"Nada-nada yang awalnya kurangkai dengan riang, kini menjebakku dalam labirin yang gelap. Namun, di ujung sana, lenteramu terlihat seperti melodi yang memanggilku untuk pulang."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yvni_9, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergi
...Happy reading...
Cely berada di teras rumah, menemani abangnya yang akan mengeluarkan motor dari garasi. Memandang Zein dengan tatapan kosong, mata yang biasanya berbinar-binar dengan semangat kini terlihat datar dan sunyi. Jika ia bisa memilih, ia tidak akan mau berpisah dengan abang semata wayangnya.
Zein adalah segalanya baginya, orang yang selalu ada untuknya, orang yang selalu melindunginya. Jika ia bisa memilih, ia tidak akan mau berpisah dengan abang semata wayangnya.
"Abang naik motor? Perjalanannya jauh banget loh, Bang!" tanya Cely dengan wajah khawatir.
"Ga apa-apa, naik motor lebih hemat waktu, ga kejebak macet!" ucap Zein.
Cely menatap Zein dengan mata yang penasaran, "Berarti Abang nanti naik kapal ya? Ga naik pesawat?" Ia bertanya dengan nada yang sedikit khawatir, karena tahu bahwa perjalanan laut bisa lebih lama dan melelahkan.
Zein mengangguk, "Kalo ga naik kapal, motor kesayangan Abang mau diletakin di mana?" tanyanya dengan nada bercanda, sambil menepuk tangki motor yang terparkir di dekatnya.
Ia berjalan mendekati Cely, tersenyum dengan menampilkan deretan giginya yang putih dan rapi. Senyumnya yang cerah dan menular itu membuat Cely tidak bisa tidak tersenyum juga. Wajah Zein yang ceria itu membuat Cely merasa lebih tenang dan nyaman. Senyum Zein itu seperti cahaya matahari yang menerangi hari yang suram, membuat segalanya terlihat lebih cerah dan indah.
"Nanti baik-baik di sini, ya!" titah Zein. Matanya yang tajam menoleh ke arah dalam rumah, ke arah ibu tirinya yang sedang sibuk dengan urusannya sendiri, "Kalo dia jahat, dorong aja ke jurang!" bisik Zein diiringi dengan gelak tawa.
Cely melotot dengan mata yang terbuka lebar, terkejut mendengar perkataan Zein barusan. "Astaghfirullah ... Bang!" katanya dengan nada yang terkejut. "Tapi ... ide bagus," sahut Cely sambil mengepalkan jempolnya ke atas dan tersenyum dengan senyum yang terbuka lebar, menunjukkan bahwa ia setuju dengan ide Zein.
Zein menggelengkan kepalanya, "Udah, udah! Ga boleh gitu ya, jangan ikuti ajaran abangmu ini!" ucapannya diiringi dengan gerakan lembut, mengusap kepala Cely.
"Iya, abang hati-hati ya! Bawa motornya jangan ngebut-ngebut! Lo bukan kucing, yang punya 9 nyawa!" saran Cely.
Zein tersenyum dengan percaya diri yang berlebihan, "Santai aja, Cel! Walaupun Gue balap naik motornya, gue pastiin gue bakalan selamat sampai tujuan! Gue itu bukan manusia biasa, Cel! Gue itu adalah 'Raja Jalan' yang tidak terkalahkan!" ucap Zein dengan nada yang sombong.
Cely memicingkan matanya, menatap Zein dengan ekspresi yang tajam. "Lo pikir Lo siapa anjir? Sombong banget jadi orang!"
Zein tersenyum "Becanda doang, adek..." sambil mulai menggelitiki Cely. Cely tertawa keras dan berusaha menghindar dari gelitikan Zein, tapi Zein terus menggelitikinya hingga mereka berdua tertawa lebar. Sampai akhirnya Ayah mereka keluar dari rumah dan mengajak Zein untuk segera pergi.
"Zein, ayo cepat berangkat! Nanti kita ketinggalan rombongan!" seru Ayahnya dengan nada yang sedikit tinggi, sambil memasukkan koper ke dalam bagasi mobil.
"Gue pergi dulu ya," kata Zein sambil memeluk Cely dengan cepat, lalu berlari kecil menuju motornya.
Cely mengangguk sambil melambai ke arah Zein yang sudah melajukan motornya jauh. "Hati-hati!" ucapnya pelan yang tidak bisa didengar oleh Zein.
Cely menatap motornya Zein yang semakin menjauh, sampai akhirnya hilang dari pandangan. Ia menghela nafasnya dalam-dalam, "Tenang, Cel! sebentar lagi lo bisa pergi dari sini," katanya pada dirinya sendiri.
Lalu, ia berbalik menuju rumahnya, melewati ibu tirinya dengan wajah yang selalu terlihat tidak senang, menatapnya tajam dari sofa ruang tamu. "Ngapain kamu di sini? Harusnya kamu ikut pergi sama mereka!" kata ibu tirinya dengan nada yang tinggi.
Cely berbalik dan mendekati ibu tirinya, "Bukannya harusnya lo ya, yang harus pergi dari sini? Lo kan cuma numpang di sini! Ini rumah Ibu gue dan gue berhak atas rumah ini!" ucap Cely dengan nada yang keras. Sebelum langsung masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan keras.
Fianna, ibu tirinya, menghentakkan kakinya dengan keras, membuat lantai rumah terasa bergetar. "Dasar anak ga tahu diri!" teriaknya dengan nada yang tinggi.
Leo berdiri di depan pintu rumah Cely, membawa masakan bundanya. Ia menekan tombol bel, dan beberapa detik kemudian, pintu itu terbuka. Tapi, yang keluar bukanlah sosok yang ia cari, melainkan Fianna dengan wajah yang datar.
"Celynya ga ada!" katanya dengan nada yang ketus, tanpa basa-basi.
Leo sebenarnya tidak percaya dengan apa yang dikatakan wanita itu, tapi ia tidak bisa membantah apa katanya.
Leo mengangguk kaku, "Yaudah deh tan, kalo gitu, Leo titip ini buat Ce-"
Namun, belum sempat Leo menyelesaikan kalimatnya, Cely tiba-tiba muncul dari dalam rumah.
"Cely ..." gumam Leo pelan, matanya terpaku pada Cely di depannya.
Cely melirik sekilas ibu tirinya dengan tatapan sinis, sebelum akhirnya menarik lengan Leo dan membawanya masuk ke dalam rumah. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Cely mengajak Leo ke dapur. "Cel, saya ada bawain pastel kesukaan kamu," kata Leo sambil menyodorkan wadah berisi pastel hangat yang baru matang. "Ini buatan saya sendiri loh!" ucapnya dengan nada bersemangat.
"Seriusan?" balas Cely tak kalah antusias. Matanya berbinar melihat wadah yang dibawa Leo. Tanpa ragu, ia mengambil satu pastel dan menggigitnya lahap. "Gila, ini enak banget!" gumamnya di sela kunyahan. "Lo emang jagonya deh kalau buat makanan!" pujinya tulus.
Leo terkekeh melihat Cely makan dengan nikmat. Perhatiannya kemudian teralihkan pada sedikit noda makanan di sudut mulut Cely. "Kamu dari dulu nggak pernah berubah ya," ujarnya sambil tertawa kecil. Dengan gerakan lembut, ia mengusap noda itu dengan jarinya. "Kalau makan selalu berantakan."
Cely hanya memandang Leo dengan senyum yang sulit diartikan.
Pandangannya teralihkan, menatap ibu tirinya yang keluar dari rumah. "Gue benci banget sama dia!" desis Cely tajam, matanya menyala penuh amarah ke arah punggung Fianna yang menjauh. "Liat aja apa yang bakal gue lakuin ke dia!" tekadnya bulat.
Leo menatap nanar kepergian Fianna, sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya pada Cely yang mengepal tangannya.
"Ga boleh gitu, Cel. Mau gimana pun, dia itu ibu kamu!" ucap Leo hati-hati, berusaha meredam kobaran api yang membakar hati Cely.
"Bosen gue denger kata-kata itu mulu!" sentak Cely, matanya berkilat marah. "Ini saatnya gue balas dendam. Mumpung Zein ga ada di rumah, gue bakal buat dia nangis di depan gue!" ucapnya dengan suara bergetar, membayangkan skenario balas dendam yang sudah ia susun di benaknya.
"WUAHAHA..." seru Cely sambil mengangkat kedua tangannya ke atas, ekspresi wajahnya berubah drastis, dari marah menjadi sebuah seringai lebar yang mengandung kekuasaan.
Leo yang melihat tingkah Cely itu bergidik ngeri. "Cel... kamu gila ya?" tanyanya sambil memegang bahu Cely.
Cely yang mendengar pertanyaan Leo itu langsung tersadar. "Hehe, enggak anjir, gue masih waras kok," jawabnya sambil nyengir lebar, namun seringainya tadi masih belum sepenuhnya hilang. "Kayaknya bentar lagi gila sih," lanjutnya sambil tertawa kecil.
Leo mengangguk, berusaha untuk tidak terlalu memperdulikan tingkah Cely yang menurutnya sedikit aneh. "Oh ya, besok pulang sekolah temenin saya ke toko roti ya, besok bunda saya ulang tahun," kata Leo, mengalihkan pembicaraan.
Cely yang masih minum, tiba-tiba tersedak air kala Leo melontarkan kata-katanya. "Eh iya... Gue lupa lagi kalau bunda lo besok ultah, gue belum beli kado," ucapnya dengan panik.
"Ga harus ngasi kado kok, Cel!" kata Leo sambil tertawa kecil, melihat ekspresi panik Cely. "Saya cuma mau kamu dateng aja ke rumah, sambil ngerayain ulang tahun bunda saya," kata Leo lagi.
"Tapi gue malu," kata Cely sambil menyandarkan kepalanya ke meja. "Yaudah, besok langsung sekalian cari kado aja deh," lanjutnya, bangkit dengan semangat, berusaha menutupi rasa malunya dengan rencana yang tiba-tiba muncul di benaknya.
Leo hanya mengangguk setuju, tersenyum kecil melihat perubahan ekspresi Cely yang sangat cepat, dari malu menjadi semangat kembali.
Kaki Leo tak sanggup lagi rasanya jika harus mengikuti langkah Cely yang gesit. "Cel... kamu nyari apa sih sebenarnya? Kita dari tadi udah bolak-balik ke sini loh!" tanya Leo, suaranya sedikit meninggi karena lelah, sementara matanya mengawasi Cely yang terus melihat-lihat etalase.
"Sabar... kemarin gue ada lihat kalung, liontinnya lucu banget, gue yakin bunda lo suka," kata Cely, tanpa mengalihkan pandangannya dari perhiasan-perhiasan yang berjejer di depannya.
"Bukan di sini tempatnya," ucap Cely dengan nada kecewa, matanya menatap sekeliling toko perhiasan yang tampak mewah namun tidak sesuai dengan harapannya. "Ayo kita cari di toko lain," ajaknya, lalu bergegas keluar dari toko tersebut.
"Kamu ga perlu loh sampe segitunya cari kado buat bunda," ucap Leo, berjalan menyamakan langkahnya dengan Cely.
"Ssttt..." Cely menghentikan nada bicara Leo dengan meletakkan jari telunjuknya di bibirnya.
Nah, kayaknya toko itu tuh yang kemarin itu gue lihat," kata Cely sambil menunjuk sebuah toko perhiasan dari kejauhan.
"Akhirnya!" gumam Leo dalam hati, ia menghela napas panjang setelah sekian lama mengikuti Cely menyusuri lorong demi lorong di pusat perbelanjaan itu.
Dengan langkah penuh semangat, Cely menarik pergelangan tangan Leo, menyeretnya memasuki toko yang mungkin terdapat benda yang Cely cari-cari.
"Akhirnya ketemu juga!" gumam Cely lega, matanya terpaku pada sebuah kalung yang ia cari sedari tadi. "Nah ... Ini njir yang gue cari-cari! Liat! Cantik, kan?" kata Cely sambil menunjukkan kalung tersebut kepada Leo. "Mbak, saya mau kalung yang ini ya!" pinta Cely kepada penjual kalung dengan ramah.
Leo mengangguk semangat, dengan senyum lebar yang merekah di pipinya.
Cely tersenyum lebar saat menerima paperbag kadonya. "Oke, selesai!" katanya dengan nada yang ceria.
"Saatnya kita beli bolu, let's go!" ajaknya, dengan nada yang penuh semangat, sambil menarik tangan Leo untuk segera pergi.
...______...