Di atas kertas, mereka sekelas.
Di dunia nyata, mereka tak pernah benar-benar berada di tempat yang sama.
Di sekolah, nama Elvareon dikenal hampir semua orang. Ketua OSIS yang pintar, rapi, dan selalu terlihat tenang. Tak banyak yang tahu, hidupnya berjalan di antara angka-angka nilai dan tekanan realitas yang jarang ia tunjukkan.
Achazia, murid pindahan dengan reputasi tenang dan jarak yang otomatis tercipta di sekelilingnya. Semua serba cukup, semua terlihat rapi. Tetapi tidak semua hal bisa dibeli, termasuk perasaan bahwa ia benar-benar diterima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Aku Belajar untuk Menyembuhkan
Langit St. Aurelius University masih diselimuti kabut tipis pagi itu. Elvareon berdiri di balik jendela asramanya, mengenakan jas laboratorium barunya yang masih kaku. Matanya menatap keluar, mengamati gerak lambat mahasiswa lain yang juga berangkat kuliah. Dalam diam, ia mengingat lagi suara sepeda tuanya yang dulu selalu mengantar ke sekolah, suara tawa Achazia di koridor kelas, dan candaan konyol Kaivan serta Brianna.
Kini semua itu terasa jauh, seperti mimpi masa kecil yang hanya bisa diingat lewat kenangan. Tapi dari sanalah semangatnya tumbuh ia tahu, ia harus menjadi lebih dari sekadar pengingat masa lalu. Ia harus berjalan menuju masa depan.
“Yuk, kelas pertama!” seru suara dari belakang. Itu Arvin, teman sekamarnya. Cerdas, ambisius, tapi sering kali sinis.
“Kamu nggak takut kelas anatomi? Banyak yang pingsan hari pertama, lho,” tambah Arvin sambil menyisir rambutnya rapi.
Elvareon hanya tersenyum kecil. “Enggak juga. Aku udah lihat banyak luka dari kecil. Tapi manusia selalu lebih kompleks dari luka yang terlihat.”
Arvin mendengus kecil. “Puitis. Cocok buat brosur klinik.”
Mereka berdua berjalan menuju gedung kedokteran. Ruangannya dingin, penuh poster sistem tubuh manusia, dan meja-meja dilengkapi dengan model organ plastik. Dosen memperkenalkan istilah-istilah medis yang terdengar asing di telinga Elvareon, tapi ia mencatat dengan serius. Ia tahu, ia harus belajar lebih keras dari siapa pun di ruangan ini.
Teman-temannya yang lain melihat Elvareon mencatat apa yang dikatakan dosen. Karena takut kelupaan, mereka juga mencatat dibuku masing-masing termasuk Arvin.
Arvin mengeluarkan binder nya lalu mencatat apa yang dikatakan dosen. Sesekali dia melirik catatan Elvareon karena dia tertinggal setengah. Dia melihat kemampuan Elvareon mencatat dengan cepat ditengah dosen yang berbicara dengan cepat.
Setelah kelas selesai, Elvareon melepaskan jas labnya lalu memasukkan bukunya ke dalam tasnya. Tas ransel POLO yang masih bagus salah satu benefit dari beasiswa yang didapatnya waktu itu. Sementara teman-temannya yang lain, membawa tas mahal yang tidak sebanding dengan tas POLO nya itu.
Di sela-sela istirahat, Elvareon membuka bekal yang ia siapkan sendiri. Nasi bungkus sederhana. Sementara yang lain memesannya dari kafe kampus. Arvin melihat sebentar, tapi tidak berkomentar. Elvareon sudah terbiasa. Kesederhanaan bukan sesuatu yang perlu disembunyikan.
Selang satu jam, istirahat selesai. Saatnya kembali ke kelas. Elvareon melihat Arvin berjalan sendiri lalu dia menghampirinya dan mereka berjalan bersama.
Hari itu, mereka juga mendapat pelatihan simulasi pertolongan pertama. Ada boneka dummy pasien yang harus ditangani dengan prosedur CPR dan pembalutan luka. Ketika banyak mahasiswa ragu-ragu, Elvareon melangkah lebih dulu. Gerakannya tenang, tegas, dan penuh empati. Ia memperhatikan cara pegang kepala dummy, cara mengompres dada dengan ritme yang tepat.
Salah satu dosen mendekat dan mengangguk kecil. “Kamu sudah pernah belajar sebelumnya?”
Elvareon menjawab jujur, “Belum, Pak. Tapi saya pernah lihat orang pingsan di jalan waktu kecil. Dan waktu itu nggak ada yang bantu. Saya nggak mau kejadian kayak gitu terulang tanpa saya bisa berbuat apa-apa.”
Dosen itu menepuk pundaknya. “Semangat seperti itu yang kita butuhkan di dunia medis.”
Elvareon diam-diam merasa haru. Hatinya bergetar. Ia tahu ini bukan sekadar pendidikan. Ini adalah misi hidupnya.
Setelah selesai kelas, Elvareon menyusun barang-barangnya dan kembali berjalan ke asramanya. Tidak dengan temannya yang lain membawa mobil dan ada juga yang diantar jemput.
Arvin melihat Elvareon berjalan lalu menghampirinya
"Hei, kau jalan kaki?" tanya nya
Elvareon mengangguk
"Kau tinggal di mana?"
"Aku tinggal di asrama universitas ini," ucap Elvareon
Arvin lalu mengangguk "Oh"
"Kamu tidak pulang?" tanya Elvareon penasaran
"Pulang, tapi aku ingin berbincang denganmu sambil aku menemanimu berjalan ke asramamu. Rumahku dekat dari kampus ini. Aku akan dijemput Mommy ku setelah aku menelponnya," ucap Arvin
Elvareon hanya diam. Pikirnya Arvin memang orang kaya. Dia jadi teringat Achazia.
"Ngomong-ngomong, kau pintar juga ya. Padahal maaf kata kau dari keluarga yang kurang mampu," ucapnya tapa ragu
"Iya. Aku dari kecil suka membaca, aku selalu membaca di perpustakaan dari aku SD hingga SMA. Hanya saat kuliah ini aku tidak sempat lagi ke perpustakaan karena jadwal padat," ucap Elvareon sambil mereka berjalan.
"Oh. Rajin juga dirimu,"
Setelah beberapa menit berjalan, Elvareon lalu melihat Mommy Arvin sudah datang menjemputnya dengan mobil mewah. Arvin lalu melambaikan tangan dan masuk ke mobil. Mommynya membunyikan klakson sebagai lalu tersrnyum pada Elvareon. Lalu Elvareon masuk ke dalam asramanya. Dia langsung pergi ke kamar dan membaringkan dirinya.
"Huh... hari yang lelah," ucapnya
Malamnya, ia duduk di tepi ranjang, membuka ponselnya, dan menatap grup lama mereka yang masih setia ada di layar:
Group: Masa SMA Paling Chaos 🌀
Ia mengetik pelan:
“Hari ini aku belajar menyembuhkan. Semoga kelak aku bisa benar-benar menyelamatkan seseorang. Kalian gimana di sana?”
Balasan cepat masuk dari Brianna:
“Elvareon, itu keren banget. Aku tadi praktikum racikan salep, dan Kaivan malah ngaco racikannya. Bau banget satu ruangan! 😤😂”
Kaivan ikut menyahut:
“Itu bukan ngaco. Itu eksperimen! Wkwk”
Achazia akhirnya muncul juga, mengirimkan selfie sambil membawa brush makeup dan wajah penuh glitter:
“Kalau aku berhasil bikin wajah glowing alami, itu juga bagian dari menyembuhkan, kan? Hehe 💅✨”
Elvareon tertawa kecil. Di kota yang berbeda, hidup mereka bergerak dengan warna masing-masing. Tapi ikatan mereka tetap hangat, masih setia di satu grup kecil itu. Ia percaya, apa pun yang terjadi ke depan, mereka akan terus melangkah satu demi satu menuju versi terbaik dari diri mereka.
Nontifikasi IG masuk di ponsel Elvareon. Itu adalah permintaan pertemanan dari Arvin. Tak lama Elvareon langsung menerima pertemanan itu. Arvin mengirim pesan
"Reon, besok kau mau bareng gak? Mommy aku besok jemput kau dari asrama"
"Makasih atas tawarannya, Vin. Tapi aku ingin jalan saja. Lagian dekat kok," balasnya
Arvin lalu mengetik kata 'baiklah'. Elvareon bingung kenapa tiba-tiba sekali dia sangat baik padanya. Padahal dia melihat Elvareon sangat sinis karena dia penerima beasiswa.
Dia lalu membuang pikiran itu dan menggulir instagram. Mendapati akun Achazia memposting foto baru. Foto dengan dia bersama teman sekelasnya sedang ber make up bersama. Dia juga memosting fotonya selfie sedang memegang blus on dan membuatnya ke pipinya. Elvareon menganggap itu lucu lalu dia menyukai postingan Achazia.
Dan malam itu, di atas kasur asrama yang belum terlalu nyaman, Elvareon mematikan ponselnya lalu tidur dengan senyum kecil. Untuk pertama kalinya sejak ia pindah kota, ia merasa berada di tempat yang benar.