Saquel dari Novel "Janda untuk om Duda"
Semenjak mamanya menikah dengan tuan muda Danendra, perlahan kehidupan Bella mulai berubah. Dari Bella yang tidak memiliki ayah, dia menemukan Alvaro, sosok ayah sambungnya yang menyayangi dirinya selayaknya anak kandungnya sendiri.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, sebuah insiden membuat semua berbalik membencinya. Bahkan mama kandungnya ikut mengabaikan dan mengucilkan Bella, seolah keberadaannya tidak pernah berarti.
Di tengah rasa sepi yang mendalam takdir mempertemukan kembali dengan Rifky Prasetya , dokter muda sekaligus teman masa kecil Bella yang diam-diam masih menyimpan rasa sayang untuknya. Bersama Rifky, Bella merasakan arti dicintai dan di lindungi.
Namun, apakah cinta masa lalu mampu menyembuhkan luka keluarga yang begitu dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kikoaiko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25
Arumi dan keluarga Reza duduk bersama di sebuah restoran, hubungan keduanya terlihat akrab meskipun dulu sempat memanas. Namun berbeda dengan Alvaro, pria itu tampak tidak menyukai mantan suami istrinya itu.
"Beberapa minggu yang lalu Bella sempat datang kerumah kami, apa kalian tahu itu?" tanya Erika.
Arumi menatap Erika dengan mata membulat, seketika dadanya terasa sesak. Rasa khawatir dan curiga bergulung dalam benaknya, membayangkan apa yang sebenarnya terjadi di balik kedatangan Bella ke rumah Reza. Ia menelan ludah pelan, berusaha menenangkan diri agar tak langsung bereaksi berlebihan.
“Dia bilang apa?” tanya Arumi, suaranya sedikit bergetar, menahan rasa takut akan kemungkinan buruk.
Reza yang duduk di samping istrinya mengernyit, menatap Arumi dengan pandangan tenang namun waspada. “Bella ingin menumpang di rumah kami, tapi sayangnya kamar di rumah kami sudah penuh" ucap Reza. Bahkan dengan anak kandungnya sendiri pun dia anggap numpang, seakan dia menganggapnya orang lain.
Sementara itu, Alvaro yang duduk di samping Arumi menatap tajam ke arah Reza. Wajahnya terlihat tegang, rahang yang mengeras menandakan ketidaksukaannya yang tak bisa disembunyikan. Dia menggenggam gelas minuman dengan kuat, jari-jarinya bergetar halus.
Arumi mengalihkan pandangan ke Alvaro, merasakan atmosfer dingin yang tiba-tiba menyelimuti meja makan mereka. Namun ia memilih mengabaikan ketegangan itu, fokus pada penjelasan Reza dan Erika.
"Tidak ada kamar kosong, atau memang kamu tidak mau menampung?” Alvaro menatap tajam ke arah Reza, bibirnya tersunggingkan setengah mengejek.
Meski kebenciannya terhadap Bella masih membara, perlindungan untuk anak sambungnya itu membuatnya tak segan membela di depan Reza, pria yang selama ini dianggapnya abai.
Reza hanya diam, wajahnya yang biasanya datar kini menegang. Tatapannya bergeser sekejap ke arah pintu restoran yang tertutup rapat, lalu kembali menatap Alvaro dengan pandangan penuh beban. Suasana yang tadinya hangat dan tenang berubah menjadi mencekam, seolah ruang itu menyimpan badai yang siap meledak.
Alvaro menghela napas panjang, menatap rendah ke lantai sebentar sebelum kembali menantang. “Dari dulu kamu memang tidak pernah mengurusnya. Rasa penyesalan yang dulu itu cuma basa-basi. Kalau memang peduli, kamu tak akan membiarkan dia sendiri seperti sekarang.” Suaranya bergetar, campuran amarah dan kecewa yang sulit disembunyikan.
Reza menggigit bibir bawahnya, matanya memerah tapi tak mau melepaskan tatapan dinginnya. Kedua pria itu berdiri saling berhadapan, ketegangan memenuhi udara, menyisakan ruang kosong yang terasa berat dengan luka lama dan kata-kata yang belum terselesaikan.
Arumi meraih lengan Alvaro dengan lembut, jarinya mengusap pelan seolah mencoba menyerap kegelisahan yang terpancar dari wajah suaminya. Matanya menatap tajam ke arah suami yang masih duduk dengan pundak menunduk dan rahang yang menegang.
"Sudah, Mas... malu ini tempat umum," bisiknya lirih, suaranya hampir tenggelam di antara riuhnya restoran.
Alvaro menghela napas panjang, tubuhnya bergetar halus sebelum perlahan ia bangkit dari kursi. Tatapannya kosong, seolah mencoba menyingkirkan beban yang tiba-tiba menyesak dadanya. "Kita pulang," ucapnya dengan suara berat, namun tegas.
Maureen yang duduk di sampingnya menatap bingung ke arah orangtuanya, lalu tanpa sepatah kata ikut berdiri, mengikuti langkah ayahnya dengan langkah kecil yang ragu.
Arumi berdiri juga, wajahnya menahan sedih dan malu. Ia menoleh ke arah Reza dan Erika, mencoba menyembunyikan kekecewaan dalam senyumnya yang dipaksakan. "Reza, Erika, kami pamit dulu. Maafkan sikap suamiku ya," ucapnya pelan, suaranya bergetar tipis sebelum berbalik dan berjalan cepat menyusul Alvaro yang sudah melangkah keluar dari restoran, meninggalkan aroma ketegangan yang masih membekas di udara.