_Simple Komedi horor_
Demian, seorang anak miskin yang mencoba kabur dari bibi dan pamannya malah mendapat kesialan lain. Ya.. ia bertemu dengan seorang pemuda sebayanya yang tidak masuk akal dan gila. Lantas apakah Demian akan baik-baik saja??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerimis Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Singgasana Hitam
Demian tak bisa bergerak. Kakinya seperti tertancap di lantai, jantungnya berdetak begitu keras hingga telinganya berdengung. Matanya terpaku pada gumpalan hitam yang menyelimuti tubuh Alsid, dan tali gaib kasar yang membelit erat dari leher hingga dada temannya itu.
“Ya Allah…,” bisik Demian, nyaris tak terdengar.
Ia menoleh pelan ke arah jendela kamar yang menghadap ke rumah Nehara, berharap bisa meminta pertolongan. Namun rumah itu gelap, hanya remang-remang dari lampu teras yang menyala sayu. Tak mungkin ia ke sana. Tak sekarang. Tidak setelah kejadian kesurupan petang tadi.
Apalagi sepertinya ini sudah terlalu larut. Tak mungkin ia bertamu ke rumah orang malam-malam, apalagi rumah perempuan, meskipun ibunya adalah pemilik kos, tapi ia belum pernah sekalipun bertatap muka dengan ibu Nehara, takut mendapat biaya tambahan karena ada penghuni selain Alsid.
Demian menatap kembali Alsid. Temannya masih duduk bersandar, mata tertutup, wajah pucat dan tubuhnya tampak tegang. Tidak bergerak, tidak bicara.
Demian menelan ludah yang tercekat, merasa begitu gemetaran karena awan hitam itu hampir menutupi pandangannya dari Alsid. Temannya seolah benar-benar tertelan oleh gumpalan tersebut, dan lagi tali itu membelit semakin sesak, sampai-sampai Demian ikut kesulitan bernapas hanya dengan melihatnya.
“Sid?” panggil Demian pelan, berharap suara itu membangunkan temannya dari kondisi aneh ini. Ia semakin menegang, dan napasnya tertahan sebelum melihat Alsid kembali pada kondisi semestinya.
Tiba-tiba Alsid menggeliat dan mengerang pelan. Tangannya mencengkeram dada, napasnya pendek-pendek. Dan gerakan Alsid patah-patah, seolah boneka yang berusaha bergerak usai ratusan tahun terus mematung di tempat.
Demian terbelalak lebar, menantikan apa yang akan di lakukan Alsid selanjutnya.
“Gue... sesak, bro... dada gue kayak diikat... ketat banget... susah napas...” sahut Alsid serak, dan suaranya benar-benar berat seperti kelelahan dan tak tahan lagi. Ia menarik napas panjang namun yang masuk ke paru-parunya terasa hanya sedikit.
Demian menegang. Ia tahu itu bukan keluhan biasa. Ia bisa melihat—secara harfiah—betapa kuat belenggu hitam itu mencekik dan membelit jantung Alsid.
Apa kalau dibiarkan, Alsid bisa mati?
Demian menggeleng, berusaha membuang jauh-jauh pikiran jelek itu darinya. Ia berusaha berpikiran positif, meskipun apa yang terlihat di matanya bukanlah main-main.
“Kamu gak punya riwayat asma, kan?” tanya Demian, mencoba memastikan hal yang lain.
Alsid hanya menggeleng pelan. Wajahnya tampak lelah dan kesakitan. "Enggak. Gue gak punya penyakit bawaan apapun. Gue.. gue sehat. Gue juga suka olahraga, wa.. walaupun sekarang udah jarang." ia menjawab dengan napas tertahan-tahan.
"Tapi..." ia kembali berucap, membuat Demian menatapnya dalam.
“Gue tadi mimpi...” gumamnya, lirih tapi penuh tekanan. “Tadi... pas gue tidur... gue mimpi buruk...”
Demian diam. Tubuhnya condong ke depan, mendengarkan. Dan firasatnya mengatakan, semua ini ada hubungannya dengan belenggu yang membeliy Alsid.
“Gue lihat seseorang... bukan setan, gue yakin itu bukan setan, tapi manusia... meskipun suasana di sekitar tempat itu menyeramkan, dan bikin sekujur tubuh gue merinding ketakutan, gue yakin itu manusia. " Alsid terdiam, berusaha mengingat mimpi yang mengganggunya.
"Orang itu berdiri di atas bukit tinggi, kayak singgasana. Di sekelilingnya... banyak banget pohon-pohon besar sampai akarnya keluar dari dalam tanah. Pohon itu berlumut dan banyak rumput menjalar yang menjuntai sampai tanah."
"Di sekitar situ terasa gersang, tapi yang gue injak adalah semen hitam kasar, tapi udah di penuhi rerumputan dan lumut yang menghitam. Dan... Dan yang bikin gue ketakutan adalah... ular hitam."
Deg!!
Jantung Demian terjeda kala mendengarnya.
"Di sana ada ular hitam yang besarnya lebih dari pohon yang berusia ratusan tahun. Jum.. jumlahnya ada puluhan... besar-besar dan saling membelit, bergulung satu sama lain...”
Alsid menarik napas sulit. “Gue terperangah dan mematung di tempat. Ada angin kencang yang ngebawa angin hitam hingga berhenti di atas kaki orang tadi. Orang itu... ngomong sesuatu ke gue."
"Ngo... ngomong apaa?" tanya Demian tegang.
"Dia bilang : ‘Jangan ikut campur... atau kau mau mati.’”
Deg. Jantung Demian berdetak lebih kencang.
Dan saat itu juga, ia melihat belenggu hitam pada Alsid itu makin mengencang. Tali kasar itu mencengkeram tubuh Alsid lebih erat, seakan mengamuk karena rahasia mereka diungkap. Awan hitam pun makin pekat, menyelimuti wajah dan dada Alsid.
Demian memejamkan mata.
“Aku ini apa?” gumamnya dalam hati. “Aku bukan dukun, bukan orang sakti, bukan ustaz. Aku cuma anak miskin, anak yatim piatu melarat. Tapi kenapa, ada hal-hal rumit yang gak bisa di jelasin, tapi aku bisa ngeliatnya?” batinnya lagi.
"ARRGGHH!!" Alsid mulai mengerang, merasakan belenggu gaib tak kasat mata, namun bisa di rasakan secara nyata.
Angin kencang berhembus dari luar, melesak masuk ke dalam hingga membuat tirai yang tergantung di atas jatuh terhempas ke lantai.
Demian terkejut, dan ia melihat ada bayang-bayang hitam berlalu lalang di luaran rumah. Ramai dan berjalan cepat bergantian. Ia ketakutan, bergetar hingga giginya saling berpantukkan.
Ia melihat Alsid yang mencengkeram dadanya dengan sangat. Wajahnya memerah seolah benar-benar kesakitan secara fisik.
Napas Demian mulai cepat dan jantungnya memompa dengan luar biasa kencang. Alsid terus menggeram hingga tubuhnya tertunduk.
Demian tidak bisa membiarkan Alsid seperti itu.
Ia menarik napas dalam-dalam. Lalu perlahan berdiri. Kakinya gemetar, tapi ia paksa untuk tetap melangkah. Ia mendekat ke arah kasur tempat Alsid duduk dengan tubuh terguncang.
Dalam hati, Demian mulai berdoa.
“Ya Allah... aku gak tahu ini apa, dan aku gak tahu kenapa aku bisa lihat semua ini. Tapi tolong... kalau aku bisa bantu, izinkan aku jadi jalan untuk menolong temanku.”
"Aku isyarat apapun yang ku lakukan untuk menolongnya, tuntun aku.. dan apapun yang ku katakan, ku mohon Engkau ijabah dan Engkau izinkan menjadi penyembuh atas segala penyakit gaib yang membuatnya menderita." ucap Demian, mengatakannya dengan penuh keseriusan dan kepercayaan, bahwa Allah lah pengabul segala doa dan penyembuh segala penyakit.
Ia mengangkat tangan, gemetar. Pandangannya tertuju ke tali kasar tak kasatmata yang melilit tubuh Alsid. Lalu, perlahan-lahan, ia menjulurkan tangannya ke arah leher Alsid, tempat ikatan itu paling kuat.
Perlahan... dan perlahan...
Demian menatap tali mistis itu, dan... GREP!!!
Tangan Demian menyentuhnya.
Tangan Demian... menyentuh benda gaib itu!!
“Ya Allah...” bisiknya terkejut. Tali itu... terasa nyata di tangannya. Kasar. Panas. Berat dan menyakitkan. Seolah menyentuh panci panas yang tiga puluh detik di angkat dari atas kompor.
Tanpa menunda, Demian mulai menariknya perlahan. Tali itu tak bergerak, terus melawan dan membelit tubuh Alsid semakin kuat. Sambil bershalawat pelan, ia memusatkan seluruh tenaganya pada tali itu. Tali gaib tersebut seolah menolak, melawan dengan mengencang.
Alsid mulai mengerang. “Sakit, oi.. AARGH!”
Tapi Demian tidak berhenti. Tangan dan tubuhnya gemetar hebat, keringat membanjiri wajah dan lehernya, tetapi ia terus menarik. Ia melihat setiap belitan yang berhasil ia renggangkan... perlahan... satu per satu mulai lepas.
“Astagfirullah... Allahumma shalli ‘ala Muhammad...” bibir Demian terus bergerak meski tubuhnya hampir tumbang.
Dengan satu tarikan kuat, penuh tenaga dan kepasrahan pada Allah...
BRAK!
Demian dan Alsid terpental ke belakang. Mereka jatuh di kasur masing-masing karena tali yang membelit Alsid terlepas. Nafas mereka kacau, seperti baru selesai berenang jauh di laut melawan ombak.
Demian menatap langit-langit, seluruh tubuhnya menggigil. Rasanya seperti menguras seluruh tenaga, batin, dan keberanian sekaligus.
Sementara itu, Alsid mengerjap bingung. Ia menyentuh dadanya, seperti memastikan bahwa dirinya masih hidup.
“Bro... apa barusan... apa barusan yang gue rasa itu... beneran dari elu?” tanya Alsid, lirih.
Demian belum bisa menjawab. Tapi pandangannya beralih ke sisi kamar. Awan hitam tadi kini telah menguap. Tak ada belenggu. Tak ada tanda-tanda gaib. Semua lenyap.
Alsid duduk perlahan, lalu menatap Demian dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Campuran heran, hormat, takut, dan takjub.
“DEYM!! ELU?” tanyanya lirih dan sulit di terjemahkan.
Demian hanya menatap kosong ke langit-langit. Ia tak tahu harus menjawab apa dan bingung apa yang sebenarnya terjadi.
Dalam kegaduhan, suara anjing mulai meraung kuat, ayam-ayam mulai berkokok bising, dan dari luar kamar, terdengar suara benda yang terseret. Dan seketikan suasana di kamar yang panas, mendingin seketika.
"Aku masih capek, setan anj*ng!!" geram Demian, untuk pertama kalinya berkata kasar.
Bersambung...
kalou gak kena pasien akan ngebalik ke yang ngobatin maka jangan main main dengan peran dukun karena itu akan kembali ke kita kalau kekuatanya lebih kuat dari kita
semangat terus KA rimaaa, penasaran banget kelanjutan nyaa.
bikin penasaran