, membuat setiap langkah terasa berat. Deru kendaraan berlalu-lalang di tepi jalan, namun semuanya terdengar seperti gumaman yang jauh. tak penting, tak nyata.

Nayla menyusuri trotoar sempit dengan langkah lunglai. Setiap getar aspal di bawah sol sepatunya seolah membisikkan satu kata: gagal.

Kedua tangannya menggenggam erat tali tas lusuh yang menggantung di bahunya. Suara langkahnya teredam oleh suara gemericik air hujan yang turun perlahan. Seperti langit sedang menahan tangis, sama sepertinya.

Air mata mulai mengalir, deras dan tak tertahan. Ia bahkan tak mencoba menyembunyikannya lagi.

Tak ada yang peduli. Tak ada yang akan bertanya,

"Kau kenapa, Nayla?" Tak ada yang akan memeluknya dan berkata,

"Semua akan baik-baik saja."

Karena kenyataannya. tidak akan pernah baik-baik saja.

Pikirannya terikat pada kejadian tadi, di depan gerbang sekolah.

Pandangan Elang masih tergambar jelas dalam benaknya. Dulu, sorot mata itu selalu menatapnya dengan teduh. Mata yang penuh ketulusan dan kehangatan, yang bisa membuat Nayla merasa seolah dunia tak seburuk itu. Tapi kini. mata itu telah berubah. Sorotnya dingin. Penuh kebencian. Tak ada lagi keteduhan, hanya tuduhan dan penghakiman.

Itu yang paling menyakitkan.

Bukan cacian orang-orang. Bukan fitnah yang menyebar seperti virus. Tapi bagaimana seseorang yang pernah percaya padanya, kini melihatnya seolah ia adalah makhluk menjijikkan. Tatapan Elang tadi seperti pisau yang menancap perlahan, menghancurkan sisa-sisa keberanian Nayla untuk bertahan.

Ia menggigit bibirnya, menahan isak, namun tubuhnya bergetar.

Ia terisak, bahunya terguncang, dadanya sesak menahan kenyataan yang tak kunjung memberinya ruang bernapas.

Nasib buruk seolah tak pernah menjauh.

Ayahnya. pria yang seharusnya menjadi pelindung, justru adalah luka paling pertama yang ia kenal. Seumur hidup, Nayla hanya mengenal ayahnya sebagai seorang pemabuk. Seorang penjudi. Pria egois yang tak segan main tangan kepada istrinya sendiri hanya karena tak diberi uang untuk taruhan. Malam-malam masa kecilnya dipenuhi suara benda pecah dan tangis ibunya yang dibanting ke lantai.

Ibunya. wanita rapuh yang tubuhnya semakin hari semakin menipis oleh penyakit dan tekanan hidup yang tak pernah usai. Nafasnya pendek, kulitnya pucat, dan wajahnya selalu mencoba tersenyum di depan anak-anaknya meski seluruh tubuhnya memohon untuk menyerah.

Dan adik-adiknya… dua anak kecil yang belum tahu arti dosa, tapi sudah dicekik oleh lapar setiap hari. Mereka menangis dalam diam, memegangi perut kosong sambil menatap piring yang tak pernah terisi. Kadang hanya air putih hangat yang bisa meredam tangisan mereka.

Nayla menarik napas panjang. Namun rasanya malah menyakitkan.

Karena di antara semua itu… dia sendiri harus memikul beban paling busuk dari semuanya.

Ia. seorang gadis yang terpaksa menjual harga dirinya sendiri. Menjual tubuhnya. Martabatnya. Sekeping kehormatan yang mestinya dijaga, hancur demi sesuap nasi. Demi membeli obat untuk ibu. Demi membeli sebungkus roti untuk adik-adiknya. Demi bertahan.

Bukan karena ia mau.

Tapi karena dunia tak memberinya pilihan lain.

Dan kini, sebagai tambahan dari semua luka itu… ia pun harus menghadapi kenyataan lain.

Ia diskors dari sekolah. Tempat satu-satunya yang dulu ia anggap sebagai jalan keluar dari neraka hidupnya. Tempat ia menaruh harapan, yang kini justru mengusirnya dengan tuduhan, fitnah, dan kebencian.

“Sebentar saja…” ucapnya lirih. “Sebentar saja aku ingin merasa tenang…”

Tapi bahkan permintaan sederhana itu pun terdengar terlalu mewah.

Tangannya naik, mengusap paksa pipinya yang basah, seolah ingin menghapus segalanya.

“Sial.”

Umpatannya keluar lirih namun penuh racun.

Ia berhenti berjalan, memandang ke langit hitam di atas kepala. Tapi langit pun tak menatapnya kembali. Dunia menutup mata. Semesta menutup telinga. Dan ia hanya seorang gadis yang hancur, berdiri sendirian di trotoar, menggenggam sisa-sisa dirinya yang mulai retak.

“Mau menangis dan berteriak sekalipun… tidak akan mengubah keadaan.”

Itulah kenyataan paling pahit. Dan ia mengulangnya dalam hati seperti mantra kutukan.

...

Nayla akhirnya tiba di depan kontrakan kumuh itu. Rumah kecil yang meskipun reyot, selalu menyimpan kehangatan dari seorang ibu yang lembut, yang selalu menyambutnya dengan senyum meski dalam sakit, meski dalam lapar.

Tapi malam ini berbeda.

Ia tertegun melihat ibunya duduk di teras depan. Bukan dalam posisi lunglai seperti biasanya. Tapi duduk tegak, dengan wajah yang sulit diartikan. Wajah yang tak menampakkan kasih sayang, tak memancarkan kelembutan seperti biasanya. Wajah itu dingin. Datar. Bahkan tampak menakutkan.

“Assalamu’alaikum, Bu…” Nayla menyapa lirih, suaranya nyaris bergetar.

Ia melangkah pelan, mencoba meraih tangan ibunya untuk menciumnya, seperti kebiasaan yang selalu ia lakukan sejak kecil. Namun tangan itu ditarik. Ditepis. Seolah menyentuhnya saja kini menjadi najis.

Ibunya menatapnya tanpa rasa.

“Kamu dari mana?” tanyanya tajam.

Nayla tercekat. Nada suara itu bukan suara seorang ibu yang merindukan anaknya pulang. Bukan suara kasih. Bukan suara pelindung. Tapi suara penghakiman. Suara dingin yang menusuk dada Nayla lebih dalam dari luka mana pun.

“Dari sekolah… Bu.” jawab Nayla gugup. Terlalu bingung untuk memahami apa yang sedang terjadi.

PLAAKK!

Tangan ibunya melayang begitu cepat ke pipinya. Tamparan keras itu mengguncang tubuh Nayla hingga ia terhuyung ke belakang. Wajahnya menoleh tajam karena hantaman. Sakitnya tak hanya di kulit. Tapi menembus dada, menembus hati, menembus seluruh alasan Nayla tetap bertahan hidup selama ini.

Ia mendekap pipinya yang panas. Matanya membesar menatap ibunya, tak percaya. Untuk pertama kalinya, tangan yang dulu selalu membelai rambutnya dengan kasih… kini menyakitinya.

“kenapa, Bu?” lirihnya, nyaris seperti bisikan yang tertahan tangis.

Ibunya tidak menjawab.

Ia hanya berdiri, masuk ke dalam rumah dengan langkah tergesa. Nayla tetap berdiri terpaku di teras, membekukan diri di bawah langit yang mulai gelap.

Beberapa saat kemudian, sang ibu kembali.

Di tangannya, plastik hitam. Dan selembar kertas kusut yang sudah hampir sobek di ujungnya. Dengan gerakan penuh amarah, ibunya melemparkan plastik itu tepat ke kaki Nayla. Kertas itu lalu disodorkan ke depan wajahnya.

“APA INI, NAYLA?!”

Nayla menunduk. Tangannya gemetar saat membuka plastik itu. Tapi ia tak perlu membukanya lebar-lebar. Karena ia tahu persis apa isinya. Dress mini. Yang biasa ia kenakan saat menjual dirinya. Yang selama ini ia sembunyikan rapat-rapat agar ibunya tak pernah tahu.

Dan kertas itu, surat skors dari sekolah.

Ia ketahuan.

Semua rahasia yang ia kubur dalam-dalam… kini terbongkar tanpa ampun.

“Kamu selama ini. melakukan semua ini di belakang Ibu?! NAYLA, APA YANG TELAH KAMU LAKUKAN?!”

Nayla jatuh berlutut. Tangisnya pecah. Hatinya remuk. Bibirnya bergetar.

“Ibu… Ibu, maafkan Nayla, Bu. Nayla cuma…”

“IBU TIDAK PERNAH MINTA KAMU MELAKUKAN INI, NAYLA!!” bentak ibunya dengan suara pecah. Air matanya mengalir deras, tapi kemarahannya tak terbendung.

“Ibu tidak pernah mengajarkan kamu menjual diri, menukar kehormatan demi uang!! Kita memang miskin, iya… kita lelah, kita kekurangan! Tapi kita masih punya harga diri, Nayla!”

Nayla terisak. Ia bersujud di kaki ibunya, mencium ujung kainnya dengan tangis yang tak terputus.

“Ibu… Nayla cuma ingin bantu… Nayla cuma nggak tahan lihat Ibu sakit… adik-adik kelaparan… Nayla… Nayla cuma…”

“CUMA APA?! CUMA MERENDAHKAN DIRI KITA UNTUK UANG HARAM?!”

Ibunya terduduk, air mata semakin deras. Bahunya bergetar. Suaranya mulai lirih, namun kemarahan masih menyelimuti tiap kata.

“Untuk apa bisa makan enak… tidur nyenyak… kalau semua itu hasil dari dosa?! Ibu nggak butuh uang itu, Nayla… Ibu cuma ingin kamu tetap jadi anak yang Ibu banggakan… yang kelak bisa mengangkat kita dari kesulitan... BUKAN MENJATUHKAN DIRIMU SEPERTI INI!”

Dari dalam rumah, Dio dan Lili berdiri terpaku di balik pintu. Mereka mendengar semuanya. Mereka melihat Nayla bersujud, menangis, memohon. Mereka melihat ibunya yang biasanya lembut kini hancur dalam kecewa.

Nayla tahu… tatapan mereka tak akan sama lagi.

Ia ingin menjelaskan. Ia ingin menjelaskan semuanya. Bahwa ia tak pernah menikmati apa pun yang ia lakukan. Bahwa setiap malam ia menangis. Bahwa ia hanya ingin menyelamatkan keluarganya dari kelaparan.

Tapi apa gunanya semua itu sekarang?

Ibunya telah terlanjur patah.

Dan di puncak dari semua emosi, dalam isak tangis yang mencabik dada, ibunya tiba-tiba memegangi dadanya. Nafasnya tersengal. Matanya membelalak. Tangannya mencengkeram udara.

“Ibu?! IBU!!”

Nayla berdiri panik, memeluk tubuh ibunya yang mulai goyah.

“Ibu! Ibu jangan begitu! Ibu dengar Nayla! Ibu dengar Nayla!” Nayla berteriak, memanggil-manggil ibunya dengan suara parau.

Namun tak ada jawaban.

“Ibu! Jangan begini, Bu! Ibu!! TOLONG!! TOLONG ADA YANG BISA TOLONG!!”

Tubuh ibunya terkulai dalam pelukannya. Napasnya makin pendek. Matanya mulai meredup. Jeritan Nayla mengguncang malam.

Orang-orang berdatangan. Tetangga membawa kendaraan. Ibunya dilarikan ke rumah sakit.

Di depan ruang ICU, Nayla duduk memeluk Dio dan Lili yang menggigil ketakutan. Wajah mereka pucat. Mereka tak bicara. Hanya memeluk kakak mereka dengan erat.

Nayla menatap pintu besi di depannya. Tangannya bergetar. Doa-doa meluncur dari bibirnya tanpa suara.

Tuhan… tolong… jangan ambil satu-satunya cahaya yang Nayla punya…

Beberapa menit kemudian, dokter keluar.

Wajahnya tak memberi harapan. Matanya teduh, namun penuh belas kasihan.

“Kami sudah melakukan yang terbaik…”

Nayla menahan napas.

“Namun… beliau terkena serangan jantung mendadak. Kami tidak bisa menyelamatkannya.”

Seisi dunia runtuh dalam satu kalimat.

Nayla terjatuh berlutut di lantai rumah sakit. Tubuhnya roboh. Tangisnya meraung, menembus dinding, menembus langit, menembus seluruh luka yang pernah ia alami.

“IBUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUU!!!!!”

Suara tangis Dio dan Lili menyusul di belakangnya.

Dan malam itu… Nayla kehilangan satu-satunya tempat ia berpulang.

Yang tersisa kini hanyalah kehampaan.

Dan rasa bersalah yang tak akan pernah bisa ditebus… oleh apa pun.

...

Flashback 

Suasana siang begitu senyap. Hanya suara kipas tua yang berdecit lirih mengisi udara, bercampur aroma minyak kayu putih dan karbol yang menyelimuti rumah kontrakan mungil itu. Sinar matahari yang masuk lewat jendela tak mampu mengusir dingin yang merayap dari dalam tubuh seorang wanita paruh baya yang tengah duduk bersila di atas lantai lusuh.

Ibu Nayla. Perempuan kurus dengan tubuh renta yang seolah terus dilawan oleh semangatnya untuk tetap berdiri. Tangannya yang sudah mulai keriput bergerak pelan, melipat satu per satu pakaian milik anak-anaknya. Sesekali ia terbatuk kecil, napasnya berat, namun wajahnya tetap bersabar. Meski tubuhnya nyaris tak kuat berdiri, ia menolak menyerah. Ia tahu Nayla sudah terlalu letih. Setiap hari, anak gadisnya itu pulang larut malam, dengan mata yang selalu merah dan tubuh yang lelah. Maka, sebisa mungkin, ia ingin mengambil sebagian beban itu. Melipat pakaian, membersihkan lantai, menyiapkan makan meski hanya nasi dan garam. itu semua adalah caranya mencintai dalam diam.

Satu demi satu pakaian ia susun dengan rapi. Wajahnya yang tirus memancarkan kelembutan, seolah setiap lipatan kain adalah ungkapan kasih sayang bagi anak-anaknya. Tapi hari itu, ada sesuatu yang berbeda. Ada bisikan aneh dalam hatinya. Perasaan tak enak yang entah datang dari mana.

Ketika ia bangkit perlahan. dengan tangan kiri menopang punggung dan tangan kanan memeluk tumpukan pakaian. ia membuka pintu lemari reyot yang sudah beberapa kali hampir ambruk. Engselnya berderit nyaring, seperti merintih bersama beban hidup yang menghuni rumah itu. Ia meletakkan pakaian-pakaian itu satu per satu ke dalam lemari, hingga tiba-tiba matanya tertumbuk pada sesuatu.

Ujung kertas lusuh. Menyembul sedikit di balik tumpukan pakaian lama di sudut lemari.

Alisnya mengernyit. Dengan rasa penasaran yang mulai tumbuh dan hati yang tak tenang, ia menyisihkan pakaian di atasnya dan menarik keluar kertas tersebut.

Tangan tuanya gemetar saat membaca judul yang tercetak jelas di bagian atas:

SURAT KEPUTUSAN SKORS SEMENTARA. SISWI ATAS NAMA: NAYLA PUTRI

Napasnya tercekat. Ia membaca dengan lebih seksama, huruf demi huruf, kalimat demi kalimat. Semakin dalam ia menyelami isi surat itu, semakin keras detak jantungnya. Dan ketika sampai pada paragraf terakhir…

“…disebabkan oleh beredarnya foto-foto tidak pantas yang menunjukkan Nayla bersama pria dewasa di ruang karaoke. Foto-foto tersebut beredar luas di kalangan siswa dan wali murid, mencoreng nama baik sekolah…”

Tubuhnya lunglai. Dunia seperti runtuh dalam sekejap. Surat itu terjatuh dari tangannya dan berhamburan di lantai. Namun sebelum ia bisa menarik napas lega atau sekadar menyangkal kenyataan, matanya menatap sesuatu yang lain…

Sebuah bungkusan plastik hitam.

Terselip di sudut terdalam lemari. Terlindung pakaian tua yang jarang disentuh. Dengan hati yang dipenuhi firasat buruk, ia menjulurkan tangan, menarik bungkusan itu dengan pelan.

Plastik itu terasa dingin di tangannya. Nafasnya tersendat ketika membuka simpulnya.

Dan di dalamnya. sehelai dress mini berwarna hitam. Sangat pendek. Sangat ketat. Sangat… murahan.

Seperti tamparan di siang bolong, pandangannya kabur oleh air mata yang tiba-tiba mengalir. Ia menggenggam baju itu dengan gemetar. Matanya tak berkedip, seakan masih mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang ia lihat bukan milik anak gadisnya. Bukan milik Nayla.

Namun nurani keibuan itu tak bisa dibohongi. Ia tahu. Ia tahu persis bau parfum yang menempel di baju itu. Bau Nayla. Bahkan lipstik samar di kerah leher dress itu masih menyisakan luka yang tak terlihat, tapi terasa begitu dalam di hati seorang ibu.

“Iya Allah… astaghfirullah…” bisiknya lirih. Tapi suaranya seperti pecahan kaca. Rapuh. Retak. Penuh luka.

Tubuhnya terduduk perlahan. Ia memegangi dadanya yang mulai terasa sesak. Tapi ia menahan. Ia menahan karena ia tidak ingin menyerah sebelum tahu jawaban dari anaknya sendiri.

Kenapa, Nayla?

Kenapa sampai harus sejauh ini?

Ia mencoba berpikir jernih. Ia tahu dunia tidak pernah ramah pada keluarga mereka. Ia tahu Nayla sudah menanggung terlalu banyak di usianya yang belum genap delapan belas. Tapi ini… ini terlalu jauh. Terlalu menyakitkan.

Ia memejamkan mata, berusaha meredakan gejolak yang menari liar di dadanya. Tapi bayangan Nayla mengenakan baju ini… berjalan di tempat asing dengan pria asing… menghancurkan semua kekuatan yang selama ini ia kumpulkan untuk tetap tersenyum.

Dan lebih dari semua itu. yang paling menghancurkan adalah rasa gagal sebagai seorang ibu.

Ia menangis diam-diam, tubuhnya membungkuk, tangan masih menggenggam dress hitam itu erat.

“Salah Ibu. ini pasti salah Ibu…”

Ia menunduk, memeluk baju itu seperti sedang memeluk anaknya sendiri yang terluka. Air matanya jatuh satu per satu di atas kain hitam itu. Namun tak ada pelukan balasan. Tak ada suara memohon maaf dari Nayla. Yang ada hanya kesunyian… dan rasa kecewa yang menusuk seperti duri dalam hati seorang ibu yang hanya ingin anak-anaknya hidup dengan layak, bukan mengorbankan kehormatannya.

siang itu sebelum Nayla pulang ke rumah, adalah siang di mana hati seorang ibu perlahan-lahan patah.

Dan ketika malam datang, dan Nayla berdiri di depannya. dengan senyum lelah yang pura-pura kuat. semua yang ia tahan siang itu pecah seperti banjir air mata yang tak bisa ditahan lagi.

Ia tak bisa menghapus kenyataan. Tapi ia berharap, walau terlambat, Nayla tahu bahwa seorang ibu menangis bukan karena benci, tapi karena terlalu mencintai hingga hatinya tak sanggup lagi menanggung beban.

Namun semua sudah terlambat.

Karena di akhir malam itu, cinta seorang ibu berubah menjadi nyeri yang tak tertahankan. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup Nayla, tangan ibunya yang dulu penuh kasih, tak lagi sanggup menggenggamnya.

Dan kini. semua hanya tinggal kenangan yang tak bisa dipeluk kembali.

Flashback off 

1
NNPAPALE🦈🦈🦈🦈
waduuuuhhh kayaknya kalo menyangkut konplik orang tua dan perjodohan bakalan berat nih, apalagi saingannnya yg syar'i syar'i pasti dibanding bandingin trus nih....
Dzimar
Thor kmren2 sering triple bab😍
Her$a: besok kak insyaallah,, tapi cuma 2 bab pr hari... GPP yaa😉
total 1 replies
Dzimar
gak rela klu Nayla di tinggal nikah SMA elvino Thor ..elvino juga udh cinta bngt ke nayla
Dzimar
up Thor udh jam 6 blm up... menantikannya
Her$a: masih proses kak😁 agak terkendala hari ini
total 1 replies
Dzimar
Nayla pasti TLP elvino....ayo elvino datang&liat kondisi Nayla yg hdupnya hancur karena keadaannya 😭
Siti Aminah
trs lanjut ya kak AQ suka banget ceritanya.
Siti Aminah
seru banget . tlng di lanjut episode selanjutnya
Her$a: terima kasih 😘
total 1 replies
NNPAPALE🦈🦈🦈🦈
semangat kakak othor... aku gak tau mau bikin ulasan apa,,, tapi sejauh ini ceritanya bagus banget....
Her$a: Terima kasih 😘
total 1 replies
Bunda Dzi'3
hp Thor ..smngts bnyk pembaca karyamu thor👍
Bunda Dzi'3: smngtsss🖤
total 2 replies
Bunda Dzi'3
beban nya Nayla berat bngtt😭
Bunda Dzi'3
Aulia sma elang aja..sma2 bersih...biar Nayla sma elvino...krna Nayla udh di tidurin elvino biar Elvino tanggung jawab...Nayla khawatir hamil saat elvino nikahin Aulia...trs elang yg nikahin Nayla 😭😭
Bunda Dzi'3
ervino udh cinta sma Nayla...
Bunda Dzi'3
lanjutttt🖤
Bunda Dzi'3
buat aja Nayla hamil biar di nikahin Elvino Thor
Bunda Dzi'3
😭😭😭
Bunda Dzi'3
Elvino udh Cinta mungkin sma Nayla tapi gengsi...Dia pikir Nayla gak lebih dri pemuas ranjangnya...pdhl elvino udh ada rasa sblm kjdian MLM pertama...Haa khayalan Qu sperti ini ..nikahin Elvino buat Nayla bhgia👍
Bunda Dzi'3
elvino knpa gak di nikahin aja Nayla&angkat derajatnya Nayla..biar gak bnyk dosa&Dio gak benci lagi😭
Bunda Dzi'3
😭😭😭
Bunda Dzi'3
lanjut thor
Bunda Dzi'3
i
kasian Nayla hancur N merasa bersalah bngt pastinya ..ibunya mninggal karna tau kerjaan nayla😭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!