Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suara dari seberang hati..
Telepon genggam Nayla bergetar di atas meja kayu di sudut ruang kontrakan sederhana. Hatinya langsung berdegup tak menentu saat nama “Mama” muncul di layar. Sudah beberapa minggu sejak ia pergi dari kota itu. Kota penuh kenangan dan luka.
Dengan napas panjang, ia menjawab.
“Halo, Ma…” suaranya nyaris hanya bisikan.
“Nayla…” suara lembut itu terdengar di seberang, disusul diam sejenak. “Kamu baik-baik saja, Nak?”
Ada jeda yang panjang. Nayla menggigit bibirnya. Air matanya menggenang, tapi ia tahan.
“Aku… baik, Ma,” jawabnya lirih.
“Bagaimana kabar cucu Mama?” tanya ibunya pelan, penuh hati-hati, seolah tak ingin melukai.
Nayla memejamkan mata. Lalu meletakkan telapak tangan di atas perutnya yang belum terlalu tampak. Kehangatan kecil di sana membuatnya kuat.
“Baik juga, Ma. Sehat,” gumamnya.
“Mama lega…,” ucap ibunya, suaranya sedikit gemetar. “Mama tahu kamu sekarang tinggal di rumah adik Mama. Dia cerita. Tapi tetap saja, Mama ingin dengar langsung darimu, dari suara kamu sendiri.”
“Aku hanya… butuh waktu sendiri, Ma.”
“Mama tahu. Mama gak marah. Mama cuma… kangen.” Suara itu bergetar. “Kamu tahu, kan? Sejak kamu kecil, cuma kamu yang Mama punya.”
Hati Nayla seperti digerus. Tangis nyaris tumpah, tapi ia telan lagi. Ia harus tegar.
“Aku juga kangen Mama,” katanya. “Tapi aku belum siap untuk pulang. Kota itu... terlalu menyakitkan buat aku sekarang. Semua tempat mengingatkanku pada mereka—pada dia... dan Tania.”
Ada keheningan. Lalu suara napas ibunya terdengar pelan.
“Kamu benar-benar ingin berpisah?” tanya ibunya dengan pelan.
Nayla mengangguk, meski ibunya tak bisa melihat.
“Iya, Ma. Aku siap bercerai. Aku gak mau hidup dengan orang yang mengkhianati kepercayaanku. Pengacara sepupu tetangga akan bantu urus semuanya.”
Ibunya tak langsung menjawab. Di seberang, terdengar suara isakan yang ditahan. Tangis yang tak meledak, tapi terasa dalam. Nayla hanya diam, membiarkan ibunya memproses semuanya.
Kemudian, suara itu datang lagi, lirih tapi penuh kasih, “Mama bangga sama kamu, Nayla. Kamu kuat. Bahkan lebih kuat dari Mama pernah bayangkan.”
Nayla menunduk. Air matanya tak bisa ditahan lagi. Mengalir deras di pipinya, membasahi bantal kecil di pangkuannya. Ia kembali menatap jauh, dan kilas balik masa kecilnya melintas seperti film lama yang mengoyak perasaannya.
🌸 KILAS BALIK:
Dulu, saat Nayla masih kecil, rumah mereka hanyalah rumah petak dari papan dengan atap seng. Sejak ayah Nayla meninggal saat ia baru berusia dua tahun, ibunya bekerja keras menjual sembako di depan rumah. Setiap pagi, aroma kopi dan bau minyak goreng dari warung kecil sang ibu menjadi wewangian khas yang selalu ia ingat.
Pernah suatu malam, hujan deras mengguyur, dan atap mereka bocor. Nayla, yang saat itu baru kelas dua SD, menggigil dalam selimut tipis. Ibunya duduk di samping, menyelimuti dirinya juga dengan kain tipis yang sama. Mereka tertawa bersama melihat ember-ember yang diletakkan untuk menampung air hujan dari langit-langit.
“Nayla janji ya, nanti kalau besar jangan manja. Hidup itu keras, tapi kita harus lebih keras lagi,” ucap sang ibu waktu itu.
“Iya, Ma. Nayla mau jadi orang hebat, Nayla mau jaga Mama.”
Malam-malam tanpa listrik pun menjadi cerita manis yang penuh pelukan dan dongeng. Ibunya tak pernah menikah lagi. Berkali-kali ada lelaki yang ingin melamar, tapi ditolaknya. “Hidup Mama sudah cukup. Nayla dunia Mama,” katanya saat Nayla bertanya suatu ketika.
Dan kini, Nayla merasa hutangnya pada ibunya begitu besar. Ia ingin kuat bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk wanita hebat yang telah mengorbankan segalanya demi dirinya.
Suara ibunya membuyarkan kenangan itu.
“Kalau kamu lelah, kalau kamu merasa hancur, kamu selalu bisa pulang, Nay. Rumah ini, meski kecil, selalu terbuka untuk kamu. Untuk kalian berdua. Mama gak akan nanya lagi kapan kamu pulang, tapi kamu harus tahu… tempatmu selalu di sini.”
Nayla mengangguk, air mata tak berhenti mengalir.
“Terima kasih, Ma…”
“Jaga kesehatan, ya. Makan yang cukup. Jangan terlalu stres. Dengerin musik yang bikin tenang. Dan kalau bisa… usahakan jangan terlalu lama sendiri. Mama gak bisa ada di sana, tapi kamu gak sendirian, Sayang.”
Nayla menahan tangisnya, menatap langit senja dari balik jendela rumah pamannya. Cahaya oranye menyapu wajahnya yang sembab, namun tak kehilangan kekuatan.
“Aku akan jaga diri dan anakku, Ma. Aku janji.”
“Mama percaya. Kamu anak Mama. Dan kamu pasti bisa.”
Telepon berakhir, tapi kehangatannya masih terasa dalam dada Nayla. Ia memeluk dirinya sendiri, dan untuk pertama kalinya sejak hari itu, ia merasa tak sendiri. Ada cinta, dari seorang ibu, yang menyelimuti luka-lukanya.
Dan dari kejauhan, suara kehidupan kembali terdengar.