NovelToon NovelToon
Terjebak Dalam Cinta Hitam

Terjebak Dalam Cinta Hitam

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Obsesi / Trauma masa lalu
Popularitas:802
Nilai: 5
Nama Author: Mila julia

Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .

Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21. Luka yang Tak Berbunyi.

Hujan tipis menetes di sela kanopi pohon trembesi, menabuh genting besar rumah Menteng seperti jemari pianis yang lupa panggung. Malam masih muda, tapi jam antik di ruang tamu berdetak seolah menyusun eulogi untuk hari yang terlalu hening. Sejak resepsi dua malam lalu, Tristan dan aku hidup seperti dua planet dengan orbit terlalu rapat namun tak bersentuhan. Pagi hari ia berangkat sebelum matahari naik, malam pulang saat lampu‐lampu koridor sudah mati. Aku belajar menghitung jarak langkahnya lewat gema sepatu di teras—lima belas ketukan dari pintu utama ke tangga meliuk; tujuh ketukan menuju perpustakaan di lantai dua.

Pada pukul 02.03 dini hari, ketukan itu terdengar. Lembut, teratur, tapi dipenuhi beban. Seperti seseorang yang memikul peti berukir rahasia. Aku terbangun, masih mengenakan daster satin, dan meraih cardigan tipis. Udara AC menusuk tulang, tapi rasa penasaran lebih tajam.

Lorong lantai dua memantulkan cahaya kuning lampu malam. Aku menahan napas, memijak lantai kayu sepelan mungkin, melewati pot‐pot sansevieria yang terlihat seperti bayonet hijau. Langkah itu berhenti di ujung lorong: ruang baca yang biasa terkunci.

Pintu setengah terbuka. Celahnya menyisakan potongan cahaya lampu meja. Dari situ kulihat Tristan, duduk membelakangi pintu. Punggungnya melengkung, bahu bergetar pelan. Tidak ada suara isak yang jelas, tapi cukup bagi siapa pun yang pernah menangis diam‐diam untuk mengenali:

Ia sedang pecah.

Aku menahan detak, melangkah satu inci, tapi lantai berderit pelan. Kepala itu terangkat. Mata kami saling tangkap di cermin bingkai emas yang menggantung di dinding.

"Aurora?" suaranya serak, separuh gemetar.

Aku ragu. "Maaf... aku tak bermaksud mengintip."

Ia menyeka mata dengan punggung tangan, lalu tersenyum tipis—senyum yang lebih mirip luka daripada kegembiraan. "Tak apa. Kalau ada malam untuk terlihat rapuh, mungkin malam ini." 

Aku masuk perlahan. Ruang baca seluas studio tari, dindingnya dipenuhi rak mahoni dan ribuan buku yang wangi kertas tua. Di atas meja bundar, berserakan album‐album kulit berwarna burgundi, sebagian terbuka. Foto‐foto berusia puluhan tahun, warna sepia: seorang wanita berambut hitam bergelombang, tersenyum sambil memeluk bocah lelaki—Tristan kecil. 

Aku duduk di kursi seberang, membiarkan hening mengeras seperti ge­l. Setelah tiga puluh detik, aku bertanya lirih, "Boleh kuceritakan sesuatu tentang ibuku?" 

Tristan menoleh, mata masih basah. "Apa pun."

"Ia meninggal sebelum aku belajar mengeja kata ibu. Foto satu‐satunya yang kumiliki hanyalah punggungnya, memegang tanganku balita. Jadi aku mengerti rasanya kehilangan cerita." 

Tristan menutup album, menekan udara sekeliling seakan menahan fragmen kenangan terbang. "Ia selalu memotretku, tapi tak pernah mau difoto sendiri. Katanya, 'Ibuku bukan buat pamer. Ibuku buat dikenang.' Lucu—setelah ia tiada, yang paling kucari justru wajahnya." 

Aku mengusap sudut foto yang memudar. "Dia cantik." 

Ia tertawa hambar. "Lebih cantik dari apa pun yang bisa ku beli." 

Hening lainnya menimpa kami; namun hening ini berbeda—lembut, seperti surai kucing yang berbaring di pangkuan. 

Tristan bangkit, meraih botol air di rak samping, menawarkannya. Saat ku genggam, ujung jemari kami bersentuh. Kilatan panas merambat, tapi bukannya menjauh, kami membiarkan sentuhan itu tinggal satu detik lebih lama dari seharusnya. 

"Kau bilang ibumu sakit kanker?" desis ku, menahan guncangan emosi. 

Tristan mengangguk. "Aku berumur sembilan tahun. Di umur itu, aku belajar bersandiwara: tersenyum kala wartawan menyorot, menunduk kala keluarga tiri menilai, dan menahan tangis kala dokter mengatakan kata yang terlalu berat untuk anak kecil—'terminal'." 

Ia berjalan ke sudut ruangan, menarik satu panel rak. Ternyata rak itu pintu tersembunyi. Di baliknya lorong sempit, gelap, berujung satu kamar mungil. Hanya lampu meja, ranjang single, dan dinding dipenuhi lukisan setengah jadi: wajah wanita yang sama—ibunya—dalam berbagai ekspresi, beberapa tersenyum, beberapa menitikkan air mata.

"Ini..." suaraku tercekat. 

"Kamar rahasia Ibu.?" bisiknya. "Ia melukis di sini kala malam, agar tidak dilihat suami barunya. Setelah ia tiada, ruangan ini ku tutup. Seperti menutup luka." 

Aku melangkah masuk, menelusuri dinding. Lukisan terakhir belum selesai: setengah wajah wanita menangis. Cat minyak masih berbau samar. 

"Kenapa kau biarkan ini terkunci?" 

"Karena lukisan itu tak selesai. Karena aku takut melihat tangisnya setiap hari." 

Aku menatapnya—pria tinggi tegap yang selalu tampak mengintimidasi, kini ringkih bagai anak kecil yang kehilangan jalan pulang. 

Tanpa menimbang, aku menyentuh pipinya, jemari memungut sisa air mata. Tristan terperenyak, bukan karena sentuhan, tapi karena tak menyangka keberanian itu. 

"Ibuku pernah berkata," lirihku, "lukisan tak selesai bukan berarti jelek. Artinya kisahnya masih mencari pelukis lain." 

Ia terdiam. Napasnya berembus di udara dingin. 

Aku menurunkan tangan. "Izinkan aku kembali besok. Kita lanjutkan lukisan ini. Kau dengan cat minyak, aku dengan kenangan. Kita lengkapi cerita ibumu—tanpa perlu menolak duka." 

Tristan menggeleng samar, setitik senyum menggeliat. "Aurora... kadang kau terdengar seperti penyair gila." 

"Mungkin. Tapi penyair gila menolak membiarkan lukisan menangis selamanya." 

Tiba‐tiba ia menarik ku ke dalam pelukan. Bukan pelukan penuh hasrat—ini pelukan seorang anak yang akhirnya diizinkan menangis. Aku awalnya kaku, tapi membalas, menepuk punggungnya.

"Terima kasih," gumamnya teredam di pundakku. "Karena tidak takut melihat air mataku." 

"Siapa bilang tidak takut?" balasku, menahan tangis sendiri. "Aku takut kalau kau terus menyimpannya sendirian." 

Kami berdiri lama, hingga detak jantung saling menyesuaikan ritme. Hujan di luar menguat, menciptakan irama perkusif di atap. 

Akhirnya ia melepaskan pelukan, menatapku samar di cahaya lampu. "Besok, lukisan ini akan kita selesaikan. Kau pilih warna, aku yang memulas." 

Aku mengangguk—jantung berdebar, tapi bukan karena takut. 

Kami menutup panel rak, menahan rahasia di belakangnya, namun tidak lagi dalam kegelapan total. Saat kembali ke lorong, aku memegang lengan Tristan, menghentikannya.

"Kalau malam kembali dingin," kataku, "jangan menangis sendiri. Ketuk saja pintuku." 

Ia menghela napas lega. "Ketukan satu kali atau dua kali?" 

"Sekali artinya kopi panas. Dua kali berarti... aku siap mendengar cerita." 

"Tiga kali?" 

Aku tersenyum. "Tiga kali berarti aku yang ketuk pintumu, mengingatkan: kau belum sendiri." 

Hujan menipis. Kami berjalan berdampingan menuju tangga. Jarak dua senti di antara lengan kami sudah tak terasa garis pertempuran, melainkan lorong yang menuntun menuju cahaya samar—tempat luka boleh bercerita, dan cinta bisa belajar mengeja kata maaf.

Dan malam kembali sunyi. Tapi kesunyian ini—tidak berdesir seperti kabut menyesakkan. Ia menyelimuti dengan lembut, mencatat bahwa di balik dinding marmer rumah besar, ada dua hati yang akhirnya bersedia bertukar kunci luka.

.

.

.

Bersambung.

1
Kutipan Halu
wkwk menyala ngk tuhhh 😋😋
fjshn
ngapain takut rora? kan Tristan kan baikkk
fjshn
tapi sama sama perintah dongg wkwk tapi lebih mendalami banget
fjshn
sejauh ini baguss banget kak, and then Aurora sama lea gadis yang hebat aku sukaaa semangat buat kakak author
Kutipan Halu: semangat jugaa yaa buat kamuu, mari teru perjuangkan kebahagian hobi kehaluan ini 😂😂
total 1 replies
fjshn
datang ke rumah aku aja sini biar aku punya kakak jugaa
Kutipan Halu: autornya ajaaa ngk sih yg di bawa pulang wkwk😋😋
total 1 replies
fjshn
bjir keren banget dia bisa tauu
fjshn
woww bisa gitu yaa
fjshn
wadihh keren keren pencuri handal
fjshn
hah? sayang? masa mereka pacaran?
fjshn
alam pun merestui perjanjian kalian keren kerennn
fjshn
aduh leaa kasih tapi dia mandiriii
Kutipan Halu: diaaa punya susi kecantikan dan sikap manis tersendirii yaa kann 😂😇
total 1 replies
fjshn
keren nih Aurora, auranya juga menyalaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!