Reza Sulistiyo, penipu ulung Mati karena di racun,
Jiwanya tidak diterima langit dan bumi
Jiwanya masuk ke Reza Baskara
Anak keluarga baskara dari hasil perselingkuhan
Reza Baskara mati dengan putus asa
Reza Sulistiyo masuk ke tubuh Reza Baskara
Bagaimana si Raja maling ini membalas dendam terhadap orang-orang yang menyakiti Reza Baskara
ini murni hanya fanatasi, jika tidak masuk akal mohon dimaklum
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11 MENYUSUN RENCANA JAHAT
Vanaya gelisah, pikirannya berkecamuk. Uang jajannya dipotong 25%, dan itu bencana besar. Ia sudah terlanjur berjanji pada teman-temannya untuk mengadakan pesta, bahkan sudah sesumbar akan menanggung semua biayanya. Jika pesta itu batal, ia bisa menanggung malu seumur hidup.
Mengambil napas dalam-dalam, Vanaya memberanikan diri. Ayahnya memang sedang dalam suasana hati yang buruk, itu terlihat jelas. Tapi Vanaya tak bisa membiarkan harga dirinya jatuh begitu saja. Ia melangkah masuk ke ruang kerja Galih.
Dari ambang pintu, Vanaya melihat Galih duduk di kursi kebesarannya, tampak tenggelam dalam lamunan. Di tangannya, sebuah foto usang terlihat.
"Yah..." Vanaya memanggil, suaranya sedikit ragu.
Galih, yang sedang melamun sambil memandangi foto di tangannya, terperanjat kaget. Buru-buru ia mencoba menyembunyikan foto itu, tapi sayang, foto itu terjatuh. Vanaya melihatnya dengan jelas: seorang perempuan dengan dandanan sederhana, tampak dalam foto usang itu.
"Siapa dia, Yah?" tanya Vanaya, rasa penasaran membuncah.
"Bukan siapa-siapa," jawab Galih, nada suaranya tak bisa menyembunyikan kegugupannya. Raut wajahnya berubah kesal. "Kenapa kamu masuk ke ruang kerja Ayah tanpa permisi?"
"Yah..." Vanaya memanggil lagi, kali ini dengan nada manja yang dibuat-buat. "Ayah sudah enggak sayang lagi, ya, sama aku?" Ia mengeluarkan jurus andalannya: merajuk dengan bibir cemberut dan mata berkaca-kaca.
Galih menghela napas berat. Ia kenal betul putrinya yang satu ini. Kalau Vanaya sudah bersikap seperti itu, pasti ada sesuatu yang diinginkan. "Apa permintaan kamu?" tanya Galih langsung, tanpa basa-basi.
"Yah, aku mohon jangan potong uang jajanku," pinta Vanaya, suaranya melunak. "Aku banyak pengeluaran bulan ini."
"Pengeluaran apa lagi?" Galih bertanya, suaranya dipenuhi kekesalan. "Mobil lengkap dengan sopirnya dan bensinnya, kuliah sudah Ayah tanggung. Pengeluaran apa lagi?"
"Yah, aku ada acara dengan teman-temanku," Vanaya membalas, mulai kesal karena belakangan ini ayahnya jadi sangat cerewet. "Kalau acaranya gagal gara-gara aku kekurangan uang, aku enggak bisa menanggung malu, Yah!"
"Tidak bisa!" Galih menolak dengan tegas. "Kamu dan Dimas sudah membuat Ayah kecewa. Kalian benar-benar akan membuat Ayah jatuh miskin!"
"Yah, please... aku mohon, Yah," Vanaya memelas, menatap ayahnya dengan tatapan memohon.
Galih dihadapkan pada dilema. Bagaimanapun juga, Vanaya adalah putri kesayangannya. Tapi sikap Dimas dan Vanaya kali ini sudah keterlaluan. Jika terus dibiarkan, keduanya bisa membawa Galih dan seluruh keluarga ke jurang kehancuran.
"Ayah hanya potong uang jajan kalian bulan ini saja," ucap Galih, berusaha keras terdengar tegas. "Bulan depan kalian bisa hidup normal lagi." Galih tahu ia harus bersikap keras demi menyelamatkan masa depan dirinya dan keluarganya.
"Ayah jahat! Ayah pelit!" Vanaya berseru kesal. Ini adalah hal yang paling tidak bisa ia terima: penolakan dari ayahnya. Selama ini, Galih selalu mengabulkan keinginannya tanpa banyak tanya. Ibunya, Laras, memang selalu membela Vanaya, tapi kalau urusan uang, ibunya selalu bertele-tele dan sangat rumit.
Vanaya yang kesal lantas berlalu dari ruang kerja Galih. Namun, tepat saat ia akan keluar, matanya menangkap sesuatu: dompet Galih tergeletak di sofa untuk tamu.
Vanaya menghentikan langkahnya, lalu berbalik dan berjalan menuju sofa.
"Mau apa lagi kamu, Vanaya?" tanya Galih, suaranya terdengar jengah, masih duduk di meja kerjanya.
"Ayah sekarang pelit, aku mau duduk di sofa saja dilarang," balas Vanaya, suaranya merajuk. "Ini ada majalah bisnis, aku mau membacanya." Kebetulan memang ada sebuah majalah tergeletak di sofa itu.
Galih menghela napas panjang, lalu kembali fokus pada pekerjaannya, membaca tumpukan laporan dari berbagai perusahaan Keluarga Baskara.
"Investor Alvian siap bekerja sama dengan Keluarga Baskara," gumam Galih, membaca sebuah dokumen penting. "Sepertinya ini peluang," pikirnya, matanya berbinar. "Aku harus mengatur pertemuan dengan orang yang bernama Alvian ini." Galih lantas melanjutkan membaca berkas itu dengan saksama
Sementara itu, Vanaya bergerak cepat. Dengan lihai, ia membuka dompet Galih yang tergeletak di sofa. Tangannya meraih dompet ayahnya dan tanpa ragu, ia mengambil black card milik Galih.
"Ayah tidak bisa diminta baik-baik, maka aku akan mencurinya," bisik Vanaya pada dirinya sendiri, seringai tipis terukir di bibirnya. Dalam benaknya, ia sudah mulai menyusun strategi.
Vanaya tersenyum tipis, black card ayahnya sudah di tangan. Rencananya terlintas jelas di benaknya: ia akan memindahkan uang Ayah ke rekening salah satu ART mereka. Setelah itu, ia tinggal mengambil uang dari ATM pembantu tersebut dan bisa menggunakannya sepuasnya untuk pesta yang sudah ia janjikan. Jika ketahuan, ia punya kambing hitam yang sempurna. Dan orang yang dia incar tentu saja Narti, pembantu yang selama ini selalu membantu Reza
Vanaya bangkit dan melenggang keluar dari ruang kerja Galih. Galih sempat melirik sekilas, kemudian menggelengkan kepala.
"Anakku kalau jatuh miskin apa bisa bangkit lagi?" gumam Galih lirih, pikirannya kalut. "Kerjaannya hanya poya-poya dan membuat jebakan untuk Reza."
Kemudian, Galih mengambil foto yang tadi sempat ia sembunyikan. Diusapnya permukaan foto usang itu pelan. "Diah... aku juga mau membesarkan anak kita," gumam Galih lirih, suaranya dipenuhi penyesalan. "Tapi aku hanyalah lelaki tak berdaya."
Kemudian, Galih memasukkan foto itu ke sebuah kotak kecil. Ia menguncinya dengan kode rahasia yang hanya dia tahu. Kotak kecil itu lalu dimasukkan lagi ke dalam sebuah kotak lain yang juga terkunci dengan kode. Setelah itu, ia berdiri dan membawa kotak tersebut ke brankas, menaruhnya dengan hati-hati di sana.
Padahal, itu hanyalah foto usang seorang wanita yang pernah ia lecehkan. Wanita yang dengan kejam ia tuduh menggodanya, dan imbasnya, Reza pulalah yang kini harus menanggung penderitaan. Sebenarnya, setiap malam Galih dihantui rasa bersalah yang menusuk. Namun, keutuhan keluarga adalah segalanya baginya. Bahkan jika nanti ia harus mengorbankan Reza sebagai tumbal demi menjaga keutuhan rumah tangganya.
Vanaya melangkah masuk ke kamar Dimas. Kakaknya sudah ada di sana, tergeletak di kasur dengan ponsel di tangan.
"Ngapain lu di sini?" tanya Vanaya ketus, tanpa basa-basi.
"Gimana, berhasil enggak?" Dimas malah balik bertanya, tatapan matanya penuh selidik, mengabaikan pertanyaan Vanaya.
"Apanya yang berhasil?" Vanaya mendengus kesal, raut wajahnya masam. "Ayah sekarang pelitnya minta ampun!"
"Yah, kirain berhasil," Dimas menggerutu, raut wajahnya juga ikut masam. "Padahal gue mau ikut lomba balapan."
"Iya, semua ini gara-gara si Reza sialan itu!" Vanaya menyahut, matanya melotot penuh kebencian.
"Tapi gue punya ini?" ucap Vanaya, seringai licik merekah di bibirnya, sambil mengayun-ayunkan black card milik ayahnya di depan Dimas.
"Vanaya!" Dimas tersentak, matanya membelalak melihat kartu hitam di tangan adiknya. "Lu gila apa, kenapa lu mencuri black card Ayah?!" Nada suaranya penuh kekhawatiran.
"Aku enggak mencuri, aku menemukannya," elak Vanaya santai, mengibaskan tangannya.
"Balikin, Vanaya! Kalau Ayah tahu nanti marah besar," desak Dimas. "Ibu sama Nenek juga enggak akan bela kita kalau kita ngambil ATM Ayah!"
"Enggak mau!" Vanaya bersikeras, seringainya semakin lebar. "Aku punya rencana dengan black card ini."
Lantas, Vanaya menceritakan ide liciknya pada Dimas. Dimas mendengarkan dengan saksama, raut wajahnya berubah-ubah antara terkejut, ragu
Dimas menggelengkan kepala, raut wajahnya serius. "Terlalu bahaya, Vanaya. Ayah pasti bisa melacak segera keberadaan ATM-nya. Dan Narti itu orang kepercayaan Ayah, dia tidak akan percaya kalau Narti mencuri ATM."
"Yah, terus gimana dong?" Vanaya bertanya, nada suaranya frustrasi.
"Mending gini aja," kata Dimas, matanya berbinar licik. "Kita suruh saja si kismin menaruh ATM ini di kamar Reza. Ayah pasti bingung karena kehilangan ATM, dan nanti akan ditemukan di kamar Reza. Terus, kita akan jadi pahlawan yang menyelesaikan masalah Ayah!"
"Ayah pasti tidak jadi memotong uang jajan kita kalau kita bisa menemukan solusi untuk permasalahan Ayah," ucap Dimas, senyum licik mengembang.
"Oke, ide bagus!" Vanaya menyahut, matanya berbinar. "Tapi sebelumnya, kita transfer dulu uang Ayah ke rekening Bi Narti, biar Bi Narti dan Reza dikeluarkan dari rumah ini!"
"Oke... ide yang sangat bagus!" Dimas menyetujui, seringai jahat menghiasi wajahnya.