NovelToon NovelToon
Penghakiman Diruang Dosa

Penghakiman Diruang Dosa

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Spiritual / Iblis / Menyembunyikan Identitas / Barat
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: R.H.

⚠️ *Peringatan Konten:* Cerita ini mengandung tema kekerasan, trauma psikologis, dan pelecehan.

Keadilan atau kegilaan? Lion menghukum para pendosa dengan caranya sendiri. Tapi siapa yang berhak menentukan siapa yang bersalah dan pantas dihukum?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.H., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

21. Kedatangan Orang Yang Ku Benci

Sore itu, aku sedang membereskan meja-meja pelanggan. Waktunya tutup. Tapi pandanganku teralihkan oleh suara bising anak-anak muda yang mendekat.

Aku menoleh ke arah pintu masuk dan mendapati Rafael sedang diapit lehernya oleh seorang lelaki sebaya yang kukenal—salah satu dari mereka yang pernah membully Rafael saat pertama kali aku bertemu dengannya.

"Ngapain mereka ke sini?" gumamku heran.

Lelaki itu melepaskan cekikannya lalu memukul kepala Rafael dengan kasar, meski mereka semua tertawa seolah itu hanya candaan.

"Oh, ini ya tempatnya," ucap Rio sambil menatap sekeliling dengan ekspresi jijik. "Kumuh... Jelek... Pasti makanannya nggak higienis."

Aku menatapnya dengan kesal. 'Kurang ajar. Anak ini butuh dikasih pelajaran.'

"Paman... Perkenalkan, ini teman-teman aku," ucap Rafael sambil tersenyum canggung, memperlihatkan gigi-giginya dan menggaruk tengkuk.

Aku mengangguk dan tersenyum ramah, memahami situasinya.

"Oh, silakan duduk. Jangan sungkan. Kapan-kapan mampir lagi, nggak usah malu-malu," ucapku, mempersilakan mereka duduk.

"Kalian duduk dulu, saya akan buatkan mie ayam untuk kalian."

Namun ekspresi Erlan tampak berubah. Ia terlihat jijik, padahal mie ayamnya belum aku buat. Aku segera menuju dapur, sesekali melirik tajam ke arah mereka yang masih memukuli Rafael sambil tertawa.

Beberapa menit kemudian, aku keluar membawa lima mangkuk mie ayam panas. Aku menyajikannya dengan hati-hati. Tapi kulihat mereka saling memberi kode, dan Erlan sudah siap dengan ponselnya.

Aku duduk tak jauh dari mereka, memperhatikan gerak-gerik mereka.

Baru saja aku memejamkan mata, suara mangkuk pecah membuatku menoleh.

Erlan berdiri bersama ketiga temannya, memuntahkan makanan secara dramatis. Padahal aku tahu mereka belum menyentuhnya sama sekali. Salah satu dari mereka merekam kejadian itu.

Aku segera menghampiri mereka. "Maaf, ada apa, anak-anak? Kalian kenapa?" tanyaku, mencoba memasang ekspresi khawatir.

"Ini apa-apaan? Rasanya kayak bau sampah!" geram Erlan sambil membersihkan lidahnya. "Makanan kayak gini masih dijual?" bentaknya, menunjuk mie ayam yang berceceran di lantai.

Aku menatapnya tak suka, tapi tetap berusaha ramah. "Maaf, nanti saya ganti yang lain."

"Tidak usah!" bentak Erlan.

Rio yang merekam mengarahkan kamera ke makanan yang berserakan, lalu ke arahku dan Erlan.

Erlan menatap Rio, lalu mulai berbicara ke kamera. "Gais, aku baru aja mampir di warung mie ayam Pak Bruto. Ternyata makanannya nggak higienis. Warung ini sekarang diurus pamannya Rafael. Jadi aku saranin jangan makan di sini. Makanannya bau sampah."

Rio terus merekam, mendokumentasikan ruangan. Setelah itu, ia mematikan kamera.

"Gais, bongkar! Biar nggak ada korban!" seru Erlan.

Ketiga temannya langsung bertindak. Mereka memporak-porandakan warung mie ayam yang kujaga. Tak peduli padaku, pemiliknya, yang hanya bisa diam menyaksikan aksi mereka.

Rafael pun tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya menyaksikan aksi brutal itu. Padahal mereka masih anak sekolah, tapi kelakuannya seperti preman jalanan.

"Gais, kita cabut," kata Erlan setelah memastikan semuanya berantakan.

Sandi berhenti di depan pintu, lalu menendangnya hingga goyah.

Setelah mereka pergi, aku menatap Rafael yang berdiri diam, lalu tersenyum canggung.

"Maaf," ucapnya sambil menggaruk tengkuk.

"Rafael!" bentakku kesal. "Jelaskan apa yang terjadi!"

Rafael memasang ekspresi lesu, lalu menggeleng. "Paman, mereka memaksaku... Kalau aku nggak ikut kemauan mereka, Erlan bakal nyuruh bokapnya bongkar warung ini. Katanya mau dibangun motel."

"Kurang ajar anak-anak itu," geramku sambil mengepalkan tangan lalu memukul meja dengan kasar. "Bereskan kekacauan ini."

Rafael mengangguk dan mulai membereskan kursi dan meja yang berserakan.

"Paman... Lebih baik secepatnya bawa mereka ke Ruangan Penghakiman," sarannya.

"Diam! Mereka itu anak orang kaya. Dan salah satu dari mereka anak polisi," ucapku kesal. "Kalau kita gegabah sedikit saja... Kita bisa ketangkap. Kamu mau itu terjadi?"

"Tapi Paman... Bahkan ada Paman saja mereka berani ngelakuin itu," ucap Rafael gemetar. "Aku yakin mereka bakal posting rekaman tadi di media sosial."

Aku menghela napas panjang, mengepalkan tangan erat. Tatapanku tajam ke luar jendela. Lalu, aku memukul meja dengan keras.

Rafael refleks menutup mata, takut. Ia langsung membereskan kekacauan itu dengan cepat, tak berani bicara lebih lanjut. Ia tahu, kali ini ia telah melampaui batas—mengundang mereka tanpa seizinku.

***

Malam itu aku berjalan menunduk, mengenakan hoodie hitam yang menutupi setengah wajahku. Udara dingin menusuk kulit, membuat langkahku terasa berat. Di tangan kanan, aku menggenggam ponsel, asyik men-scroll media sosial.

Sampai akhirnya aku menemukan sebuah video yang baru saja viral, terjadi tadi sore.

Mataku membelalak. Emosi memuncak. Video itu—rekaman penghinaan terhadap warung mie ayam—telah tersebar luas. Komentar para netizen pun tak kalah pedas, bahkan dari mereka yang belum pernah makan di sana. Seolah-olah mereka tahu segalanya.

"Kurang ajar anak-anak itu," gumamku kesal.

Tiba-tiba, suara bisikan terdengar jelas di telinga. Seolah menyuruhku untuk membalas mereka. Membuat mereka menyesal. Tak peduli siapa orang tua mereka.

Arrggggg!

Aku berteriak frustrasi, hampir membanting ponsel. Tanganku meremas kantong plastik berisi makanan untuk makan malamku dan Rafael.

Aku mencoba tenang. Menata napas. Menyusuri gang sempit dan gelap hingga tiba di depan pintu rumah.

Pandangan mataku terhenti pada sepasang sepatu hitam mewah. Bukan milikku. Bukan milik Rafael.

'Siapa yang bertamu malam-malam begini?' pikirku, tak tenang.

Aku menghela napas panjang lalu membuka pintu. Tubuhku langsung membeku. Di hadapanku berdiri seorang lelaki tua, sekitar usia 50-an, tersenyum menyambutku.

Emosiku meledak. Orang yang paling aku hindari dan benci kini berdiri di depan pintu rumahku.

Tanganku mengepal. Mataku tajam.

"KELUAR!" teriakku. "KELUAR!" Usirku dengan nafas memburu.

Rafael yang duduk bersama lelaki itu segera menghampiriku dan berbisik, "Paman... Itu Pak Bima. Dia ingin bertemu dengan Paman."

Aku melirik Rafael dengan tajam, lalu menyerahkan kantong plastik padanya. Rafael segera paham dan menuju dapur.

Aku menatap Bima dengan dingin. "Ngapain tuan Bima repot-repot datang ke sini? Kalau tidak ada urusan penting, silakan pergi. Saya tidak menerima tamu."

Bima bertepuk tangan sambil tersenyum lebar. Ia berjalan mendekat, tatapannya tajam dan meremehkan.

"Ayah salut sama kamu," ucapnya dengan senyum smirk.

Aku menatapnya penuh dendam. Bima tampak menikmati itu.

"Ternyata kamu benar-benar berubah, Lion," bisiknya lalu tertawa kecil. "Ayah sudah lihat video kamu. Kedatangan ayah ke sini karena ada tawaran untukmu."

Aku mengerutkan kening, bingung. Tawaran?

"Apa yang kamu inginkan, Tuan Bima? Dan satu hal lagi... Kau bukan ayahku. Jadi jangan mengada-ada seolah aku anak yang kau bangga-banggakan itu."

Bima tertawa puas. Ia tak menyangka anak yang dulu tunduk padanya kini telah berubah total.

Lion yang dulu penurut dan dipaksa menjadi sempurna telah mati lima tahun lalu. Lion yang sekarang adalah sosok dingin yang menghukum mereka yang pantas dihukum.

"Kamu jangan begitu, Lion. Walaupun kamu tak lagi menganggap saya ayah, darah tetaplah darah. Tak bisa dipisahkan, meski kamu berusaha keras."

Aku menghela napas panjang. Darah tetaplah darah? Omong kosong.

"Apa yang kamu inginkan, Tuan Bima?" ulangku sengit.

"Ayah datang untuk mengajakmu pulang. Ayah ingin kamu meneruskan perusahaan keluarga. Kamu tahu sendiri, Ayah sudah tua dan tak punya siapa-siapa lagi selain kamu. Kamu adalah satu-satunya penerus keluarga Argandara."

Bima mendekat. "Ayah juga tahu tentang kelakuanmu selama lima tahun ini," bisiknya sambil tersenyum. "Kamu benar-benar seperti Ayah, Lion."

Aku terdiam sejenak tubuhku mematung, tak mengerti maksud dari kata-katanya barusan.

'Sama sepertinya?' aku tertawa sambil menggeleng tak percaya seperti baru saja mendengar hal Absurd dalam hidupku.

"Tapi Ayah mendukung perbuatanmu. Asalkan kamu mau meneruskan perusahaan Argandara. Ayah jamin, kamu bisa melakukan apa pun yang kamu mau. Menghukum orang berdosa... bahkan membunuh mereka."

Aku terdiam. Tak percaya. Selama ini, dia memantauku tanpa aku sadari.

"Kamu mau?" tanyanya lagi, mencoba meyakinkan.

Kata-katanya menusuk. Dan aku tahu betul, kekayaan Argandara tak akan habis tujuh turunan. Aku satu-satunya pewaris.

Meski sudah terbiasa hidup susah, aku ingin merasakan hidup bebas. Menjadi diriku sendiri. Lagipula, aku sudah dewasa. Bisa menentukan jalan hidupku sendiri.

Selama aku pergi, Bima tak pernah mencariku. Ia hanya memantau dari jauh, seolah ingin tahu seberapa jauh aku bisa bertahan.

"Ayah tak akan lagi mengusikmu untuk jadi Lion yang sempurna. Karena Ayah tahu, kamu sekarang lebih dewasa dari Lion yang dulu," bisiknya, lalu tersenyum lebar.

"Kalau kamu berminat, datanglah ke rumah. Pintu rumah selalu terbuka lebar untukmu, Lion."

1
dhsja
🙀/Scowl/
Halima Ismawarni
Ngeri au/Skull//Gosh/
R.H.: ngeri sedap-sedap au/Silent//Facepalm/
total 1 replies
Halima Ismawarni
seru
R.H.
Slamat datang di cerita pertama ku/Smile/ Penghakiman Diruang Dosa, semoga teman-teman suka sama ceritanya/Smile/ jangan lupa beri ulasan yang menarik untuk menyemangati author untuk terus berkarya/Facepalm/ terimakasih /Hey/
an
lanjut Thor /Drool/
an
lanjut Thor
an
malaikat penolong❌
iblis✔️
dhsja
keren /Hey/
dhsja
keren /Hey/
dhsja
Lanjut /Smile/
dhsja
Keren😖 lanjut Thor 😘
diylaa.novel
Haloo kak,cerita nya menarik
mampir juga yuk ke cerita ku "Misteri Pohon Manggis Berdarah"
R.H.: terima kasih, bak kak😘
total 1 replies
Desi Natalia
Ngangenin
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!